Mengenal Wadi, Fermentasi Ikan Air Tawar: Cara Warga Dayak dan Banjar Penuhi Cadangan Pangan

wadi

PONTIANAK, borneoreview.co – Suku Dayak dan Banjar dikenal sebagai peladang. Namanya berladang tentu berpindah, inilah yang menyebabkan hadirnya wadi.

Ya, wadi adalah fermentasi ikan air tawar. Maksudnya, ikan yang diawetkan bisa terus dimanfaatkan selagi Suku Dayak dan Banjar berpindah-pindah.

Dengan begitu, wadi itu bisa menjadi cadangan pangan. Dia bisa saja berupa ikan papuyu, jelawat, baung, sepat, patin, nila, mas, dan sebagainya.

Melansir berbagai sumber, Sabtu (18/10/2025), sejatinya wadi tidak hanya ada di Kalimantan Tengah, tapi juga ada di Kalimantan Selatan dan di daerah Sumatra, tentunya dengan nama yang berbeda.

Yang jelas, terciptanya wadi karena peladangan berpindah kerap menjauhkan orang Dayak dan Banjar dari sungainya.

Nah, siklus hidup ini yang membuat mereka menguasai teknologi pengawetan ikan.

Ketika sedang bertanam atau memanen hasil ladang tersebut, warga yang tidak sempat berburu atau menangkap ikan tinggal mengeluarkan persediaan wadi yang mereka simpan di balanai (guci, belanga, toples).

Sejatinya wadi sejak lama telah dikenal turun-temurun oleh warga Dayak dan Banjar di Kalimantan guna memperpanjang lama simpan ikan tangkapan, bisa berbulan-bulan bahkan hingga setahun.

Dengan kata lain, wadi adalah bentuk kearifan lokal warga Dayak dan Banjar menghadapi paceklik atau musim sepi ikan.

Berikut cara membuat wadi:

1. Ikan yang sudah dipotong-potong seukuran separuh telapak tangan orang dewasa (bisa juga tidak dipotong) ditaburi garam selama sehari semalam.

2. Keesokan paginya, ikan dicuci untuk menghilangkan garam. Selanjutnya, ikan direndam larutan gula aren sehari semalam.

3. Keesokan harinya, ikan ditiriskan dan ditaburi irisan bawang putih agar beraroma harum.

4. Setelah itu, ikan ditaburkan butiran beras (padi) berwarna cokelat kekuningan. Butiran beras ini dinamakan samu.

Samu pun sebelumnya juga menjalani serangkaian proses. Diawali pencucian, penirisan selama semalam, disangrai hingga cokelat kekuningan, hingga digiling kasar.

5. Sekitar seminggu kemudian, ikan yang sudah ditaburi samu menjadi wadi. Ikan fermentasi ini menyengat baunya, tetapi memiliki rasa yang lezat.

6. Agar wadi tidak mengalami pembusukan selama proses fermentasi, balanai (guci, belanga, atau toples) harus tertutup rapat.

Dan, lapisan atas wadi diberikan beberapa lembar daun nangka agar tidak busuk atau berulat. **

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *