Site icon Borneo Review

Konsistensi Politik Indonesia, Dukung Resolusi PBB dan Pengakuan Palestina

Demo Pro Palestina di Australia

Ribuan demonstran pro-Palestina turun ke jalan-jalan di Australia pada Minggu (6/10/2024) guna memprotes serangan brutal yang terus dilakukan oleh pasukan Israel di Gaza dan Lebanon, menjelang peringatan satu tahun perang genosida Israel di Gaza. /ANTARA/Anadolu/py

NEWYORK, borneoreview.co – Ketika dunia akhirnya seirama mendukung Palestina, Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto sudah berdiri di garis depan.

Konsistensi itu kini menjelma menjadi legitimasi yang menegaskan bahwa keteguhan membela kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan tak pernah sia-sia.

Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 12 September 2025, menorehkan sejarah baru.

Resolusi yang menegaskan kembali solusi dua negara (two-state solution) sebagai jalan keluar yang sah dan bermartabat bagi konflik Israel–Palestina.

Resolusi itu didukung suara mayoritas dengan telak. Sebanyak 142 negara mendukung, 10 menolak, dan 12 abstain.

Untuk pertama kalinya, mayoritas negara Eropa ikut menyokong deklarasi yang menegaskan pembentukan negara Palestina merdeka berdampingan dengan Israel.

Presiden Prancis Emmanuel Macron menyebut hasil ini sebagai momentum bersejarah, menandai jalan menuju perdamaian di Timur Tengah yang tak dapat diputar balik.

Pengesahan ini bukan sekadar formalitas. Selama puluhan tahun, isu Palestina kerap menemui kebuntuan akibat fragmentasi kepentingan global.

Kini, dunia yang biasanya terbelah justru bergerak dalam satu barisan.

Momentum ini menegaskan bahwa konsistensi negara-negara seperti Indonesia sejak awal tidaklah sia-sia, melainkan menjadi pijakan yang akhirnya diakui dunia.

Arus Global Berubah

Deklarasi New York bukan hanya sekadar seruan moral, melainkan peta jalan konkret menuju perdamaian.

Mulai dari gencatan senjata permanen di Gaza, pembebasan sandera, penarikan pasukan Israel, penyatuan Gaza dan Tepi Barat di bawah Otoritas Palestina.

Juga pembentukan Misi Stabilisasi PBB, hingga rencana pemulihan pascaperang melalui Arab-OIC Gaza Recovery Plan.

Dukungan luas dari Eropa memberi makna khusus. Selama ini, sikap Eropa kerap terbelah antara simpati pada Palestina dan kepentingan menjaga relasi dengan Israel serta Amerika Serikat.

Kali ini, perubahannya tampak jelas. Macron menegaskan masa depan yang mungkin, yaitu dua bangsa, dua negara, hidup berdampingan dalam damai.

Pergeseran itu memang tak bisa dilepaskan dari peran Prancis dan Arab Saudi yang menjadi penggagas utama deklarasi ini.

Presiden Prabowo bahkan berbicara langsung dengan Macron di Istana Élysée pada Juli 2025.

Keduanya menekankan urgensi solusi dua negara sebagai jalan damai yang adil bagi Palestina.

Hal serupa juga disampaikan Prabowo bersama Pangeran Mohammed bin Salman di Jeddah.

Mereka menyerukan aksi nyata komunitas internasional untuk mengakhiri penderitaan Gaza dan menjamin hak rakyat Palestina.

Perubahan ini sejalan dengan pandangan Alexander Wendt (tokoh konstruktivis sosial dalam bidang hubungan internasional).

Bahwa, politik internasional ditentukan bukan hanya oleh kekuatan material, tetapi juga oleh identitas dan norma.

Norma keadilan dan kemanusiaan yang semakin kuat, akhirnya membentuk konsensus global.

Edward Said (aktivis politik Palestina-Amerika yang merupakan profesor sastra di Universitas Columbia), sejak lama juga mengingatkan tentang bias orientalisme yang membuat Palestina sulit diperlakukan adil.

Maka, dukungan Eropa kali ini dapat dibaca sebagai runtuhnya sebagian bias lama yang menghambat jalan kemerdekaan Palestina.

Namun, Israel menolak mentah-mentah resolusi ini. Juru bicaranya menyebut Majelis Umum PBB telah menjadi “sirkus politik yang terlepas dari kenyataan” dan menuding resolusi itu mengabaikan faktor Hamas.

Penolakan keras ini menunjukkan bahwa jalan perdamaian masih tetap terjal. Namun, justru karena itulah, dukungan mayoritas dunia terasa lebih bermakna.

Resolusi ini lahir bukan sebagai kompromi kosong, melainkan keputusan berani yang memicu reaksi keras dari pihak yang menolak perubahan.

Konsistensi Indonesia

Konsistensi Indonesia dalam mendukung Palestina menemukan bentuk paling jelas dalam kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.

Sejak masih menjabat Menteri Pertahanan, Prabowo sudah menegaskan keberpihakannya.

Pada November 2023, ia meluncurkan program beasiswa penuh bagi 22 mahasiswa Palestina di Universitas Pertahanan RI, sebagai investasi jangka panjang bagi generasi muda Palestina.

