PONTIANAK, borneoreview.co – Restu Dharmawan dengan tenang dan perlahan menuangkan biji kopi melalui corong mesin pemanggang kopi di kedai kopinya yang nyaman, Rabu (27/11/2024) sore.
Setelan waktu dan suhu pemanggangan diatur sebelumnya melalui aplikasi khusus di laptop agar prosesnya otomatis dan stabil, menciptakan cita rasa sesuai keinginan.
Dalam waktu 15-20 menit, biji kopi sebanyak lima kilogram dapat matang sempurna. Durasi pemanggangan bergantung pada cita rasa yang diinginkan, medium roast memerlukan waktu lebih singkat dibandingkan dark roast, yang menghasilkan biji kopi hitam, mengkilap, dan berminyak.
Pemanggangan ini bukan sekadar aktivitas rutin. Selain memenuhi kebutuhan kedai sendiri, Restu juga menyediakan jasa pemanggangan bagi kafe modern di Kota Pontianak.
Aktivitas yang dilakukan Restu merupakan bagian dari proses sebelum kopi siap seduh ke pelanggan. Pemanggangan kopi selain untuk memenuhi kebutuhan usaha sendiri bersama sang istri, Siti Masitha juga bagian dari usahanya sebagai jasa pemanggang kopi untuk coffee shop atau kedai kopi modern di Kota Pontianak.
Pada 2018, Restu dan istrinya, Siti Masitha, memulai perjalanan mereka dengan membuka 101 Coffee House di Jalan Ujung Pandang, Kota Pontianak, Kalimantan Barat.
Kedai ini memiliki misi besar: memperkenalkan kopi khas Kalimantan Barat (Kalbar), khususnya jenis liberika, baik di sektor hulu maupun hilir.
Di sektor hilir, 101 Coffee House menawarkan produk unggulan seperti kopi panggang, bubuk kopi, hingga kopi siap seduh yang laris manis dan sering dijadikan oleh-oleh khas Kalbar. Di sektor hulu, mereka membina petani di Desa Sendoyan, Kabupaten Sambas, untuk meningkatkan kualitas bahan baku.
Pendampingan dan kemitraan dibangun dengan kelompok tani termasuk siap menampung kopi liberika produksi petani.
Pendampingan itu meliputi pelatihan teknik budidaya hingga komitmen membeli hasil panen para petani. Langkah ini bertujuan memastikan keberlanjutan produksi kopi liberika, yang memiliki potensi besar namun kerap kurang dihargai.
Restu dan istri mengangkat kopi Kalbar tidak terlepas dari potret di Kalbar khususnya Kota Pontianak di mana ia berusaha. Kota Pontianak selain dijuluki sebagai Kota Khatulistiwa juga dijuluki kota “1001 Warung Kopi (Warkop)”. Julukan ini lahir budaya nongkrong menikmati pahit dan manisnya kopi tersebut.
Budaya minum kopi atau ngopi menjadi salah satu budaya yang tumbuh di Kota Pontianak, tidak hanya dinikmati dari kalangan orang tua saja, tetapi bagi semua kalangan. Tren inilah yang membuat industri warkop banyak ditekuni di Pontianak, sehingga warkop menjamur di sana – sini menjadi peluang usaha di Pontianak.
Namun dari banyaknya warkop yang ada, biji kopi khas lokal atau Kalbar sangat sulit tersedia di sana. Kopi yang disajikan banyak berasal dari luar daerah, tentunya hal ini sangat memprihatinkan.
Padahal di Kalbar memiliki letak geografis yang strategis dan cocok ditanami beberapa jenis kopi seperti robusta dan liberika yang terkenal di kalangan pemanggangan kopi. Hanya saja, kurangnya pada beberapa petani kopi Kalbar yang tidak memperlakukan biji kopi dengan baik.
Berangkat dari keprihatinan itulah, Restu Dharmawan dan Siti Mashita bertekad untuk mempopulerkan kopi khas Kalbar. Menurut mereka sangat memprihatinkan jika dari banyaknya warkop yang ada, tetapi tidak tersedia kopi khas Kalbar.