PONTIANAK, borneoreview.co – Sejak diberlakukannya larangan ekspor bijih nikel pada Januari 2020, Indonesia memasuki era baru dalam industri pertambangan: hilirisasi. Tujuannya bukan sekadar meningkatkan nilai tambah komoditas, tetapi juga memperkuat ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah.
Namun, setelah lebih dari lima tahun berjalan, muncul pertanyaan mendasar: Apakah kebijakan hilirisasi tambang nikel benar-benar menguntungkan Indonesia?
Sebelum hilirisasi, Indonesia mengekspor bijih nikel mentah dengan nilai sekitar USD 30–50 per ton. Kini, nikel yang diolah menjadi produk antara seperti NPI (Nickel Pig Iron), feronikel, hingga MHP (Mixed Hydroxide Precipitate) memiliki nilai jual berkali-kali lipat.
Pada 2017, ekspor nikel Indonesia hanya USD 4,3 miliar. Namun, setelah hilirisasi, angka itu melonjak hingga USD 34,4 miliar pada 2023 (Kementerian Investasi/BKPM).
Hilirisasi mendorong tumbuhnya industri smelter. Per 2024, terdapat 29 smelter nikel aktif di Indonesia, tersebar di Sulawesi dan Maluku.
Menurut data Kementerian Perindustrian, industri hilir nikel menyerap ±120.000 tenaga kerja langsung, Ditambah ±50.000 pekerja tidak langsung, termasuk sektor transportasi, katering, dan logistik, Rantai pasok lokal juga menggeliat, memberi efek ganda (multiplier effect) terhadap ekonomi daerah
Di Morowali, Sulawesi Tengah—lokasi Kawasan Industri IMIP—jumlah tenaga kerja meningkat lebih dari dua kali lipat sejak 2017. Pertumbuhan ekonomi setempat melonjak hingga 13–15% per tahun.
Sektor industri logam dasar (dominan dari nikel) kini menjadi salah satu kontributor terbesar PDB non-migas Indonesia berdasarkan data BPS & Kemenperin, tercatat, Rp108 triliun (2021), Rp124 triliun (2022), Rp66,8 triliun (Q1 2023), tumbuh stabil 11,39% year-on-year.
Sementara dari sisi pendapatan negara, penerimaan ekspor nikel meningkat 8 kali lipat sejak 2017, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor tambang melonjak berkat nilai tambah hilir
Meski ekonomi daerah penghasil nikel tumbuh, kesejahteraan masyarakat tidak selalu sejalan. Studi Universitas Gadjah Mada (2023) berbasis data Susenas menunjukkan, di Kabupaten Morowali, Konawe, dan Halmahera Selatan, pengeluaran per kapita meningkat 10–15%. Namun di Halmahera Tengah justru terjadi penurunan kesejahteraan sebesar ±5%.
Studi tersebut menunjukkan bahwa manfaat hilirisasi lebih dulu dirasakan oleh kelompok miskin, namun dalam jangka panjang, kelompok ekonomi menengah ke atas yang lebih mendapatkan keuntungan.
Sisi lain sebagai catatan penting, hilirisasi tambang nikel juga berdampak terhadap lingkungan dan sosial. Beberapa di antaranya; proyek tambang dan smelter menyebabkan deforestasi luas di Halmahera dan Sulawesi.
Di Halmahera Tengah, deforestasi akibat tambang nikel mencapai ±5.331 hektare, memicu emisi gas rumah kaca hingga 2 juta ton CO₂ (Pusaka Foundation, 2023).
Pun secara kesehatan, polusi udara dari smelter dan PLTU captive menyebabkan kasus ISPA hingga 54% populasidi Morowali seperti yang pernah diangkat di Mongabay, 2024.
Sebagian besar perusahaan smelter dimiliki investor asing, terutama dari Tiongkok.
Sekitar 90% keuntungan hilirisasi nikel dinikmati pihak asing, menurut laporan World Bank dan media independen (2023). Daerah penghasil hanya mendapat royalti dan dana bagi hasil terbatas, misalnya Halmahera Tengah hanya menerima Rp 1 triliun per tahun, dibanding nilai ekspor mencapai puluhan triliun.
Agar Hilirisasi Lebih Adil dan Berkelanjutan
1. Tingkatkan Dana Bagi Hasil dan Royalti
– Dorong revisi regulasi agar pemerintah daerah mendapat minimal 30–40% dari pendapatan PNBP
2. Wajibkan CSR untuk Pendidikan dan Kesehatan
– Smelter wajib mendirikan sekolah kejuruan, fasilitas kesehatan, dan pelatihan SDM lokal
3. Dorong Energi Bersih untuk Smelter
– Gantikan PLTU batu bara dengan PLTS dan PLTA untuk suplai kawasan industri
4. Transparansi dan Audit Berkala
– Audit independen atas dampak sosial-lingkungan, serta publikasi perbandingan manfaat bagi pusat dan daerah
Kebijakan hilirisasi tambang nikel telah membawa manfaat besar secara makro: nilai ekspor melonjak, industri tumbuh, dan lapangan kerja terbuka. Namun, tantangan besar masih menghantui: ketimpangan distribusi manfaat, kerusakan lingkungan, dan ketergantungan pada investor asing.
Jika kebijakan ini ingin menjadi kebanggaan nasional jangka panjang, maka ke depan pemerintah perlu memastikan hilirisasi yang tidak hanya menguntungkan negara, tetapi juga adil bagi masyarakat lokal dan lestari bagi lingkungan hidup.***
