Site icon Borneo Review

Lampu Seterongkeng: Penerang yang Memiliki Tempat di Hati Masyarakat Pontianak

Lampu Seterongkeng

Lampu Seterongkeng merupakan lampu andalan warga era tahun 80-90-an. Lampu berbahan bakar minyak tanah sangat populer pada masanya. (Ist)

PONTIANAK, borneoreview.co – Di masa kecilku di kampong halaman, Kota Pontianak, penyediaan listrik belum sebaik sekarang.

Sebelum masuk sekolah dasar, listrik di kotaku hanya mengalir dari jam 12 siang hingga 12 malam. Setelah mengalir 24 jam, listrik pun tidaklah secara terus mengalir dengan lancar.

Pemadaman listrik dilakukan secara mendadak atau penggiliran pemadaman lampu, masih sering berlangsung.

Pemadaman listrik disebabkan tidak seimbangnya daya yang dihasilkan pembangkit dengan yang harus dipasok. Juga keterlambatan penyediaan bahan bakar atau gangguan jaringan.

Pemadaman akibat gangguan jaringan, paling sering terjadi di musim kemarau. Apalagi, saat permainan kelayang ramai berlangsung.

Awalnya, sebagai penerang di saat tengah malam paska listrik dipadamkan, kemudian fungsinya berubah menjadi penerang cadangan, saat padam listrik.

Lampu seterongkeng atau petromax, memiliki tempat di hati masyarakat kampong halamanku.

Hampir setiap rumah dahulu memiliki sekurangnya satu lampu ini. Lampu ini juga punya tempat gantungan khusus bak singgasana di dalam rumah.

Lampu seterongkeng merupakan lampu minyak bertekanan. Di kampong halamanku, nama itu berasal dari merek lampu ini yang banyak diperjualbelikan dahulu, “Strong King” dengan adopsi pelafalan lokal.

Lampu yang patennya dimiliki oleh perusahan Jerman ini, prinsip kerjanya menekan minyak tanah cair, sehingga berubah menjadi uap dengan pompa tangan. Kemudian uap minyak akan memanaskan kaus lampu hingga berpijar.

Kaus lampu, yang merupakan jaring-jaring keramik dari campuran oksida-oksida logam, sebelumnya telah dipanaskan terlebih dahulu dengan spiritus.

Aku sejak kelas lima SD, punya tanggung jawab tambahan di rumah. Saat tidak ada orang tua dan pamanku, aku menghidupkan lampu ini.

Biasanya, penyiapannya kulakukan di luar rumah, agar jika terjadi sesuatu tidak berdampak serius.

Tahapannya, dimulai dengan mengisi tangki minyak tanahnya, mengecek kondisi kaos lampunya, dan mengisi spirtus di mangkoknya. Kemudian dibakar dengan korek api.

Jika kaos lampu sudah membara, barulah minyak tanah dipompa dan diatur besar aliran gasnya.

Saat lampu sudah menyala dengan baik, barulah kubawa ke dalam rumah dan kugantung di tempatnya.

Jika pemadaman listrik berlangsung lebih lama, terangnya lampu yang meredup menandakan perlu dilakukan pemompaan tambahan.

Untuk dapat membuat lampu ini prima, seingatku sekurangnya satu minggu sekali, harus dilowongkan waktu untuk membersihkannya.

Terutama spunyer-nya yang sering tersumbat atau klep pompanya yang kulitnya sudah melar. Stok minyak tanah harus sering dimonitor, demikian juga stok spiritus dan kaos lampu.

Cadangan kaca lampu juga sebaiknya tersedia, meskipun tidaklah mutlak.

Saat lampu seterongkeng tak prima di waktu lampu padam, terpaksalah kemudian penerangan menggunakan lampu sumbu minyak tanah, yang cahayanya kuning kemerahan.

Pernah suatu ketika kondisi ini terjadi. Padahal, aku harus mengerjakan pekerjaan rumah yang cukup banyak.

Setelah selesai mengerjakan pekerjaan rumah, baru kusadari saluran hidung menjadi hitam, akibat terisap arang pembakaran sumbu dan minyak.

Kondisi ini tentunya tidak akan kita dapati jika menggunakan lampu seterongkeng yang menghasilkan cahaya yang lebih putih.

Penulis: Dr Pahrian Siregar (Alm)

Exit mobile version