PONTIANAK, borneoreview.co – Pengelolaan air menjadi salah satu tantangan utama dalam praktik pertambangan di Indonesia yang didominasi oleh sistem tambang terbuka. Dengan curah hujan yang tinggi, rata-rata mencapai 3.000 milimeter per tahun pengendalian air limpasan dan kualitas air tambang menjadi faktor krusial bagi keberlanjutan lingkungan.
Peneliti Keahlian Rekayasa Air dan Limbah Cair Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB), Sonny Abertiawan, menegaskan pentingnya penerapan Good Mining Practices (GMP) sebagai kunci tanggung jawab lingkungan dalam industri tambang. Menurutnya, GMP tidak hanya diterapkan saat fase operasional, tetapi juga harus berlanjut hingga tahap pascatambang.
“Good Mining Practices itu satu-satunya cara agar kegiatan tambang kita bisa benar-benar bertanggung jawab. Mulai dari perencanaan, pengelolaan air, reklamasi progresif, sampai pascatambang,” kata Sonny dalam keterangan tertulis, Minggu (9/11/2025).
Kondisi curah hujan yang tinggi menimbulkan tantangan besar bagi tambang terbuka (open pit mine) yang mendominasi industri ekstraktif nasional. Air hujan dalam jumlah besar berpotensi mencemari sungai dan danau bila tidak dikelola dengan baik.
“Pengendalian debit adalah kunci. Sayangnya, banyak perusahaan masih belum serius. Ketika hujan ekstrem, air tambang melimpas begitu saja, membawa logam dan sedimen,” ujar Sonny.
Ia menjelaskan, karakteristik air limpasan berbeda-beda bergantung pada jenis tambang. Pada tambang batubara, air limpasan umumnya tidak terlalu kaya logam berat. Namun, tambang emas, tembaga, atau nikel memiliki tantangan lebih kompleks.
Tambang nikel, misalnya, menghasilkan logam dalam bentuk padatan tersuspensi yang secara teknis bisa diendapkan. “Tapi tetap saja perlu teknologi tambahan, seperti bahan kimia khusus untuk menghilangkan kromium heksavalen,” jelasnya.
Penelitian Sonny bersama tim ITB di Pulau Obi, Maluku Utara, menemukan kompleksitas tersendiri dalam pengelolaan air tambang. Pulau dengan topografi curam dan curah hujan tinggi itu kini menjadi salah satu pusat industri nikel di Indonesia.
Menurut Sonny, kondisi Sungai Akelamo, sumber air bersih utama masyarakat, masih baik. Namun, risiko pencemaran tetap ada saat hujan ekstrem melanda. “Fasilitas pengendalian air harus mampu menahan volume besar sebelum air dialirkan ke sungai,” ujarnya.
Ia mengapresiasi sejumlah perusahaan besar di Obi yang mulai memperbaiki sistem pengelolaan air tambang. Harita Nickel, misalnya, disebut telah membangun kolam pengendapan sedimen berkapasitas besar untuk menampung air limpasan dari area tambang dan kawasan industri.
“Perubahan dari 2019 hingga 2025 sudah cukup signifikan,” kata Sonny.
Bagi Sonny, menjaga air di tengah aktivitas tambang bukanlah tanggung jawab perusahaan semata. Ia menekankan pentingnya kolaborasi empat pihak: pemerintah, perusahaan, akademisi, dan masyarakat.
“Pemerintah harus menetapkan regulasi jelas dan menegakkan kepatuhan. Perusahaan wajib membangun infrastruktur pengolahan. Akademisi memberi dasar ilmiah dan teknologi. Dan masyarakat, mereka perlu dilibatkan sejak awal, bukan setelah masalah muncul,” tegasnya.
Model co-management berbasis daerah aliran sungai (DAS) dinilai sebagai pendekatan yang efektif. Dengan melibatkan masyarakat sejak tahap perencanaan, risiko pencemaran dapat ditekan sebelum menjadi masalah lingkungan yang lebih besar.
Sonny menambahkan, regulasi nasional sebenarnya sudah cukup lengkap—mulai dari AMDAL hingga standar kualitas air. Namun, tantangan terbesar justru terletak pada konsistensi penerapan dan pengawasan di lapangan.
“Harapan saya, semua pihak bergerak dari reaktif menjadi preventif. Tambang harus dikelola dengan mempertimbangkan ekosistem dan air, bukan hanya produksi,” ujarnya.
Melalui pendekatan ilmiah, infrastruktur yang memadai, dan komitmen bersama, pengelolaan air di wilayah tambang dapat menjadi tonggak penting menuju praktik pertambangan yang berkelanjutan dan berkeadilan bagi lingkungan.***
