Site icon Borneo Review

Kini Siswa Tak Perlu Malu Konseling di Sekolah, Aplikasi Manca Permudah Dampingan

Aplikasi Manca

Pelajar SMP Sapta Andika mengakses aplikasi Teman Carite (Manca) untuk konseling digital di Denpasar, Bali, Sabtu (4/10/2025). ANTARA/Dewa Ketut Sudiarta Wiguna

DENPASAR, borneoreview.co – Dahulu muncul stigma, jika siswa masuk bimbingan konseling di sekolah, pelajar itu bermasalah.

Akibat anggapan itu, membuat siswa-siswi malu dan takut mengakses layanan konseling tersebut.

Kini, seiring perkembangan kecanggihan teknologi, para siswa dan siswi di sekolah bisa bebas mengakses kebutuhan layanan konseling.

Yang memanfaatkan digitalisasi yang ramah anak, efisien, dan terhubung dengan orang yang tepat serta aman.

Orang yang tepat dan aman itu adalah guru bimbingan konseling (BK) sampai praktisi kesehatan mental, atau psikolog.

Mereka mendukung peningkatan kapasitas lebih lanjut, untuk jiwa dan raga para pelajar.

Disebut orang yang tepat dan aman, karena mereka dapat menjembatani solusi atas permasalahan para pelajar, baik karena faktor internal atau eksternal.

Apalagi, para pelajar, saat ini, yang dominan generasi Z, kelahiran 1997 hingga 2012.

Mereka sudah lumrah menggunakan teknologi digital, khususnya beragam wadah media sosial.

Alih-alih mencurahkan isi hati (curhat) di media sosial, yang bisa multitafsir, berpotensi berkembang makin liar, dan menjadi bumerang bagi diri sendiri.

Guru BK tentu saja masih menjadi referensi yang penting di sekolah.

Konseling Digital

Saat ini, satuan pendidikan di Bali mulai melahirkan produk inovasi digital, untuk memudahkan layanan kepada para pelajar.

Salah satunya, layanan konseling berbasis digital yang dikembangkan oleh Sekolah Menengah Pertama (SMP) Sapta Andika Denpasar, Bali, melalui aplikasi Teman Carite (Manca).

Dengan layanan itu, para siswa dapat mengakses konseling, dengan tetap menjaga kerahasiaan.

Guru BK SMP Sapta Andika Putu Leineke Aghet Thaniasari menjelaskan, inovasi Manca hadir berawal dari kebutuhan layanan konseling, agar lebih mudah diakses, efisien, dan aman bagi siswa.

Pihak sekolah juga telah menerapkan digitalisasi, baik pembelajaran sampai urusan administrasi. Misalnya, dengan koding yang dilaksanakan pada 2022.

Sebelum ada inovasi itu, banyak siswa sekolah yang berlokasi di Monang Maning, Denpasar, tersebut merasa enggan datang ke ruang BK karena malu atau takut dicap bermasalah.

Melalui layanan digital itu, para siswa bisa berbagi cerita dan mendapatkan solusi dari konselor yang profesional.

Aplikasi yang dikembangkan, dimulai pada Maret 2024 dan beroperasi penuh pada Juli 2024 itu, bekerja dengan sistem digital yang terintegrasi.

Cara kerjanya pun terbilang praktis dan sederhana. Para pelajar menggunakan telepon pintar, memindai kode batang (barcode) yang sudah ditempel di 15 kelas, dan juga toilet di sekolah tersebut.

Setelah itu, para pelajar mengisi identitas diri dan memilih jenis masalah yang ingin dikonsultasikan.

Permasalahan tersebut beragam, mulai dari perundungan (bullying), motivasi belajar, kesehatan reproduksi, bahaya merokok dan rokok elektrik (vape).

Bahkan, bahaya lebih besar, seperti bahaya narkoba, kekerasan dalam sekolah, perilaku menyakiti diri sendiri, hingga soal seks bebas, HIV dan AIDS.

Para pelajar kemudian dapat menentukan waktu untuk konseling serta memilih opsi konsultasi.

Yaitu, melalui tatap muka langsung atau secara daring, misalnya melalui panggilan berbasis video (video call). Atau, melalui pesan tertulis berbasis aplikasi WhatsApp.

Guru BK SMP Sapta Andika Putu Leineke Aghet Thaniasari menunjukkan aplikasi Teman Carite (Manca) untuk konseling digital pelajar di Denpasar, Bali, Sabtu (4/10/2025). ANTARA/Dewa Ketut Sudiarta Wiguna

Ada delapan guru BK dan konselor yang bersiaga untuk menjadi teman bercerita, sekaligus mendengar keluh kesah para pelajar itu.

Apabila diperlukan, dalam setiap penyelesaian masalah, orang tua siswa terkait juga dilibatkan.

