Kemarau Basah, Hujan Deras dan Tanah Spasial

Kebun Sayur

JAKARTA, borneoreview.co – Belakangan ini, bulan Juni-Juli yang lazimnya musim kemarau di Indonesia, justru diwarnai hujan deras.

Fenomena tersebut dikenal sebagai kemarau basah. Maksudnya, berdasarkan data iklim 30 tahunan, biasanya bulan-bulan tersebut tergolong kemarau. Tetapi pada tahun ini malah hujan turun, nyaris setiap hari.

Di kota besar, hujan yang turun setiap hari dapat menyebabkan genangan terus menerus di jalanan, sehingga menimbulkan genangan dan kemacetan.

Di desa, bagi petani lebih rumit lagi. Kemarau basah menghadirkan tantangan besar yang langsung berdampak pada usaha tani.

Bagi petani yang hendak menanam padi, tentu datangnya hujan sangat menyenangkan, tetapi bagi petani padi yang bersiap hendak panen, hujan malah menyulitkan.

Seringkali padi yang siap dipanen malah tergenang kebanjiran. Demikian pula kadar air padi menjadi tinggi, sehingga membutuhkan penjemuran lebih panjang. Padahal, menjemur di musim hujan sangat merepotkan.

Petani hortikultura lebih kompleks lagi. Petani yang biasa menanam tembakau di Magelang atau Temanggung malah mengeluh jika hujan terus menerus.

Tanaman tembakau tergenang air, sehingga gampang membusuk. Jika tembakau selamat dari kebusukan serta mampu tumbuh subur juga tetap bermasalah.

Hal itu karena kadar air tembakau menjadi tinggi, sehingga kadar nikotin yang penting pada tembakau menjadi rendah.

Petani cabai dan tomat juga perlu bersiaga ekstra jika musim hujan. Setelah hujan pada pagi, siang, sore, bahkan malam pun, petani harus segera menyemprot dengan pestisida, terutama fungisida, agar tanaman selamat.

Jika tidak segera, maka musuh-musuh cabai dan tomat siap menggerogoti kehidupan tanaman yang dapat mengakibatkan berkurangnya panen, bahkan gagal panen.

Ketika ini terus berlanjut, dapat diprediksi dalam waktu dekat harga cabai atau tomat merangkak naik karena memang budi daya cabai dan tomat di musim basah lebih kompleks.

Pekebun buah-buahan juga dapat terdampak jika hujan terus menerus, tanpa ada jeda kemarau. Tanaman buah, seperti durian dan mangga, membutuhkan jeda kering sementara waktu untuk merangsang pembungaan.

Tanpa jeda kering tersebut, tanaman tidak terpicu berbunga, sehingga musim buah menjelang akhir tahun terancam tidak sebesar musim buah pada tahun-tahun biasanya.

Seandainya durian berbuah pun, daging buahnya berkadar air tinggi, sehingga rasanya kurang manis.

Semua pihak yang peduli pada sektor pertanian tentu harus mencari cara agar ketahanan pangan tidak terganggu karena anomali iklim, saat ini.

Pemerintah dan petani harus dapat mengambil peluang menanam tanaman yang membutuhkan banyak air pada fase yang tepat.

Meskipun demikian, sebaliknya dapat pula melakukan mitigasi maupun mencari solusi bagi tanaman yang pada fase tidak membutuhkan banyak air.

Kemarau Basah

Pada praktiknya terdapat hal yang sering luput disadari dalam menghadapi fenomena seperti kemarau basah.

Anomali kemarau basah sebetulnya tidak hanya soal banyak atau sedikitnya hujan, tetapi pada bagaimana mendeteksi kemampuan tanah menahan dan menyimpan air yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman serta mengelolanya secara tepat untuk tanaman sesuai fase pertumbuhannya.

Setiap jenis tanah memiliki kemampuan berbeda dalam menyimpan air. Terdapat tanah yang cepat mengering, meski baru saja diguyur hujan karena bertekstur pasir.

Terdapat pula tanah yang mampu menahan air lebih lama karena mengandung klei lebih banyak, sehingga tanaman tetap tumbuh, meski hujan sudah berhenti berhari-hari.

Kemampuan tanah menyimpan air juga bergantung pada kadar bahan organik di dalam tanah serta kehadiran penutup tanah alami.

Kemampuan tanah menahan air tersebut menjadi penentu, apakah tanaman bisa bertahan atau justru layu karena kekurangan air.

Persoalannya adalah perubahan iklim membuat pola hujan semakin sulit diprediksi. Hujan deras dapat turun tiba-tiba, lalu lama tidak muncul lagi.

Tanah yang tidak mampu menyimpan air dengan baik akan cepat kering, sehingga tanaman pun rentan gagal tumbuh. Di sinilah peran data dan teknologi menjadi krusial.

Kini, teknologi pemetaan digital tanah semakin dimanfaatkan untuk memperkirakan seberapa besar kapasitas tanah menyimpan air yang tersedia bagi tanaman.

Para peneliti menggunakan data tekstur tanah (proporsi fraksi penyusun tanah berupa pasir, debu, dan klei), kadar bahan organik, serta kepadatan tanah untuk menghitung kemampuan tanah menahan air.

Perhitungan tersebut di lapangan dilakukan secara manual, berdasarkan data di lapangan, tetapi, kini seiring kemajuan teknologi dapat dilakukan melalui pendekatan hubungan antar-sifat tanah (pedotransfer function).

