Site icon Borneo Review

Lapas Pulau Nusakambangan, Wajah Seram yang Bertransformasi Jadi Pusat Pelatihan Kemandirian

Warga Binaan Nusakambangan

Rusdianto (kanan) mengoperasikan mesin pencetak batako di Workshop FABA, BLK Nusakambangan, Pulau Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Selasa (9/9/2025). ANTARA/Sumarwoto

NUSAKAMBANGAN, borneoreviiew.co – Pulau Nusakambangan di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, sejak lama lekat dengan citra sebagai pulau penjara.

Apalagi dengan fungsinya sebagai tempat pengasingan, bagi narapidana dengan kasus besar. Sebutan “Alcatraz-nya Indonesia” kerap disematkan kepada pulau Nusakambangan.

Semua itu, karena di pulau Nusakambangan yang memiliki luas lahan sekitar 121 kilometer persegi tersebut, berdiri 13 lembaga pemasyarakatan (lapas) dengan beragam klasifikasi. Mulai dari berkeamanan super maksimum, maksimum, hingga lapas terbuka.

Namun, wajah Nusakambangan perlahan berubah. Di balik pagar tinggi dan kawat berduri, muncul geliat baru berupa pembangunan balai latihan kerja (BLK). Yang dirancang untuk membekali warga binaan pemasyarakatan (WBP) dengan keterampilan hidup.

Transformasi ini dimulai ketika Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan banyak lahan negara di Nusakambangan, belum dimanfaatkan secara optimal oleh Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan selaku pengelola pulau tersebut.

Atas dasar temuan BPK tersebut, Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Agus Andrianto memanfaatkan lahan itu menjadi pusat pembinaan kemandirian.

Program ini kemudian masuk dalam 13 akselerasi kementerian dengan fokus utama pada peningkatan keterampilan WBP agar lebih siap kembali ke masyarakat.

Langkah tersebut juga sejalan dengan upaya penguatan ketahanan pangan nasional.

Nusakambangan diproyeksikan menjadi sentra pangan baru melalui pemanfaatan lahan seluas 500 hektare.

Kinerja kepala lapas, khususnya di Nusakambangan, kini tidak hanya diukur dari sisi keamanan, juga dari kemampuan mereka menggerakkan WBP dalam program BLK serta ketahanan pangan.

Sejak diprakarsai pada November 2024, BLK Nusakambangan telah mengembangkan lahan produktif sekitar 105 hektare dengan melibatkan 266 warga binaan.

Kegiatan yang digarap tidak main-main: pertanian padi, peternakan ayam dan domba, perikanan, hingga pengolahan sampah dan pupuk organik.

Data terbaru menunjukkan, WBP telah menghasilkan panen padi sebanyak 7,4 ton gabah dari lahan 12,1 hektare.

Mereka juga memelihara lebih dari 3.395 eayam petelur yang menghasilkan 20 ribu butir telur per hari, membudidayakan 145 ribu ekor ikan, serta mengembangkan tambak udang vannamei dan windu di lahan seluas 22,5 hektare.

Di bidang keterampilan non-pertanian, terdapat BLK Konveksi dengan 75 WBP dan 103 mesin jahit, BLK Pengolahan Sampah dengan kapasitas 10 ton per jam, serta BLK Pupuk Organik yang bekerja sama dengan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.

Selain melatih kemampuan teknis, aktivitas di BLK membentuk disiplin, kebiasaan produktif, dan kepercayaan diri.

Para WBP tidak lagi hanya menunggu masa hukuman, melainkan mengisi hari dengan aktivitas yang kelak bisa menjadi bekal hidup.

Transformasi Nusakambangan tidak berjalan sendiri karena Kementerian Pertanian turut mendukung dengan menyalurkan bantuan alat pertanian berupa traktor roda empat dan roda dua.

Bantuan ini memperkuat produktivitas sekaligus menjadi sarana pembelajaran praktis.

Program ketahanan pangan yang dilaksanakan di lapas Nusakambangan juga menjadi bagian dari strategi nasional swasembada pangan.

Sinergi lintas kementerian, lembaga, dan perguruan tinggi menunjukkan bahwa pembinaan warga binaan dapat berkontribusi pada agenda besar negara.

Selain itu, penanaman ratusan ribu bibit kelapa secara serentak di berbagai daerah, termasuk Nusakambangan, menjadi simbol keterpaduan program pembinaan WBP dengan pembangunan berkelanjutan.

Pandangan Akademisi

Kalangan akademisi menilai, pemanfaatan Nusakambangan sebagai pusat pelatihan kerja merupakan langkah krusial dalam reformasi pemasyarakatan.

