Korea Selatan Resmi Tutup Tambang Batu Bara Terakhirnya

SAMCHEOK, borneoreview.co – Korea Selatan secara resmi akan menutup tambang batu bara terakhir yang dikelola negara mulai 1 Juli 2025, menandai berakhirnya era tambang Dogye yang pernah menjadi pendorong ekonomi regional selama masa pascaperang.

Tambang Batu Bara Dogye di Samcheok, Provinsi Gangwon, menjadi tambang batu bara terakhir milik negara yang akan berhenti beroperasi pada Senin depan. Penutupan ini secara efektif mengakhiri industri pertambangan batu bara publik Korea Selatan, sebuah sektor yang pernah menjadi tulang punggung ekonomi nasional pada 1960-an hingga 1980-an.

Pada era 1960-an dan 1970-an, komunitas tambang batu bara di Korea Selatan sempat berkembang pesat di tengah booming industri yang mengubah wilayah ini menjadi simbol kemakmuran kelas pekerja. Berdasarkan catatan, pada 1966, batu bara memasok hingga 45,7% energi primer Korea, menjadikannya sumber energi dominan di negara tersebut.

“Uang mengalir dengan cepat. Bar-bar mahal didirikan di kota-kota pertambangan, dan banyak pelanggan yang meninggalkan tip dengan menyalakan kipas angin listrik lalu melemparkan segenggam uang tunai ke udara,” melansir Korea Times, Minggu (29/6/2025), menggambarkan masa keemasan tambang Dogye.

Setelah Perang Korea 1950-53, batu bara menjadi sumber energi utama Korea dalam upaya membangun kembali ekonomi. Sebelum perang, masyarakat mengandalkan kayu bakar sebagai bahan bakar, tetapi penggundulan hutan akibat perang memperparah kelangkaan bahan bakar, mendorong peralihan besar-besaran ke batu bara sebagai solusi energi nasional.

Selain untuk industri, batu bara juga menjadi komponen utama dalam produksi “yeontan” atau briket, yang digunakan masyarakat Korea untuk menghangatkan rumah dari tahun 1950-an hingga 1980-an, menjadi bagian penting dari ingatan nasional setiap musim dingin, meskipun disertai risiko keracunan karbon monoksida yang selalu menghantui.

Produksi batu bara Korea mencapai puncaknya pada 1988 dengan produksi lebih dari 24,2 juta ton, tetapi penurunan drastis terjadi setelahnya. Pemerintah Korea yang berupaya mengurangi ketergantungan pada minyak bumi pasca lonjakan harga minyak global mulai memperkenalkan gas alam cair ke Seoul pada 1987. Dua tahun kemudian, Korea meluncurkan restrukturisasi besar-besaran dengan menutup tambang-tambang yang dianggap tidak menguntungkan.

Penutupan berlangsung cepat. Antara 1989 hingga 1996, tercatat 334 tambang batu bara ditutup. Pada 1992, permintaan batu bara turun menjadi 10,74 juta ton, hanya sepertiga dari puncak produksi sebelumnya.

Mulai minggu depan, satu-satunya tambang batu bara yang tersisa di Korea adalah Tambang Kyungdong Sangdeok yang dikelola swasta, yang juga terletak di daerah Dogye, Samcheok.

Batu bara semakin kehilangan pangsa dalam bauran energi Korea Selatan. Jika sebelumnya menjadi sumber utama pembangkit listrik sejak 2007, pada 2024 posisi tersebut telah digantikan oleh tenaga nuklir, yang kini menyumbang 31,7% dari total listrik Korea.

Tenaga batu bara berada di posisi kedua sebesar 28,1%, tetapi sebagian besar berasal dari batu bara bitumen impor dengan efisiensi tinggi, sedangkan tambang domestik Korea umumnya memproduksi batu bara antrasit yang kurang diminati pembangkit listrik skala besar.

Seorang pejabat Korea Coal Corp. menyatakan, semua pekerja di Tambang Batu Bara Dogye akan pensiun setelah tambang resmi ditutup.

“Usia rata-rata pekerja kami sekitar 55 tahun. Sebagian sudah mendekati masa pensiun, sementara yang lain masih relatif muda di usia akhir 30-an hingga awal 40-an,” ungkapnya.

Penutupan Tambang Batu Bara Dogye bukan hanya menandai pergeseran energi Korea Selatan menuju kebijakan ramah lingkungan dan energi nuklir, tetapi juga menjadi akhir sebuah era panjang industri batu bara yang telah menopang pembangunan negeri Ginseng selama lebih dari enam dekade.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *