Site icon Borneo Review

Kisah Eunike Megawati, Guru BK di Semarang Rela Seberangi Lautan Demi Sekolah Rakyat di Makassar

Eunike Megawati

Eunike Megawati, guru bimbingan konseling di Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 23 Makassar. (ANTARA/Farhan Arda Nugraha)

MAKASSAR, borneoreview.co – Dari Semarang, Jawa Tengah, seorang guru bimbingan konseling (BK) bernama Eunike Megawati, kini menapaki babak baru hidupnya di Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 23 Makassar.

Sejak pertengahan Juli lalu, ia menjadi bagian dari sekolah yang didirikan pemerintah, untuk memberi kesempatan belajar bagi anak-anak dari keluarga prasejahtera.

Sebelumnya, Eunike Megawati pernah mengajar di sebuah sekolah reguler di Jawa Tengah, selama enam bulan.

Kisahnya menjadi guru di SRMP 23 Makassar, bermula saat Eunike mendaftar sebagai guru melalui jalur Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K).

Ketika mengetahui adanya pembukaan formasi guru untuk Sekolah Rakyat, Eunike Megawati tertarik karena melihat programnya yang berfokus pada pelayanan bagi kelompok marjinal.

Rasa terpanggil untuk mengajar di Sekolah Rakyat, membuatnya ikut mendaftar. Tak disangka, ia justru ditempatkan di sekolah tersebut.

“Jadi saya terpanggil, saya ikut daftar. Kemudian ternyata saya ditempatkan di sini (SRMP 23 Makassar). Ya berarti memang takdirnya saya ada di sini,” kata Eunike.

Di sekolah berasrama itu, banyak siswanya berasal dari latar belakang sulit. Ada yang hidup bersama neneknya karena ditinggal orang tua, korban perceraian orang tua, ada pula yang berasal dari keluarga miskin ekstrem.

Bagi Eunike, tugasnya sebagai guru BK tidak hanya membantu anak memahami pelajaran. Juga membangun rasa percaya diri dan keterbukaan, pada murid-murid binaannya.

Pada masa awal penugasan, ia sempat menghadapi kendala bahasa. Banyak siswanya yang berbicara dalam bahasa Makassar, sementara ia baru datang dari Jawa Tengah.

Dalam beberapa minggu pertama, ia bahkan harus meminta bantuan rekan kerja sesama guru, untuk menerjemahkan ucapan murid-muridnya.

Namun, seiring waktu, ia mulai memahami bahasa lokal. Bahkan, bisa mengenali maksud mereka, meskipun dia mengaku masih belum fasih bahasa Makassar.

Perbedaan cara menghadapi siswa juga dirasakan oleh guru berusia 32 tahun itu. Misalnya, ketika memergoki murid sedang di luar kelas saat jam pelajaran.

Jika di sekolah sebelumnya cukup dengan dilihat saja, siswa sudah paham dan langsung masuk kelas. Di SRMP 23 Makassar, Eunike perlu mengambil langkah yang lebih lembut.

Ia menanyakan terlebih dahulu, alasan siswa berada di luar kelas saat jam pelajaran. Murid diajak kembali ke kelas dengan cara yang halus, agar mereka mau mendengarkan.

Selama tiga bulan pertama, para guru memfokuskan pembelajaran pada penguatan kepribadian siswa, membiasakan mereka berbicara di depan umum, berani menyampaikan pendapat, dan terbuka pada guru.

Hasilnya, anak-anak yang dulu diam, kini sudah berani datang dan bercerita kepada guru.

“Kalau pengalaman saya selama tiga bulan ini sebagai guru sekolah rakyat, saya bilang ini luar biasa sekali. Di sini saya membangun karakter dari nol,” ujar Eunike.

Anak-anak datang tanpa fasilitas, dan difasilitasi oleh negara. Tapi yang buat ia bangga dengan siswanya, mereka mau berjuang mengubah hidup.

Kedekatan emosional menjadi kunci, dalam pendekatan Eunike terhadap siswa.

Ia memilih untuk lebih banyak mendengarkan, memahami latar belakang setiap anak, dan mencari cara agar mereka tetap semangat belajar.

Eunike menyadari bahwa, untuk menjaga semangat belajar anak-anak, tidak cukup hanya dengan nasihat.