Pakar hukum Unsoed Purwokerto Prof Hibnu Nugroho menekankan pentingnya lapas menjadi ruang pendidikan dan pemberdayaan sosial-ekonomi.

Menurut dia, WBP harus dipersiapkan untuk memiliki keterampilan relevan dengan pasar kerja, sehingga ketika bebas, peluang mereka bekerja semakin terbuka dan potensi menjadi residivis berkurang.

Oleh karena itu, transformasi tersebut merupakan upaya nyata Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan untuk mengembalikan fungsi lapas sebagai lembaga pemasyarakatan yang berorientasi pada humanisme.

Juga akuntabilitas, dan efektivitas pelayanan serta didukung oleh inovasi teknologi dan landasan hukum baru.

Dalam hal ini, proses pembinaan tidak hanya terbatas pada menunggu masa hukuman berakhir, juga memastikan warga binaan siap kembali ke masyarakat sebagai individu yang produktif dan mandiri.

Prof Hibnu menilai pemasyarakatan hakikatnya mengembalikan narapidana ke tengah masyarakat sehingga selama menjalani hukuman, mereka perlu dibekali pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai agar siap hidup mandiri.

Sementara itu, pakar pertanian Unsoed Prof Totok Agung Dwi Haryanto menilai Nusakambangan sangat potensial dikembangkan sebagai kawasan food estate karena dengan luas lahan yang ada.

Hal itu memungkinkan pengembangan sistem pertanian terpadu yang mengintegrasikan padi, jagung, hortikultura, peternakan, dan perikanan.

Jika dikelola dengan baik, Nusakambangan bisa mandiri pangan, bahkan mengirim surplus produksi ke luar pulau.

Lebih jauh, ia melihat keterlibatan WBP dalam kegiatan pertanian tidak hanya mendidik secara teknis, tetapi juga memperbaiki karakter.

Aktivitas produktif yang dilakukan secara rutin dapat mengurangi tekanan psikologis dan menumbuhkan rasa percaya diri.

Harapan Baru

Kisah nyata para warga binaan menggambarkan perubahan wajah Nusakambangan. Seorang WBP yang mengikuti program konveksi mengaku awalnya tidak pernah menyentuh mesin jahit.

Kini, setelah beberapa bulan berlatih, ia mampu menjahit pakaian sendiri dan berencana membuka usaha kecil ketika keluar dari penjara dan kembali ke kampung.

WBP lain yang terlibat dalam peternakan ayam mengaku menemukan makna baru dalam keseharian. Setiap hari ia memberi pakan, memungut telur, dan menjaga kebersihan kandang.

Aktivitas sederhana itu memberinya rasa berguna dan menumbuhkan harapan untuk hidup lebih baik setelah bebas.

Cerita-cerita seperti ini menjadi bukti nyata bahwa pembinaan bukan sekadar teori. Di balik jeruji, ada manusia yang sedang berproses, belajar, dan berusaha memperbaiki diri.

Dengan 13 lapas di dalamnya, Nusakambangan tetap menyandang reputasi sebagai pusat pemasyarakatan terbesar di Indonesia, namun paradigma pengelolaan lapas di pulau ini mulai bergeser.

Fungsi pengamanan tetap dijalankan, tetapi pembinaan mendapat porsi yang semakin besar.

Program BLK dan ketahanan pangan menjadi bukti konkret bahwa pemasyarakatan diarahkan untuk membina, bukan sekadar menghukum.

Filosofi ini sekaligus mengembalikan hakikat pemasyarakatan sebagai proses reintegrasi sosial.

Kemenimipas menargetkan Nusakambangan menjadi model nasional pembinaan WBP berbasis keterampilan.

Melalui program ini, pulau yang dulu identik dengan isolasi kini sedang dibangun sebagai pulau kemandirian.

Di tengah Segara Anakan dan laut selatan yang berombak besar, Nusakambangan tetap berdiri dengan hutan-hutan yang lebat dan bangunan lapas yang kokoh.

Namun, suasana di dalamnya kini tidak hanya dihiasi pagar besi dan sel pengap, juga deru mesin jahit, suara ayam berkokok, traktor yang menderu, serta kolam ikan yang beriak.

Semua itu menjadi tanda bahwa kehidupan di balik jeruji sedang bergerak ke arah baru. Ratusan WBP tengah belajar menyulam asa, dari keterampilan teknis hingga kepercayaan diri.

Kelak, ketika mereka menjejakkan kaki kembali ke masyarakat, keterampilan itu akan menjadi bekal untuk hidup lebih mandiri, menjauh dari jalan lama, dan memberi kontribusi positif.

Nusakambangan pun tidak lagi semata-mata pulau pengasingan, melainkan pulau yang menumbuhkan harapan.***

Exit mobile version