Ketika Warga Babel Pilih Menambang Timah Legal Ramah Lingkungan

penambangan

PANGKAL PINANG, borneoreview.co –  Sejumlah warga di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) memilih melakukan penambangan bijih timah legal dan ramah lingkungan untuk kebaikan alam dan keluarga.

Salah satunya, Aditya Pratama, warga Pangkalpinang yang melakukan penambangan bijih timah sejak 2020 dan menjadi mitra resmi PT Timah Tbk, di Pangkalpinang, Rabu, (8/10/2025) mengatakan keputusan bermitra dengan PT Timah bukan semata karena keuntungan ekonomi, tetapi demi keberlanjutan lingkungan.

Menurut dia, kesadaran masyarakat Babel untuk melakukan aktivitas penambangan secara legal kini semakin meningkat, terbukti semakin banyak warga memilih bermitra dengan PT Timah Tbk agar kegiatan pertambangan berjalan aman, memiliki dasar hukum yang jelas, serta memberi manfaat bagi keluarga dan lingkungan.

“Kami memilih bermitra karena kerja jadi tenang, ada payung hukumnya. Kalau ilegal, dikejar-kejar aparat, tidur pun tidak nyenyak,” katanya pula.

Menurut dia, banyak warga yang dulu menambang tanpa izin kini mulai menyadari pentingnya legalitas. Selain melindungi dari masalah hukum, kemitraan dengan PT Timah juga memberi manfaat sosial bagi masyarakat sekitar tambang.

“Kalau bermitra dengan pemerintah lebih aman karena ada surat perintah kerja, ada payung hukumnya. Kami pun bisa bantu masyarakat sekitar lewat CSR kecil-kecilan,” katanya  lagi.

Aditya mengenang masa awal tahun 2000, saat tambang rakyat mulai marak setelah otonomi daerah. Saat itu, pertambangan memang mengangkat ekonomi masyarakat, namun ada dampak sosial yang muncul terutama pada dunia pendidikan.

“Dulu anak-anak SD dan SMP ikut ke tambang, bahasa Bangkanya ‘ngereman’. Dikasih timah sekilo, waktu itu Rp100.000 akhirnya banyak yang malas sekolah,” kata dia.

Kini, menurut Aditya, masyarakat mulai sadar tambang ilegal bukan solusi jangka panjang, selain berisiko hukum, pekerjaan ilegal juga tidak memberi jaminan keselamatan maupun masa depan bagi anak-anak mereka.

Sebagai mitra resmi, Aditya bekerja mengikuti standar operasional PT Timah, termasuk keselamatan kerja dan ketentuan lingkungan. Ia menilai, meski harga jual timah ke PT Timah sedikit lebih rendah dibanding ke smelter ilegal, namun ada nilai lebih yang tidak bisa diukur dengan uang.

“Kalau di PT Timah memang harganya sedikit lebih murah karena dipotong pajak dan reklamasi, tetapi itu kan untuk tanggung jawab ke negara dan lingkungan. Jadi kita tahu uangnya jelas ke mana,” katanya.

Menurut dia, bekerja secara legal bukan hanya soal penghasilan, tapi juga soal tanggung jawab sosial dan keberlanjutan alam.

Ia menyambut positif langkah pemerintah membentuk Satgas Penertiban Tambang Ilegal dengan harapan penegakan aturan dilakukan secara adil dan tanpa tebang pilih.

“Kami senang dengan adanya Satgas, jadi kami bisa kerja tenang, dijaga, dipantau, dengan harapan jangan tebang pilih. Kalau mau ditegakkan, tegakkan semua,” katanya lagi.

Aditya berharap pemerintah memperjelas mekanisme koperasi atau wilayah pertambangan rakyat (WPR), sehingga masyarakat yang ingin bekerja secara legal tidak lagi bingung dengan perizinan dan jalur penjualan.

“Kalau pemerintah bisa tentu satu harga, satu pintu lewat PT Timah, kami nyaman kerja, yang penting legal, aman, dan kami bisa cari rezeki dengan tenang,” katanya pula. (Ant)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *