Limbah B3 di Permukiman, Bom Waktu yang Terus Mengancam

Limbah B3

JAKARTA, borneoreview.co – Bagi banyak orang, rumah didambakan sebagai tempat pulang, tempat untuk perlindungan, ruang tumbuh, dan sumber ketenangan.

Hal itu, tidak demikian untuk sekelompok warga di sebuah klaster di Tangerang, Banten.

Dalam beberapa waktu terakhir, rumah bagi mereka justru menjelma menjadi ruang yang setiap harinya menyimpan ancaman senyap dari udara yang mereka hirup.

Ancaman itu tak kasatmata, tetapi nyata terasa, terutama di napas yang semakin berat, mata yang perih, hewan peliharaan yang mati mendadak, hingga anak-anak yang terbatuk, tanpa sebab.

Semua ini diduga berasal dari pembakaran limbah plastik serta limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dari pabrik pengolahan yang berdiri persis di balik tembok perumahan mereka.

Apa yang dialami warga tersebut, bukan sekadar gangguan sesaat, melainkan potret darurat kesehatan lingkungan yang tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Dan hal itu banyak terjadi di berbagai wilayah di Tanah Air.

Menurut Dr. Dicky Budiman, epidemiolog dan pakar kesehatan lingkungan dari Griffith University Australia, pembakaran limbah plastik dan B3 memicu pelepasan senyawa berbahaya, bahkan dalam kadar yang sangat kecil.

Senyawa, seperti dioksin dan furan bersifat karsinogenik dan bioakumulatif. Artinya, zat ini bisa menumpuk dalam tubuh manusia dan hewan, dan dalam jangka panjang berpotensi memicu kanker, gangguan hormonal, dan penyakit kronis lainnya.

Bahaya ini tidak bersifat langsung, namun menyusup perlahan dalam siklus harian, hingga tiba-tiba muncul dalam bentuk penyakit yang sulit disembuhkan.

Asap dari pembakaran ini juga membawa partikel halus, seperti PM2.5 dan PM10, yang mampu menembus jauh ke saluran pernapasan.

Mereka yang menderita asma, bronkitis, atau gangguan paru-paru lainnya akan merasakan dampak lebih cepat dan berat.

Polutan lain, seperti nitrogen dioksida (NO₂) bisa memicu peradangan pembuluh darah dan meningkatkan risiko serangan jantung serta stroke, khususnya pada kelompok lansia atau mereka yang telah memiliki penyakit penyerta.

Dampaknya nyata, bukan hanya statistik. Ada anak-anak yang tidak bisa belajar dengan nyaman karena sakit kepala dan sulit bernapas, ada lansia yang tidak lagi bisa beraktivitas seperti biasa karena sesak mendalam yang terus menerus datang.

Hal yang lebih memprihatinkan, anak-anak menjadi kelompok paling rentan terhadap paparan limbah berbahaya ini.

Logam berat, seperti timbal dan merkuri yang dilepaskan dari pembakaran limbah, diketahui dapat mengganggu perkembangan otak anak, menurunkan IQ, dan bahkan dikaitkan dengan gangguan perilaku, seperti autisme.

Anak-anak yang sedang tumbuh dengan penuh harapan justru dibayangi potensi masa depan yang terhambat karena pencemaran udara yang tidak pernah mereka minta.

Paparan formaldehida dan sulfur dioksida juga bisa menyebabkan iritasi pada kulit, mata, dan saluran cerna, terutama jika terjadi secara terus menerus. Ini bukan soal kenyamanan hidup, tapi tentang keberlangsungan generasi yang sehat.

Fakta yang sering kali tidak disadari adalah bahwa limbah tidak hanya mencemari udara, tetapi juga tanah dan air. Zat berbahaya dari pembakaran limbah bisa mengendap di tanah dan terbawa ke air tanah, mencemari sumur warga.

Kontaminasi Sistemik

Saat musim hujan datang atau terjadi kebocoran sistem, kontaminasi bisa menyebar luas. Risiko ini membuka jalan kontaminasi sistemik melalui konsumsi makanan dan air minum yang tampak aman, namun menyimpan racun berbahaya.

Dalam kondisi seperti ini, kesadaran warga menjadi benteng awal perlindungan. Pakar kesehatan mendorong masyarakat untuk aktif mendeteksi dan melaporkan aktivitas pembakaran limbah ilegal.

Laporan dapat diajukan ke dinas lingkungan hidup, dinas kesehatan, atau bahkan Kepolisian, dilengkapi dokumentasi, seperti foto dan video sebagai bukti awal.

Selain itu, penggunaan masker N95 atau kain basah ketika mencium bau menyengat, menghindari konsumsi air tanah, serta melakukan pemeriksaan kesehatan rutin menjadi langkah penting untuk mitigasi dampak.

Pemeriksaan yang disarankan mencakup fungsi paru-paru, hati, ginjal, dan darah lengkap.

Meskipun demikian, sejatinya perjuangan ini tidak bisa hanya dibebankan kepada masyarakat. Negara memiliki tanggung jawab konstitusional untuk menjamin hak warga atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Masalah ini bukan sekadar pelanggaran teknis perizinan industri, tetapi pelanggaran atas hak asasi manusia.

Pasal 65 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 secara tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Pernyataan ini bukan sekadar tulisan dalam lembaran hukum, melainkan janji negara yang seharusnya hidup dalam tindakan nyata.

Pemerintah perlu memastikan bahwa keberadaan cerobong asap di pabrik bukanlah alasan untuk mengabaikan tanggung jawab lingkungan.

Cerobong asap, tidak serta merta mengurangi risiko polusi udara. Bahkan, dalam banyak kasus, semakin banyak cerobong, tanpa sistem filtrasi yang memadai hanya akan memperluas distribusi polutan.

Tanpa penyaring partikulat, scrubber, atau teknologi pengendali lainnya, cerobong hanya menjadi saluran polusi ke atmosfer.

Seharusnya, cerobong merupakan tahap akhir setelah gas limbah melalui proses filtrasi dan netralisasi zat berbahaya, bukan sebaliknya.

Apa yang terjadi di Tangerang seharusnya menjadi cermin yang memantulkan kenyataan bahwa pembangunan yang mengabaikan kesehatan manusia bukanlah kemajuan, tetapi kemunduran.

Lingkungan hidup yang layak bukanlah kemewahan, melainkan hak dasar. Negara, pemerintah daerah, pelaku industri, dan masyarakat harus berjalan seiring dalam memastikan bahwa setiap rumah kembali menjadi tempat yang aman dan sehat.

Ini adalah peringatan, sekaligus panggilan untuk bertindak.

Seorang warga yang tinggal berdampingan langsung dengan tembok pabrik pernah berkata lirih, “Kami tidak minta lebih. Cukup kembalikan hak kami untuk bisa bernapas.” Kalimat ini menggambarkan betapa mendasarnya persoalan ini.

Di tengah hiruk-pikuk pembangunan dan ambisi industri, jangan sampai bangsa ini kehilangan hal paling esensial sebagai manusia, yakni hak untuk hidup sehat dan bernapas, tanpa rasa takut.(Ant)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *