PONTIANAK, borneoreview.co – Perkebunan kelapa sawit menjadi salah satu penggerak utama ekonomi nasional, tetapi di sisi lain menimbulkan konflik agraria yang berkepanjangan antara perusahaan investor dan masyarakat pemilik lahan. Berbagai studi mencatat ratusan kasus di mana lahan masyarakat diambil alih tanpa persetujuan penuh, memicu ketegangan sosial dan kerusakan lingkungan yang serius.
Tumpang Tindih Kepemilikan Lahan
Banyak wilayah konsesi sawit terbit dengan tumpang tindih izin, sehingga hak ulayat masyarakat adat terabaikan. Di ekosistem gambut saja, sekitar 1,3 juta hektar hutan alam berada dalam izin sawit yang rawan konflik.
Ketiadaan Free, Prior and Informed Consent (FPIC)
Dalam praktiknya, perusahaan sering memulai penanaman tanpa kajian mendalam dan persetujuan komprehensif dari warga—baik dalam bentuk musyawarah desa maupun mekanisme konsultasi adat. Akibatnya, masyarakat merasa diabaikan dan hak-haknya dilanggar.
Model Kemitraan yang Asimetris
Skema bagi hasil 70:30 netto atau kemitraan tumpang tindih sering kali tidak transparan, memunculkan kecurigaan warga bahwa mereka dirugikan secara ekonomi. Kasus di Desa Batu Ampar menunjukkan kegagalan pola kemitraan diikuti pelanggaran janji perusahaan dan dukungan aparatur lokal yang tak berpihak.
Secara sosial dan ekonomi hal ini berdampak meningkatnya ketimpangan. Konflik berkepanjangan menciptakan polarisasi: sebagian kecil warga yang dekat dengan perusahaan mendapat kompensasi, sementara mayoritas kehilangan akses lahan untuk berkebun pangan.
Munculnya ketidakstabilan sosial seperti aksi protes, blokade jalan, hingga penutupan pabrik sawit sering terjadi, mengganggu arus ekonomi dan merusak hubungan sosial antarwarga.
Selain itu timbul lerusakan lingkungan, karena pembukaan lahan secara besar-besaran memicu deforestasi, erosi, dan menurunnya kualitas air. Ini tambah memperburuk ketegangan karena warga butuh lahan sehat untuk pertanian subsisten mereka.
Dalam rangka upaya menemukan titik temu, langkah berikut bisa dilakukan:
– Mekanisme Mediasi Independen
Pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat dapat memfasilitasi mediasi yang melibatkan pihak ketiga netral, seperti akademisi atau lembaga HAM, untuk merumuskan kesepakatan bersama yang adil bagi kedua belah pihak.
– Pemetaan Partisipatif
Pelibatan masyarakat dalam pemetaan batas wilayah adat dan pemberian sertifikat tanah kolektif dapat menjadi dasar hukum yang kuat untuk mencegah sengketa di masa datang.
– Skema Kemitraan Transparan
Menyusun perjanjian yang jelas mengenai pembagian hasil, jangka waktu, dan kewajiban pemeliharaan, dengan audit berkala oleh lembaga independen. Model “plasma inti” yang pernah berhasil di beberapa daerah harus dibuka aksesnya bagi lebih banyak petani kecil.
– Penguatan Regulasi dan Penegakan Hukum
Penegakan Undang‑Undang Pokok Agraria (UUPA) serta pemberian sanksi tegas terhadap perusahaan yang melanggar izin serta hak masyarakat menjadi pilar utama. Rekomendasi Human Rights Watch menyoroti perlunya keterlibatan Komnas HAM untuk mempercepat penyelesaian sengketa.
– Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (CSR)
Investor wajib merancang program CSR jangka panjang—seperti pelatihan agribisnis, pembangunan infrastruktur desa, dan konservasi lingkungan—sebagai bentuk kompensasi dan investasi sosial. Laporan “Memupuk Konflik” menegaskan pentingnya tata kelola akuntabel agar konflik tidak berlarut-larut.
Konflik lahan sawit adalah tantangan multidimensional yang memerlukan solusi holistik. Titik temu antara investor dan warga bukan sekadar soal kompensasi finansial, tetapi juga pengakuan hak, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan.
Dengan kolaborasi aktif pemerintah, masyarakat, dan pelaku swasta melalui mediasi independen, pemetaan partisipatif, skema kemitraan transparan, penguatan regulasi, serta CSR yang bermakna, diharapkan tercipta model pengembangan perkebunan sawit yang berkelanjutan dan adil bagi semua pihak.***

