JAKARTA, borneoreview.co – Pecahnya bentrokan berdarah, terutama sejak 13 Juli, antara suku-suku Arab Badui dan kelompok-kelompok bersenjata Druze di Suwayda, Suriah.
Bentrokan itu mencerminkan realita dari kondisi di Suriah, seusai jatuhnya rezim Presiden Suriah, Bashar al-Assad.
Meskipun, pemerintah transisi Suriah mengumumkan bahwa bentrokan telah mereda dan gencatan senjata sedang diterapkan secara bertahap di Suwayda, antara Suku Beduin.
Besarnya jumlah korban (bervariasi tergantung sumber, dengan laporan menyebutkan puluhan hingga ratusan korban jiwa) tidak bisa menafikan bahwa tensi itu masih ada.
Padahal bertahun-tahun sebelumnya, almarhum ulama besar Suriah, Sheikh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, telah memperingatkan.
“Kita harus memadamkan api pertikaian sebelum menghanguskan kita semua, karena bangsa yang berperang dengan dirinya sendiri adalah musuh terbesarnya sendiri.”
Kata-kata ulama yang wafat akibat ledakan bom tahun 2013 itu mau tidak mau bergema hingga kini, ketika Suriah tidak hanya menghadapi kehancuran fisik, tetapi juga keruntuhan institusional.
Tidak seperti fase-fase konflik sebelumnya yang didominasi oleh sejumlah faksi militer yang diduga ditopang oleh kekuatan asing.
Kerusuhan Suwayda menandakan krisis pascaperang yang lebih mendalam, yaitu adanya kerinduan dari masyarakat Suriah akan bangkitnya martabat, reformasi, dan kepemimpinan yang akuntabel.
Dalam kondisi “kekosongan” ini, negara-negara yang tergabung dalam Global South atau Selatan Global —terutama koalisi seperti BRICS dan negara-negara demokrasi yang sedang berkembang.
Seperti, Republik Indonesia— dapat menawarkan bentuk dukungan inklusif dan non-intervensionis untuk membantu Suriah membangun kembali institusi, kepercayaan sipil, dan supremasi hukum.
Bagi banyak warga Suriah, belasan tahun lalu, tepatnya pada musim semi tahun 2011, adalah momen yang terlihat oleh beragam kalangan di negara itu sebagai sebuah harapan atas kebangkitan kolektif. Yang diilhami oleh gelombang seruan regional untuk martabat, reformasi, dan hak untuk didengar.
Seperti warga lainnya di dunia Arab, warga Suriah turun ke jalan dengan damai, membayangkan masa depan yang lebih adil dan inklusif.
Namun, yang terjadi selanjutnya bukanlah transisi, melainkan suatu keterperosokan menuju kekerasan, penindasan, dan keterlibatan asing di Negeri Para Nabi itu.
Aspirasi perubahan ke arah yang lebih baik pada saat itu segera dibayangi oleh perang saudara brutal yang memecah belah negara secara sosial, teritorial, dan kelembagaan.
Kelompok-kelompok bersenjata yang bersaing, ekstremisme ideologis, dan intervensi eksternal semakin memperdalam perpecahan.
Saat ini, meskipun pemerintah Suriah telah menegaskan kembali kendali atas sebagian besar wilayah, tatanan negara tetap rapuh sehingga seakan-akan warisan dari pergerakan tahun 2011 lalu itu belum terpenuhi.
Meski terus bergema dalam hasrat abadi warga Suriah akan perdamaian, martabat, dan pembaruan nasional.
Dalam kondisi yang kerap ditandai oleh kelelahan dan ketidakpercayaan terhadap hegemoni geopolitik global saat ini, negara-negara Selatan Global memiliki posisi yang unik dan kredibel untuk membantu pemulihan Suriah.
Tidak Intervensi Militer
Tidak seperti bekas kekuatan kolonial atau aktor regional yang sangat terlibat, banyak negara Selatan Global, terutama di BRICS dan Asia, tidak memiliki warisan intervensi militer di Timur Tengah.
Solidaritas mereka dibentuk bukan oleh kalkulasi strategis, melainkan oleh pengalaman bersama untuk membangun bangsa-bangsa pascakolonial, menghadapi kesulitan ekonomi, dan upaya mewujudkan pemerintahan yang stabil melalui kepemilikan lokal.
Negara-negara seperti Indonesia, India, Afrika Selatan, dan Brasil telah menjalani transisi kompleks mereka sendiri sehingga menawarkan wawasan berharga tanpa menetapkan formula yang kaku.
Indonesia, khususnya, sebagai negara demokrasi pluralistik mayoritas Muslim, dinilai telah mendapatkan kepercayaan regional melalui diplomasi yang tenang dan model pembangunan yang inklusif.
Negara-negara ini berada di posisi yang tepat untuk berinteraksi dengan warga Suriah secara hormat, mendukung dialog, pengembangan kapasitas, dan upaya rekonstruksi yang didasarkan pada rasa saling menghormati.