Untuk kasus sensitif dan berat yang tidak bisa ditangani sekolah, pihaknya telah bekerja sama dengan mitra lain, seperti psikolog agar penanganannya menyeluruh dan tepat sasaran.

Hasilnya, sebagian besar kasus yang dikonsultasikan pelajar di sekolah itu.

Di antaranya, terkait motivasi belajar, perilaku menyakiti diri sendiri dan perundungan, dapat tertangani dengan baik.

Rata-rata per pekan diperkirakan ada empat hingga lima siswa yang aktif memanfaatkan layanan tersebut.

Berdasarkan hasil evaluasi, guru BK itu mengungkapkan para siswa lebih lega dan berani untuk mengungkapkan permasalahan, sehingga tidak lama untuk dipendam dalam diri.

Dengan begitu, konselor lebih cepat memberikan dukungan emosional dan psikologis.

Peran Sekolah

Sekolah memiliki peranan penting melalui inovasi dan kreativitasnya, untuk kemajuan peserta didik dan memberi solusi atas permasalahan pelajar yang mungkin belum bisa diselesaikan di lingkungan rumah.

Pasalnya, masalah yang terus dipendam, berpotensi mengakibatkan akumulasi tekanan yang menumpuk, dan bisa berdampak serius terhadap masa depan anak dan remaja, jika tidak tertangani baik.

Sebagian masalah dipendam itu karena beragam sebab, di antaranya takut bercerita, malu, kurangnya rasa percaya diri atau alasan lain.

Menurut psikiater dr Made Wedastra SpKJ, permasalahan yang dipendam menyebabkan perubahan zat neurotransmitter di otak, menyebabkan ketidakseimbangan yang berdampak gangguan mental.

Seperti, kecemasan, depresi atau gejala psikotik, misalnya halusinasi, delusi, hingga bicara yang kacau.

Psikiater dari Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali itu menambahkan, menyimpan masalah dan tidak mau bercerita kepada orang yang tepat, hingga menarik diri dari lingkungan sosial, merupakan dampak dari sebagian korban bullying.

Begitu juga orang yang dirundung melalui siber, maka korban akan melampiaskannya dengan marah dan melempar benda di sekitar karena subjek yang merundung tidak tampak nyata.

Namun, ada juga sebagian orang yang kena perundungan, tapi memiliki mekanisme koping yang bagus, maka ia akan bangkit dengan menunjukkan prestasi.

Di sisi lain, sekolah ternyata menjadi salah satu lokasi terjadinya kekerasan, baik fisik maupun psikis terhadap pelajar.

Berdasarkan data sistem aplikasi pencatatan dan pelaporan kekerasan perempuan dan anak.

Yaitu, Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) pada 2024 total ada 31.947 kasus kekerasan di Indonesia.

Dari jumlah itu, sebanyak 62,6 persen di antaranya atau hampir 20 ribu kasus dialami anak.

Sebanyak 19.369 kasus terjadi di lingkungan rumah tangga, 2.017 kasus terjadi di sekolah, dan sisanya terjadi di tempat lain.

Sementara pada 1 Januari hingga data terkini yang diakses pada 5 Oktober 2025 pukul 12.00 WITA.

Data sementara mencatat ada 23.838 kasus kekerasan, sebanyak 62,3 persen di antaranya dialami anak atau 14.851 orang.

Berdasarkan lokasi kejadian, sistem itu mencatat rumah tangga, fasilitas umum, dan sekolah masih menjadi tempat kasus kekerasan tersebut.

Ada pun tiga besar bentuk kekerasan yang paling banyak dialami, yaitu seksual, fisik, dan psikis, seperti perundungan.

Mencermati lingkungan sekolah juga menjadi lokasi kekerasan fisik dan psikis terhadap pelajar, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Provinsi Bali Ketut Ngurah Boy Jayawibawa, turut mendorong satuan pendidikan di Pulau Dewata.

Terutama, menciptakan inovasi, termasuk dalam bidang digitalisasi ramah kepada pelajar.

Saat ini, pihaknya secara bertahap melakukan pelatihan kepada para guru menjalani bimbingan teknis terkait pembelajaran digitalisasi.

Misalnya, koding dan kecerdasan artifisial (AI) yang rencananya masuk kurikulum pada 2025/2026.

Banyaknya anak-anak, termasuk kelompok usia remaja yang masih bersekolah menjadi korban kekerasan perlu mendapat perhatian dan penanganan khusus semua pihak.

Pekerjaan rumah saat ini adalah masih belum meratanya sekolah di daerah yang membuat inovasi digital, khususnya layanan serupa untuk mendukung psikis para pelajar.

Selain itu, jangkauan akses internet hingga upaya untuk menekan stigma negatif terhadap konseling perlu pembenahan dengan cara yang kreatif.

Tujuannya, supaya kekerasan pada anak tidak terulang dan permasalahan psikis generasi muda segera mendapatkan penanganan.***

Exit mobile version