Sepaku, borneoreview.co – Mahkamah Agung menolak permohonan banding yang diajukan oleh masyarakat adat untuk membatalkan izin konsesi kelapa sawit di ribuan hektare hutan hujan yang mereka klaim sebagai tanah leluhur.
Keputusan ini tertuang dalam dokumen hukum yang dirilis pada Jumat 1 November 2024. Keputusan tersebut menjadi pukulan berat bagi masyarakat adat yang berharap dapat mempertahankan wilayah nenek moyang mereka dari ancaman alih fungsi lahan.
Pengajuan banding ini berpotensi menjadi preseden penting bagi pemerintah yang telah berkomitmen melindungi industri kelapa sawit bernilai ekspor sekitar $30 miliar.
Langkah ini juga diharapkan akan memperkuat tata kelola di tengah berbagai tuduhan deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia yang kerap mengiringi ekspansi kelapa sawit di Tanah Air.
Kasus ini bermula dari konsesi seluas 36.000 hektare yang diberikan kepada PT Indo Asiana Lestari (IAL) di tanah yang diklaim sebagai wilayah adat oleh klan Woro dari Suku Awyu. Hendrikus “Franky” Woro, anggota masyarakat adat yang terlibat dalam perjuangan hukum ini, mengungkapkan kekecewaannya.
“Saya merasa patah hati karena tidak punya jalan hukum lain untuk melindungi tanah dan masyarakat di tanah leluhur saya. Saya hancur karena selama perjuangan ini, tidak ada dukungan dari pemerintah,” ujarnya dikutip dari voaindonesia.
Dalam putusan tersebut, dua dari tiga hakim Mahkamah Agung menyatakan bahwa banding tersebut telah melewati batas waktu pengajuan sehingga harus ditolak.
Namun, satu hakim berpendapat berbeda dan menilai izin yang diberikan kepada IAL melanggar Undang-Undang Lingkungan, sebagaimana tercantum dalam dokumen pengadilan.
Hingga berita ini diterbitkan, Indo Asiana Lestari belum memberikan tanggapan atas permintaan komentar. Sebelumnya, perusahaan mengklaim telah memiliki semua izin yang diperlukan secara hukum dan mencapai kesepakatan dengan 12 suku di sekitar konsesi tersebut.
Selain IAL, anggota suku Awyu juga menggugat izin untuk PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya, dua perusahaan kelapa sawit lain yang beroperasi di wilayah yang sama. Secara total, luas lahan yang disengketakan dalam kasus-kasus ini mencapai hampir 115.000 hektare.
Greenpeace dan kelompok nonpemerintah lain yang mendukung masyarakat Awyu menyatakan bahwa keputusan Mahkamah Agung ini berpotensi menjadi yurisprudensi penting yang bisa berdampak pada kasus-kasus serupa di masa mendatang.