Kemponan: Kepercayaan Sakral Dipercaya hingga Kini di Pontianak

Minuman Kopi

PONTIANAK, borneoreview.co – Dalam kehidupan pertarungan kepemimpinan jabatan publik di negeri ini, ada fenomena seseorang yang berkali-kali memajukan atau mencalonkan dirinya untuk dipilih.

Ada yang akhirnya berhasil mendapatkan keinginannya, namun banyak pula yang tak kunjung dilantik menjadi pejabat publik.

Pada beberapa kali obrolan dengan kerabat sekampong halaman, Pontianak, sering terlempar kata-kata mengasianinya dan terkadang juga diikuti kata kemponan.

Hal ini menyadarkan aku bahwa kemponan sudah melebar maknanya dari arti harfiahnya yang kupahami.

Kemponan sendiri memiliki makna sakral bagi komunitas masyarakat di kampong halaman. Kedua orang tuaku saja yang merupakan migran dari Sumatera, pun amat mempercayai hal ini.

Kemponan merupakan sebuah istilah yang dipakai, untuk menggambarkan tidak tersampaiannya seseorang, mencicipi suatu makanan atau minuman.

Nah, jika terlanda kemponan, biasanya musibah akan mengikuti kita kemudian. Tak jarang, jika seseorang terkena musibah, seperti tabrakan atau terjatuh.

Maka, pertanyaan pertama yang akan ditanyakan kepadanya adalah apakah dia sedang terkena kemponan akan sesuatu, sembari memberikan pertolongan.

Seingatku, ada dua bentuk kemponan yang paling ditakuti karena buruk akibatnya. Yakni, kemponan pada kopi dan kemponan pada pulot atau ketan.

Jangan macam-macam, jika kemponan salah satu dari kedua hal ini. Dampaknya biasanya akan datang segera dan berdaya destruktif yang besar.

Biasanya, jika kita ditawari sesuatu makanan dan minuman, namun karena tak sempat mengkonsumsinya.

Orang yang menawari akan menyuruh kita mencicipi (mencuil) sedikit makanan atau minuman tersebut, agar menghindari kemponan pada diri kita.

Istilah yang kerap dipakai untuk mencicipi sedikit ini disebut cecah atau capalit. Percaya tak percaya, hingga kini, walau dimanapun, budaya takut kemponan ini masih kujalankan.

Walaupun kebiasaanku men-cecah kerap dipandang aneh oleh orang dari daerah lainnya.

Tentunya, kepercayaanku ini terbangun karena kesadaran empiris yang pernah terjadi pada diriku.

Mungkin saja ada yang menilai syirik, tapi bagiku itu adalah bagian dari budaya yang membentuk diriku.

Dulu, di awal reformasi, beberapa temanku di kampong halaman, Pontianak membuka sebuah warung kopi bernama kemponan.

Warung kopi ini berada di komplek kantin panjang Universitas Tanjungpura.

Mereka berfikir, dengan menggunakan nama kemponan, warung kopinya akan ramai dikunjungi, karena takut akan terkena kemponan.

Tapi sayangnya, warung ini tidak bertahan lama dan teman-temanku pun belum sempat menjadi kaya karenanya.

Kompleks kantin panjang dimana kantin ini berada digusur oleh pihak kampus dan dibangun komplek kantin permanen.

Kondisi permanen ini mengakibatkan sewa menjadi sangat mahal dan tak terjangkau teman-temanku.

Terpaksalah, kali ini teman-temanku itu yang kemponan menjadi pedagang yang sukses.***

Penulis: Dr Pahrian Siregar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *