Site icon Borneo Review

Masyarakat Paloh Lepas Liar 20 ribu Tukik di Pantai Tanjung Api Kalbar

Tukik

Pelepasliaran massal ini menjadi bagian dari kegiatan bertajuk Bulan Pelepasan Tukik Terbanyak yang berlangsung mulai pertengahan Oktober hingga pertengahan November 2025. (borneoreview/ANTARA)

PONTIANAK, borneoreview.co – Kelompok Masyarakat Pengawas Kambau Borneo bersama Kelompok Sadar Wisata Tanjung Api dan Yayasan Sealife Indonesia berhasil melakukan pelepasliaran 20.000 ekor tukik selama empat pekan berturut-turut di Pantai Tanjung Api, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas.

“Masyarakat Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas menguatkan upaya pelestarian tukik di pesisir utara Kalimantan Barat menunjukkan hasil menggembirakan,” kata Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas Kambau Borneo, Jefriden atau akrab disapa Long Ejep, di Sambas, Selasa (28/10/2025).

Dia menjelaskan, pelepasliaran massal ini menjadi bagian dari kegiatan bertajuk Bulan Pelepasan Tukik Terbanyak yang berlangsung mulai pertengahan Oktober hingga pertengahan November 2025. Kegiatan ini sekaligus mencatatkan capaian konservasi terbesar dalam sejarah pelestarian penyu di Kalimantan Barat.

“Kegiatan ini dilakukan secara bertahap untuk menyesuaikan dengan masa penetasan alami tukik. Sebanyak 20.000 tukik akan kami lepasliarkan secara bertahap selama empat pekan. Setiap pekan, kami melepas sekitar 5.000 ekor, baik pagi maupun sore hari,” tuturnya.

Menurut Ejep, tukik-tukik tersebut merupakan hasil penetasan semi alami dari sekitar 34.000 butir telur penyu yang direlokasi dari sarang-sarang rawan perburuan selama musim peneluran Juli hingga September 2025.

“Relokasi kami lakukan untuk melindungi telur dari pemburu dan predator, sekaligus memudahkan pendataan serta edukasi wisata konservasi di Tanjung Api,” kata dia.

Upaya konservasi yang dilakukan masyarakat Paloh selama lebih dari 12 tahun ini mulai menunjukkan hasil signifikan.

Musim puncak peneluran penyu tahun 2025 mencatat 1.157 ekor penyu mendarat di kawasan Pantai Tanjung Api hingga Tanjung Kemuning sepanjang empat kilometer, dengan 670 ekor di antaranya bertelur.

Dalam periode tiga bulan, lebih dari 67.000 telur penyu diinkubasi di wilayah tersebut. Sebagian besar penyu yang bertelur pada Agustus dan September diperkirakan menetas sepanjang Oktober hingga November, menjadikan periode ini sebagai bulan dengan jumlah tukik terbanyak sepanjang sejarah konservasi di Paloh.

Ketua Pokdarwis Tanjung Api, Muraizi, menuturkan bahwa kegiatan konservasi penyu kini juga dikembangkan sebagai wisata edukasi yang dapat dinikmati masyarakat tanpa tiket masuk, melainkan dengan sistem donasi sukarela.

“Kami ubah kawasan konservasi menjadi tempat edukasi supaya masyarakat bisa terlibat langsung dalam pelestarian. Tidak ada retribusi, tapi donasi sukarela untuk biaya operasional seperti pakan penyu, perawatan fasilitas, dan penjaga pantai,” katanya.

Menurut Muraizi, langkah ini dilakukan karena sejak kewenangan pengelolaan konservasi tidak lagi berada di tingkat kabupaten, dukungan dana dari pemerintah menjadi sangat terbatas.

“Kadang ada bantuan, kadang tidak. Jadi kami harus berinovasi agar kegiatan konservasi tetap berjalan,” kata dia.

Ia menegaskan, keberhasilan konservasi tak hanya bergantung pada kesadaran lingkungan, tetapi juga kesejahteraan para pengelolanya.

“Pelestarian bukan hanya soal penyu, tapi juga tentang orang yang menjaga. Kalau mereka lelah dan berhenti, siapa lagi yang akan peduli?” tuturnya.

Sementara Direktur Yayasan Sealife Indonesia Dwi Suprapti mengapresiasi konsistensi dan kemandirian Pokmaswas Kambau Borneo yang telah menjaga keberlanjutan konservasi penyu di Paloh selama lebih dari 12 tahun tanpa adanya dukungan pendanaan tetap.

“Upaya mereka luar biasa. Dalam dua bulan mampu menetaskan dan melepasliarkan lebih dari 20.000 tukik. Jumlah ini bahkan melampaui rekor MURI 2022 di Bali yang mencatat 15.000 tukik,” katanya.

Dwi menjelaskan bahwa metode pelepasliaran bertahap yang dilakukan oleh Kambau Borneo merupakan pendekatan terbaik untuk menjaga kelangsungan hidup tukik di laut.

“Tukik sebaiknya dilepas segera setelah menetas agar cadangan makanan alami di tubuhnya tidak habis. Pelepasan bertahap juga mengurangi risiko dimangsa predator dan kematian massal,” terangnya.

Ia menilai, keberhasilan konservasi di Paloh tidak lepas dari kolaborasi berbagai pihak — mulai dari pemerintah desa, kabupaten, hingga provinsi, serta dukungan lembaga konservasi, akademisi, dan CSR perusahaan.

“Kolaborasi ini harus terus dipelihara demi kelestarian penyu dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui wisata edukasi yang ramah lingkungan,” kata Dwi. (Ant)

Exit mobile version