Ia menerapkan sistem pemberian hadiah (reward), untuk siswa yang berhasil menyelesaikan tugas dari guru.

Hadiah sederhana, seperti biskuit, terbukti efektif untuk memotivasi siswa saat kegiatan belajar mengajar.

Setiap pekan, siswa diberi kesempatan untuk menghubungi keluarga melalui panggilan video. Sekolah juga membuka waktu khusus bagi kunjungan keluarga di hari Minggu.

Bangunan asrama siswa di Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 23 Makassar. (ANTARA/Farhan Arda Nugraha)

Momen itu menjadi obat rindu bagi anak-anak, yang sebagian besar harus hidup jauh dari rumah.

Permasalahan terbesar anak-anak itu tentang keluarganya, terutama karena mereka rindu orang tuanya.

Di balik segala keterbatasan, ia menemukan banyak momen kecil yang mengharukan.

Salah satunya, ketika melihat siswa-siswanya mulai bisa melipat pakaian sendiri dengan rapi. Padahal, sebelumnya tidak tahu caranya.

Eunike berharap, para siswa yang ia dampingi di Sekolah Rakyat, dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, selepas lulus dari SRMP 23 Makassar, dan mencapai cita-cita mereka.

Berdasarkan asesmen yang ia lakukan, sebagian besar dari para siswa memiliki cita-cita ingin menjadi anggota TNI. Sementara lainnya bercita-cita menjadi dokter, guru, hingga pilot.

Melihat semangat itu, Eunike berharap program Sekolah Rakyat dapat terus berlanjut.

Supaya siswa memiliki kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya, dan membukakan jalan mereka dalam mengejar impian.

Menumbuhkan Harapan

SRMP 23 Makassar menjadi salah satu sekolah bagian program Sekolah Rakyat, yang ditujukan untuk memberi akses pendidikan kepada anak-anak dari keluarga prasejahtera.

Sekolah ini menempati bangunan sementara. Yang dulunya digunakan sebagai pusat rehabilitasi sosial, bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum.

Pelaksana Harian (Plh) Kepala Sekolah, Azharina Isnarani, menjelaskan saat ini SRMP 23 memiliki 137 siswa dengan 14 guru.

Fasilitas yang tersedia meliputi ruang belajar, perpustakaan, laboratorium IPA, aula, lapangan olahraga, dan tujuh bangunan asrama.

Pada dua bulan pertama, sekolah menerapkan kurikulum matrikulasi, yaitu pembelajaran dasar yang mencakup moral, etika, kewirausahaan, dan keterampilan hidup.

Sejak September, mereka mulai belajar mata pelajaran umum, seperti IPA, matematika, bahasa Indonesia, dan bahasa daerah.

Pihak sekolah juga mulai memperkenalkan pembelajaran coding, meski laboratorium komputer masih dalam proses penyediaan oleh pemerintah pusat.

Sementara menunggu fasilitas lengkap, para guru menggunakan proyektor dan laptop pribadi sebagai alat bantu belajar.

Menurut Azharina, tantangan terbesar di sekolah ini adalah pembentukan moral dan kedisiplinan siswa.

Mengingat usia siswa di sekolah, 13 sampai 15 tahun atau mulai memasuki masa pubertas. Mereka perlu diajarkan nilai moral dan agama, agar tidak terjerumus ke dampak negatif pergaulan.

Selain kegiatan belajar di kelas, sekolah juga beberapa kali mengadakan pembelajaran di luar sekolah.

Salah satunya dilakukan di Benteng Rotterdam, untuk mengenalkan sejarah dan budaya Makassar.

Di akhir pekan, kegiatan ekstrakurikuler, seperti olahraga, bahasa Inggris, dan seni menjadi sarana menyalurkan bakat anak-anak.

Meski masih menghadapi keterbatasan fasilitas, semangat guru dan siswa tetap tinggi.

Azharina berharap sekolah rakyat bisa menjadi tempat belajar, sekaligus memberi harapan bagi para siswanya, dalam mengejar cita-cita mereka.

Anak-anak di sekolah sekolah rakyat, berhak merasakan bahwa ini bentuk perhatian pemerintah, kepada mereka untuk meraih masa depan.(Ant)***

Exit mobile version