Memang benar bahwa banyak negara di belahan bumi selatan tidak memiliki kekuatan finansial atau jaringan bantuan yang luas seperti negara-negara Barat.
Namun, pengaruh, khususnya dalam membantu kebangkitan suatu bangsa, tidak hanya diukur dalam bentuk uang.
Negara-negara Selatan Global dinilai dapat menawarkan pendekatan yang lebih seimbang; pendekatan yang menekankan penghormatan terhadap kedaulatan, pembangunan yang berpusat pada rakyat, dan ketahanan kelembagaan jangka panjang.
Meskipun sumber daya terbatas, negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, atau Afrika Selatan dapat berkontribusi dengan berbagi keahlian dalam tata kelola pascakonflik, desentralisasi, pemulihan bencana, dan rekonsiliasi masyarakat.
Kemitraan skala kecil —seperti pelatihan pegawai negeri sipil Suriah, memfasilitasi pertukaran pelajar, atau mendukung LSM lokal- dapat menabur benih pembangunan kembali yang inklusif.
Secara paralel, lembaga-lembaga BRICS seperti Bank Pembangunan Baru dapat mengeksplorasi mekanisme pendanaan berbunga rendah untuk rehabilitasi infrastruktur dan layanan sosial, di luar kerangka persyaratan donor tradisional dari sejumlah lembaga multilateral yang telah eksis sebelumnya.
Dengan lebih mendasarkan upaya yang berlandaskan kepercayaan dan kedekatan budaya, bahkan bentuk dukungan sederhana dari belahan bumi selatan.
Juga dapat menciptakan fondasi yang kokoh untuk memulihkan keyakinan bahwa pemulihan Suriah dapat dimulai dari bawah ke atas.
Prioritaskan Lembaga Lokal
Bagaimana cara untuk melakukannya? Negara-negara Selatan Global dapat mendukung Suriah melalui inisiatif-inisiatif yang dirancang secara cermat dan non-koersif, yang memprioritaskan lembaga lokal.
Pertama, bantuan kemanusiaan dan infrastruktur yang disalurkan melalui kerja sama Selatan-Selatan dapat membantu memulihkan layanan-layanan penting seperti sekolah, klinik, dan sistem air di wilayah-wilayah yang terabaikan oleh geopolitik.
Kedua, negara-negara seperti Indonesia, dengan sejarah diplomasi global yang tenang dan tata kelola yang pluralistik, dapat berperan dalam memfasilitasi dialog yang inklusif, khususnya di antara komunitas-komunitas sipil dan agama yang terfragmentasi.
Ketiga, banyak negara demokrasi di belahan bumi selatan memiliki pengalaman berharga dalam mereformasi lembaga-lembaga hukum, mengelola keberagaman etnis, dan membangun kembali masyarakat sipil pascakonflik.
Melalui sejumlah inisiatif dan program yang mendukung pemuda, profesional hukum, dan pendidik Suriah, melalui beasiswa, pelatihan, atau kolaborasi jarak jauh.
Yang dapat membantu menumbuhkan generasi baru yang berlandaskan toleransi dan tanggung jawab sipil.
Sementara itu BRICS, Gerakan Non-Blok, dan Organisasi Kerja Sama Islam dapat memanfaatkan platform yang mereka miliki untuk memperkuat suara Suriah, memediasi ketegangan.
Dan, mempromosikan peta jalan pascakonflik yang mencerminkan keadilan dan rekonsiliasi, melampaui cara pandang biner antara rezim dan oposisi.
Harus diakui pula bahwa jalan ke depan untuk mewujudkan berbagai hal tersebut pastilah penuh dengan tantangan, seperti adanya kemungkinan bahwa pemerintah Suriah tetap berhati-hati terhadap keterlibatan eksternal.
Bahkan, dari negara-negara sahabat, karena khawatir hal itu dapat melemahkan otoritas pusat atau memperkuat suara-suara yang berbeda pendapat.
Selain itu, persaingan geopolitik, seperti antara Iran dan negara-negara Teluk, dapat mempersulit koordinasi.
Sedangkan di dalam negara-negara Selatan Global sendiri, kemauan politik dan kapasitas keuangan bervariasi, dan tantangan domestik dapat membatasi sejauh mana negara-negara ini dapat mengulurkan tangan.
Namun, kendala-kendala ini seharusnya tidak melumpuhkan tanggung jawab moral atau diplomasi yang kreatif.
Pemulihan Suriah akan membutuhkan waktu, tetapi harus disadari bahwa Suriah yang berlandaskan keadilan dan inklusi tidak hanya bermanfaat bagi rakyatnya.
Juga Timur Tengah dan Asia yang lebih luas, melalui berkurangnya ekstremisme, kebangkitan ekonomi, dan pemulihan ikatan budaya.
Bagi negara-negara Selatan Global, mendukung kembalinya Suriah ke martabat bukan hanya semata langkah untuk mengulurkan persahabatan, tetapi juga investasi dalam tatanan internasional yang lebih stabil, multipolar, dan manusiawi.(Ant)
