Site icon Borneo Review

Media Jadi Penjernih dan Merawat Nalar di Era Digitalisasi dan Badai Hoaks

Bijak dan Antihoaks

Di era digital dan banjir informasi seperti sekarang ini, maka bijak bermedia sosial dan sikap antihoaks menjadi penting.(ISt)

MATARAM, borneoreview.co – Pada sebuah sore di akhir Agustus 2025, layar ponsel Oky, seorang pegawai muda di Mataram, dipenuhi pesan berantai di grup WhatsApp keluarga.

Sebuah video memperlihatkan kerumunan massa yang marah. Api menjilat tinggi, dan bangunan besar yang terbakar. Teks yang menyertainya menegaskan:

“Pembakaran gedung pemerintahan di Filipina oleh generasi muda yang marah pada pemerintah!”

Sekilas, visual itu tampak meyakinkan. Banyak anggota keluarga Oky bereaksi spontan: ada yang mengutuk, ada pula yang khawatir kerusuhan meluas ke Asia Tenggara.

Video itu juga cepat beredar di TikTok dan Facebook, menimbulkan gelombang komentar dan kecaman.

Namun, tak lama kemudian, fakta terkuak. Video tersebut bukan dari Filipina.

Itu adalah rekaman peristiwa nyata berupa pembakaran Gedung DPRD Nusa Tenggara Barat (NTB) saat aksi demonstrasi berakhir ricuh pada 30 Agustus 2025.

Klaim bahwa peristiwa itu terjadi di Filipina adalah murni disinformasi atau narasi yang salah tempat.

Bagi Oky, kabar ini jadi pelajaran berharga.

“Saya hampir percaya begitu saja. Untung ada berita klarifikasi dari media, jadi tidak ikut-ikutan menyebarkan,” ujarnya.

Kisah sederhana ini menggambarkan betapa cepat dan luasnya hoaks menyusup ke ruang-ruang digital kita.

Fenomena seperti yang dialami Oky bukan hal baru. Di era digital, informasi bergerak lebih cepat daripada kemampuan kita untuk memeriksa kebenarannya.

Media sosial, aplikasi pesan instan, hingga portal daring memberi akses instan kepada jutaan orang.

Namun, justru di balik kecepatan itu, tumbuh krisis baru yakni krisis kepercayaan.

Masyarakat kini cenderung lebih percaya pada unggahan singkat di media sosial daripada laporan panjang yang disusun jurnalis profesional.

Padahal, sebagaimana diingatkan para pakar, verifikasi adalah ruh dari jurnalisme. Tanpa itu, kabar bohong akan merajalela.

Data dari Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menunjukkan, sepanjang 2024, Tim AIS Subdit Pengendalian Konten mencatat sedikitnya 1.923 konten hoaks nasional yang beredar.

Hoaks itu mulai dari isu politik, kesehatan, hingga sosial kemasyarakatan.

Jumlah ini tak hanya angka statistik, tetapi cermin betapa derasnya arus misinformasi yang melintasi ruang digital Indonesia.

Media Lokal Penjernih

Di tengah situasi itulah, media arus utama–terutama media lokal–menjadi garda terdepan untuk menjernihkan kabar.

Media lokal perlu turun tangan meluruskan informasi keliru yang beredar di grup WhatsApp dan media sosial.

Media lokal memiliki peran dalam menangkal berita-berita hoaks. Apalagi tugas media bukan hanya menyajikan berita, tetapi juga menjaga agar ruang publik tidak dipenuhi kabar sesat.

Sekretaris Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) NTB, Fahrul menyatakan generasi Z perlu skeptis.

“Apa pun informasi yang diterima harus dipertanyakan, kemudian dikomparasikan. Jangan langsung percaya atau membagikan,” katanya.

Ia katakan itu dalam seminar Generasi Z dan Jurnalistik Partisipatif, “Antara Fakta, Opini, dan Hoaks yang digelar Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Sativa Fakultas Pertanian Universitas Mataram (Unram), belum lama ini.

Kehadiran media lokal dengan akses langsung ke lapangan membuat klarifikasi bisa dilakukan lebih cepat dan akurat. Dalam kasus pembakaran DPRD NTB.

Misalnya, liputan media lokal membantu publik memahami duduk perkara sebenarnya, sekaligus meredam isu liar yang sempat menyebar.

Kekuatan media lokal dalam menghadapi hoaks juga terbukti saat pandemi COVID-19.

Ketika kabar miring tentang vaksin merebak–dari isu chip dalam suntikan hingga efek samping yang dilebih-lebihkan–warga NTB dilanda ketakutan. Banyak yang ragu untuk divaksin.

Media lokal lalu mengambil langkah strategis dengan cara menghadirkan dokter, tenaga kesehatan, hingga tokoh agama dalam liputan mereka.

Liputan itu bukan sekadar menyajikan data medis, tetapi juga menghadirkan wajah-wajah familiar yang dipercaya masyarakat.

Hasilnya nyata. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan NTB, angka vaksinasi meningkat signifikan setelah berbagai kampanye informasi yang melibatkan media dan tokoh masyarakat.

Hoaks yang semula begitu dominan akhirnya terkikis oleh fakta yang terus dipublikasikan secara konsisten.

Kasus pembakaran DPRD NTB yang dijadikan hoaks lintas negara hanyalah satu contoh betapa luasnya medan pertempuran melawan disinformasi.

ANTARA NTB mencatat, dalam beberapa tahun terakhir, hoaks yang beredar di NTB mencakup berbagai isu, mulai dari gempa Lombok 2018.

Yang memunculkan kabar palsu tsunami, hingga Pilkada 2020 dan 2024 yang dipenuhi survei palsu dan fitnah politik.

Kecenderungan ini sejalan dengan survei nasional yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII).

Pada 2024, tercatat lebih dari 220 juta pengguna internet di Indonesia, dengan mayoritas aktif di media sosial.

Besarnya jumlah pengguna inilah yang membuat hoaks begitu mudah menyebar dan sulit dibendung.

Di NTB sendiri, keterhubungan antarwarga yang kuat melalui grup WhatsApp keluarga atau komunitas membuat kabar apa pun, entah benar atau salah, cepat sekali menyebar.

Kondisi ini memperkuat urgensi peran media lokal sebagai “filter kebenaran.”

Tanggung Jawab Sosial Media

Tugas media jelas tak berhenti pada menyajikan berita. Dalam lanskap informasi digital yang riuh, media memikul tanggung jawab sosial yang lebih besar yakni menjadi agen literasi publik.

Melalui liputan investigasi, rubrik fact-checking, hingga reportase berbasis kemanusiaan, media membantu masyarakat memilah mana fakta dan mana ilusi.

Lebih dari itu, media juga berperan membangun daya kritis warga agar tidak mudah terombang-ambing oleh kabar menyesatkan.

Di NTB, misalnya, berbagai inisiatif kolaboratif sudah mulai tumbuh.

PWI NTB, media lokal hingga komunitas literasi digital sering menggelar diskusi publik atau pelatihan jurnalisme warga.

Semua diarahkan untuk membekali masyarakat dengan keterampilan dasar memeriksa informasi.

Hoaks, pada akhirnya, bukan hanya soal berita salah. Ia adalah ancaman sosial yang bisa menggerus kepercayaan, memicu ketakutan, bahkan mempengaruhi kebijakan publik.

Di tengah arus deras informasi yang tak mengenal batas, jurnalisme berbasis verifikasi tampil sebagai mercusuar atau penuntun agar masyarakat tidak tersesat.

Media, khususnya media lokal, menjadi filter kebenaran yang menjaga nalar publik tetap waras.

Sebagaimana kisah Oky di awal tulisan ini, kebenaran seringkali datang terlambat jika kita hanya mengandalkan media sosial.

Namun dengan media yang bekerja secara profesional, kita masih punya benteng terakhir.

Di era ketika satu video bisa menyalakan api kepanikan lintas negara, menjaga nalar bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mendesak.

Di sinilah peran media menjadi vital: merawat nalar di tengah badai hoaks.***

Exit mobile version