Beberapa bulan kemudian, pada Januari 2024, ia melepas KRI dr Radjiman Wedyodiningrat-992 yang membawa obat-obatan, makanan, dan perlengkapan darurat ke Gaza.

Tidak berhenti di situ, Februari 2024 ia menyatakan kesiapan mengirim tenaga medis dan mengevakuasi seribu warga Palestina ke Indonesia.

April 2024, menjadi penanda lain ketika TNI AU melaksanakan operasi airdrop bantuan langsung ke Jalur Gaza.

Sebuah misi bersejarah karena untuk pertama kalinya C-130J Super Hercules Indonesia, menerjunkan lebih dari tiga ton bantuan kemanusiaan dari udara.

Pada Juni 2024, dalam forum Shangri-La Dialogue di Singapura, Prabowo menyatakan kesiapan Indonesia mengirim pasukan perdamaian bila ada mandat resmi dari PBB.

Bahkan, ketika bertemu Presiden Amerika Serikat Joe Biden di Gedung Putih pada November 2024, Presiden Prabowo menegaskan pentingnya solusi dua negara, gencatan senjata, dan perlindungan bagi warga sipil Palestina.

Konsistensi Prabowo memang tampak semakin menguat setelah dilantik sebagai Presiden RI.

Dalam pidato kenegaraan pertamanya, ia menegaskan bahwa Indonesia akan selalu berdiri menentang penindasan dan mendukung kemerdekaan Palestina.

Sejak saat itu, hampir di setiap forum internasional, Presiden Prabowo menjadikan isu Palestina sebagai agenda utama.

Pada pertemuan bilateral dengan PM Singapura, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, hingga Presiden Tiongkok Xi Jinping.

Presiden Prabowo menekankan bahwa hanya solusi dua negara yang bisa membawa perdamaian abadi.

Di forum multilateral, suara Presiden Prabowo terdengar semakin lantang. Pada Februari 2025, ia berbicara di World Government Summit, mendesak pembangunan kembali Gaza.

April 2025, ia berpidato penuh semangat di Parlemen Turki dan menyerukan keadilan untuk Palestina di Antalya Diplomacy Forum.

Mei 2025, ia menyampaikan pidato di Parlemen OKI, menegaskan hak kemerdekaan Palestina sebagai mandat moral dunia Islam.

Pada Juli 2025, ia ikut memimpin pembahasan di KTT BRICS, menyerukan Bandung Spirit untuk mendukung Palestina.

Diplomasi itu berpuncak dalam pertemuannya dengan para pemimpin kunci dunia.

Presiden Prabowo ketika bertemu dengan Presiden Emmanuel Macron di Paris, ia menegaskan kembali urgensi solusi dua negara.

Ketika bertemu dengan Putra Mahkota Mohammed bin Salman di Jeddah, Presiden Prabowo menyerukan aksi nyata dunia menghentikan krisis kemanusiaan di Gaza.

Dari Washington, Riyadh, Paris, hingga Beijing, pesan yang ia bawa selalu sama. Bahwa rakyat Palestina terlalu lama menjadi korban dan dunia tidak boleh lagi menutup mata.

Rangkaian langkah inilah yang membuat konsistensi Indonesia semakin diakui. Seperti ditegaskan Joseph Nye, soft power lahir dari nilai dan legitimasi.

Konsistensi Prabowo dalam membela Palestina adalah bentuk soft power yang menjadikan Indonesia bukan hanya pengikut arus, tetapi motor advokasi yang memberi inspirasi, dan akhirnya berbuah pada dukungan 142 negara di PBB.

Makna Strategis

Resolusi PBB ini membawa arti strategis bagi Indonesia.

Pertama, memperkuat legitimasi diplomasi Indonesia yang selama ini konsisten mendukung Palestina.

Kedua, membuka peluang membangun koalisi global lebih luas, termasuk dengan negara-negara Eropa yang kini bergeser.

Ketiga, memberi landasan moral bagi Presiden Prabowo untuk terus memimpin gerakan internasional membela Palestina dengan kredibilitas yang semakin kokoh.

Meski begitu, tantangan nyata tetap ada. Penolakan keras dari Israel menjadi sinyal bahwa implementasi resolusi tidak akan berjalan mulus. Jalan perdamaian akan penuh tarik-menarik kepentingan, skeptisisme, maupun upaya delegitimasi.

Di sinilah kepemimpinan negara seperti Indonesia menjadi kunci untuk memastikan bahwa resolusi tidak berhenti sebagai dokumen politik semata, melainkan berkembang menjadi langkah nyata di lapangan.

Sejarah akan mencatat, ketika dunia akhirnya bergerak seirama dalam mendukung Palestina.

Indonesia sudah terlebih dahulu menempuh jalan yang sama dengan konsistensi yang tidak tergoyahkan.

Presiden Prabowo Subianto tidak sekadar mengikuti arah angin geopolitik, melainkan berdiri kokoh pada prinsip.

Bahwa, membela Palestina berarti membela kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan universal.

*) Khairul Fahmi, Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)

Exit mobile version