Maksudnya, dengan sifat tanah yang paling menentukan, maka dapat diprediksi sifat tanah turunannya, tanpa harus mengukur langsung di lapangan, lalu dilakukan prediksi kemampuan menyimpan air tanah secara spasial.

Informasi dari pemetaan ini sangat berguna untuk menunjukkan daerah-daerah yang tanahnya cepat kering, rawan banjir, atau cocok untuk tanaman tertentu.

Misalnya, para peneliti dapat menghitung plant available water atau air tersedia bagi tanaman.

Yaitu, jumlah air yang dapat diserap tanaman, antara kapasitas lapang tanah dan titik layu permanen. Informasi ini penting karena setiap tanaman memiliki kebutuhan air berbeda.

Petani, melalui pendampingan penyuluh, dapat menentukan jenis tanaman yang sesuai, mengatur pola tanam, dan merancang strategi pengelolaan air di lahannya.

Pemerintah pun dapat merencanakan pembangunan irigasi atau program bantuan pertanian secara lebih tepat sasaran.

Sekolah Lapang

Di beberapa daerah, BMKG telah mengembangkan Sekolah Lapang Iklim serta aplikasi Info BMKG untuk membantu petani memantau potensi hujan ekstrem maupun kekeringan.

Namun, teknologi ini belum menjangkau semua wilayah, terutama desa-desa terpencil yang justru paling rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Banjir besar yang melanda Jabodetabek pada awal Maret 2025, misalnya, menyebabkan kerugian hampir Rp1,7 triliun, merusak rumah, infrastruktur, serta mengguncang perekonomian masyarakat di Bekasi, Bogor, Depok, Tangerang, hingga Jakarta.

Peristiwa ini mengingatkan semua pihak bahwa setiap curahan air perlu dikelola dengan bijak, baik saat berlebih (banjir) maupun saat kekurangan (kekeringan).

Kunci pengelolaan tersebut terdapat pada informasi kemampuan tanah untuk menahan serta menyimpan air.

Berikutnya, tantangan terbesar bukan semata soal ketersediaan data dan teknologi, melainkan bagaimana informasi tersebut sampai ke pengguna, yaitu ke lahan-lahan kecil milik petani di desa.

Banyak petani belum terbiasa menggunakan data digital, bahkan belum memiliki akses internet memadai untuk memperoleh informasi dan solusi terkini. Padahal, petani di desa yang paling terdampak oleh perubahan iklim.

Di sinilah peran edukasi dan pendampingan sangat penting. Petani perlu didampingi untuk dapat membaca informasi cuaca, memahami kondisi tanahnya, dan menerjemahkan data menjadi keputusan konkret di lapangan, mulai dari memilih varietas, menentukan jarak dan waktu tanam, hingga mengatur irigasi.

Selain teknologi yang sederhana dan mudah diakses, seperti papan informasi di balai desa, aplikasi berbasis pesan singkat pada telepon seluler pintar atau kunjungan penyuluh, peningkatan kapasitas penyuluh pertanian juga sangat dibutuhkan.

Penyuluh menjadi ujung tombak penghubung antara data dan petani. Penyuluh perlu dibekali kemampuan membaca serta memanfaatkan data dan informasi spasial dari berbagai lembaga pemerintah.

Seperti, prakiraan cuaca dari BMKG, peta kesesuaian lahan dari Kementerian Pertanian, atau peta risiko bencana dari BNPB.

Dengan keterampilan ini, penyuluh dapat menyampaikan informasi yang lebih akurat dan kontekstual, bukan sekadar memberikan saran umum.

Proses inilah yang menjadikan teknologi dan data benar-benar berguna hingga ke akar rumput. Pemerintah juga perlu berinvestasi lebih banyak dalam program-program yang menjembatani data dengan tindakan nyata di tingkat lokal.

Program itu, misalnya, memperluas jaringan Sekolah Lapang Iklim, menyediakan pelatihan untuk penyuluh agar mahir menggunakan data spasial, dan memastikan infrastruktur digital menjangkau wilayah-wilayah terpencil.

Ketahanan pangan bukan semata soal maju mundur musim tanam atau kekhawatiran gagal panen, namun juga tentang bagaimana memahami bahwa kondisi tanah berbeda-beda secara spasial, kemampuan tanah menyimpan air yang berbeda-beda secara spasial di tengah cuaca yang makin sulit diprediksi.

Terakhir, yang paling penting bagaimana seluruh informasi itu diterjemahkan menjadi langkah nyata di lapangan, agar petani tahu apa yang harus dilakukan serta pemerintah mampu merancang kebijakan yang tepat.

Ketahanan pangan masa depan harus dibangun di atas fondasi ilmu, data, dan tindakan nyata. Karena pada akhirnya, ketahanan pangan tidak hanya bergantung pada langit yang menurunkan hujan, tetapi juga pada tanah di bawah kaki manusia yang menyimpan air untuk kehidupan.

Di tengah cuaca yang makin tidak menentu, setiap tetes air yang bertahan di dalam tanah bisa menjadi penentu masa depan pangan bangsa.

*) Vicca Karolinoerita, MSi adalah peneliti di Pusat Riset Geoinformatika, BRIN

Oleh Vicca Karolinoerita, MSi.*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *