Site icon Borneo Review

Kisah Warga Binaan Nusakambangan, Menata Harapan dengan Cetakan Batako

Warga Binaan Nusakambangan

Rusdianto (kanan) mengoperasikan mesin pencetak batako di Workshop FABA, BLK Nusakambangan, Pulau Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Selasa (9/9/2025). ANTARA/Sumarwoto

CILACAP, borneoreview.co – Deru mesin pres batako dan paving block, terdengar riuh di Workshop FABA (Fly Ash and Bottom Ash).

Tempat itu merupakan Balai Latihan Kerja (BLK) Nusakambangan, Pulau Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.

Beberapa warga binaan pemasyarakatan bergantian menuangkan adonan pasir, semen, dan FABA (abu sisa pembakaran batubara pada pembangkit listrik tenaga uap) ke dalam cetakan.

Setiap kali mesin ditekan, batako dan paving block bermunculan.

Di antara mereka, ada Kevin Ruben, pria 29 tahun asal Semarang. Senyum sumringah terukir di wajahnya setiap kali batako keluar dari cetakan dengan sempurna.

Bagi Kevin, pelatihan ini bukan sekadar belajar keterampilan, melainkan kesempatan kedua untuk menata hidup.

Bahkan, dia mengaku sama sekali belum pernah mengetahui tentang FABA, bagaimana cara mencetak batako, apalagi mengoperasikan mesin pres.

Di BLK Nusakambangan, dia belajar dari nol, sampai akhirnya bisa produksi sendiri, sehingga merasa bahwa pelatihan kerja tersebut sangat bermanfaat sebagai bekal nanti setelah bebas dari hukuman.

Sebelum masuk penjara, Kevin bekerja sebagai sopir. Namun nasib membawanya tersandung kasus pencurian rumah kosong hingga dijatuhi hukuman dua tahun.

Kini, menjelang bebas pada akhir tahun, ia berusaha menyiapkan diri agar tidak terjerumus kembali ke jalan yang sama.

“Yang bisa mengubah stigma itu diri kita sendiri,” kata Kevin.

Kalau masyarakat melihat mantan narapidana sudah berubah, punya keterampilan, dan bekerja jujur, lama-lama pandangan negatif juga akan hilang. “Itu yang saya harapkan ketika pulang nanti,” ujarnya.

Cerita serupa datang dari Rusdianto, warga binaan berusia 57 tahun. Rambutnya mulai memutih, tetapi semangatnya tak kalah dengan yang muda.

Ia baru beberapa minggu mengikuti pelatihan, tetapi sudah cukup mahir dalam mengolah adonan hingga mengoperasikan mesin.

“Dulu sama sekali tidak tahu. Setelah ikut latihan, alhamdulillah bisa. Program ini sangat bermanfaat. Harapannya, kalau ada modal, bisa diteruskan di luar nanti,” tuturnya.

Ia pun mengatakan kelak setelah bebas dari hukuman, dapat tetap berjalan di jalur yang benar.

Jika ada kesempatan dan modal, dia mengharapkan usaha batako dan paving bisa jadi jalan rezeki yang halal.

Rusdianto mengaku masa hukumannya hampir selesai. Dengan adanya remisi, ia berharap bisa segera menghirup udara bebas dalam waktu dekat.

“Mudah-mudahan bulan ini ada SK turun, jadi bisa pulang,” katanya.

Pelatihan pembuatan batako dan paving block ini terlaksana berkat bantuan PT PLN (Persero) yang menyediakan seperangkat instalasi pengolahan FABA.

Bantuan tersebut meliputi pembangunan gedung, instalasi, mesin pres batako, dan mesin pres paving.

Melalui fasilitas ini, sebanyak 142 tenaga kerja dengan 30 orang di antaranya berstatus ahli terampil disiapkan untuk menggerakkan produksi.

Seluruh tenaga kerja berasal dari warga binaan Lapas Nusakambangan.

Dengan kapasitas yang ada, diperkirakan total 2 juta buah paving block dan 1 juta buah batako dapat dihasilkan setiap tahun.

Nilai ekonomi yang dihasilkan tidak kecil: omzet produksi diproyeksikan mencapai Rp5,4 miliar per tahun.

Selain menghasilkan produk yang bermanfaat, berupa paving persegi panjang, paving hexagonal, batako, rosster, buis beton D30 dan D50.

Instalasi pengolahan FABA Nusakambangan diperkirakan memiliki potensi penurunan emisi sebesar 1.598 ton CO2e per tahun.

Potensi penurunan emisi tersebut muncul karena dengan mengganti sebagian atau seluruh semen dengan bahan geopolimer yang berasal dari FABA, maka emisi karbon dari produksi semen dapat berkurang hingga 44 persen.

Belajar Gotong Royong

Di BLK, setiap mesin pres dioperasikan oleh lima hingga enam orang. Ada yang bertugas mengaduk adonan, ada yang menuang ke cetakan, ada yang mengoperasikan mesin, dan ada pula yang menjemur hasil cetakan.

Semua bergerak serempak dengan ritme yang sudah mereka pahami.

Dalam satu kali adonan, mereka bisa menghasilkan sekitar 150 batako.

“Kalau sekali cetak itu bisa 12 batako. Jadi kalau lima palet penuh, kira-kira 150-an. Sehari bisa seribu lebih,” ujar Kevin.

Meski tampak sederhana, pekerjaan ini membutuhkan ketelitian. Campuran adonan harus pas. Terlalu banyak air bisa membuat batako mudah pecah, sementara terlalu sedikit air membuat hasil cetakan rapuh.

“Sekarang kami sudah tahu takarannya, jadi hasilnya bagus,” tambahnya.

Selain pelatihan membuat batako dan paving, warga binaan juga diarahkan mengikuti kegiatan produktif lain seperti pertanian, peternakan, hingga pembuatan pupuk.

Tujuannya, agar setiap orang mendapat bekal sesuai potensi dan minatnya.

Bagi para warga binaan, modal menjadi persoalan penting setelah bebas nanti.

Kevin maupun Rusdianto berharap pemerintah dapat membantu memberikan akses permodalan agar keterampilan yang mereka pelajari tidak berhenti di dalam lapas.

“Kalau ada bantuan modal, bisa kami lanjutkan di luar. Ini kan usaha yang punya peluang bagus. Masyarakat juga butuh paving dan batako untuk pembangunan,” kata Rusdianto.

Selain itu, pihak lapas juga memberikan premi kepada warga binaan sebagai bekal awal.

Premi itu diberikan saat mereka bebas, sebagai bentuk apresiasi atas kerja keras selama mengikuti program.

“Katanya nanti kalau sudah bebas pasti ada premi. Setidaknya bisa dipakai ongkos pulang atau untuk memulai usaha kecil-kecilan,” ujar Rusdianto.

Komitmen Pemerintah

Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas) Agus Andrianto menegaskan bahwa program pembinaan berbasis keterampilan merupakan investasi sosial penting untuk menyiapkan warga binaan kembali ke masyarakat.

“Pemanfaatan FABA menjadi paving dan batako ini bukan hanya mendukung program ramah lingkungan, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru. Yang lebih penting, warga binaan mendapat bekal agar tidak kembali pada kesalahan yang sama,” ujarnya.

Agus mengatakan, pembangunan balai latihan kerja tersebut, menjadi bagian dari 13 program akselerasi kementerian yang bertujuan membekali warga binaan pemasyarakatan, dengan keterampilan sebelum kembali ke masyarakat.

“Warga binaan pemasyarakatan ini belum banyak yang dilibatkan dalam proses pembimbingan. Program BLK sangat terbatas,” katanya.

Awalnya, data yang kami terima hanya sekitar 4.000 WBP di seluruh Indonesia yang mengikuti program ini.

Menurut dia, pembangunan BLK tersebut berawal dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai lahan milik negara yang belum dimanfaatkan secara optimal.

Ia melihat potensi lahan di Nusakambangan untuk dikembangkan menjadi pusat pembinaan kemandirian bagi WBP.

“Lahan itu harus bisa memberi manfaat, bukan dibiarkan kosong,” ujarnya.

Melalui BLK, kami ingin menjadikannya pusat produktivitas yang tidak hanya bermanfaat bagi lapas, tetapi juga berdampak bagi masyarakat.

Optimisme Tumbuh

Bagi Kevin, suara mesin pres batako kini menjadi simbol lahirnya optimisme. Dari balik jeruji, ia menemukan cara baru untuk menatap masa depan dengan penuh keyakinan.

“Terima kasih kepada Bapak Menteri Imipas dan PLN yang sudah membantu kami. Ini modal berharga untuk hidup kami nanti di luar,” ucapnya.

Rusdianto pun menyuarakan hal serupa. Baginya, pelatihan ini bukan hanya mengajarkan cara membuat batako, melainkan juga mengajarkan arti kesempatan kedua.

“Terima kasih banget untuk pemerintah yang masih mau membina kami. Insyaallah saya mau jalan yang benar,” tuturnya.

Bagi Rusdianto, Kevin, dan warga binaan, adonan pasir, semen, dan FABA yang dipadatkan dalam cetakan di BLK Nusakambangan, bukan sekadar bahan bangunan.

Ia menjadi simbol dari harapan baru, tekad untuk berubah, dan ikhtiar untuk menata hidup lebih baik.

Dari sinilah terlihat bahwa di balik jeruji, masa depan tetap bisa dibangun.***

Exit mobile version