GIANYAR, borneoreview.co – Berkat jiwa seni dan kreativitas, warga Bali itu sanggup atasi kekumuhan lingkungan dengan menyulap sampah jadi cuan.
I Wayan Balik Mustiana, warga Desa Adat Cemenggaon, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali, menyulap salah satu sudut halaman rumahnya menjadi ruang kreatif.
Perajin perak itu membuat meja bundar berdiameter sekitar satu meter dengan dua tempat duduk masing-masing di sisi kanan dan kirinya.
Di tempat itu, pria berusia setengah abad tersebut kerap mengerjakan kerajinan, menerima tamu atau sekedar duduk santai bersama keluarganya.
Sekilas meja dari beton itu tampak sederhana dan biasa saja.
Namun yang tak biasa adalah meja itu sekaligus menjadi penutup tempat sampah yang ada di bawahnya.
Di sini-lah letak keunikannya. Wayan, yang juga dikenal pegiat lingkungan itu membuang sampah organik, berupa daun-daun yang biasanya berserakan di halaman rumahnya hingga sampah dapur di tempat itu.
Nyaris tidak ada aroma tengik yang tercium dari bawah meja tersebut tatkala duduk di sudut halaman rumahnya.
Teba Modern
Wayan Balik terinspirasi dari kearifan lokal masyarakat Bali yang menjadikan halaman belakang rumah atau dalam bahasa Bali disebut teba yang biasanya berfungsi sebagai kandang ternak hingga mengelola sampah organik.
Sampah organik itu di antaranya sisa bahan pangan, sisa makanan, sampah daun, bunga, rumput sisa kebun atau sampah organik dari upacara keagamaan.
Pengelolaan sampah kala itu masih bersifat tradisional karena cukup membuang limbah organik di tanah terbuka di halaman belakang rumah.
Dahulu minim penggunaan plastik, tak semasif seperti sekarang ini sehingga butuh usaha yang sejatinya tampak mudah, tapi terkadang sulit dilakukan yaitu memilah sampah.
Wayan menuturkan inisiasi teba modern awalnya pada rentang tahun 2013-2014 hingga dirintis Sistem Pengelolaan Sampah Mandiri Perdesaan (Pesan Pede) pada 2016, melalui Forum Peduli Lingkungan di desanya yang ia nakhodai sejak 2011.
Pembuatan teba modern menggunakan ukuran minimal lubang berdiameter lebar 80 centimeter dengan kedalaman sekitar dua meter.
Di atasnya langsung dibuat penutup dari beton dan dilengkapi lubang lebih kecil sebagai jalur buka tutup untuk memasukkan sampah organik.
Bisa juga setelah tanah digali, kemudian di atas permukaan tanah ditambah buis beton berukuran tinggi sekitar 50 centimeter, kemudian dibuat lagi lubang lebih kecil di bagian bawahnya untuk jalur buka tutup memasukkan sampah organik.
Nantinya, sampah akan terurai secara alami melalui bantuan mikroorganisme dan mahkluk hidup dalam tanah seperti cacing, semut hingga serangga lainnya sehingga berkontribusi menyuburkan tanah.
Setelah enam bulan hingga satu tahun, sampah organik itu menjadi pupuk kompos yang dapat dipanen untuk pupuk tanaman.
Idealnya masing-masing rumah ada dua lubang komposter tersebut sehingga saat satu lubang penuh, ada lubang cadangan yang bisa dimanfaatkan bergantian.
Tak hanya menampung sampah organik, lubang tersebut juga sekaligus menjadi resapan air khususnya saat musim hujan.
Peran Desa Adat
Desa adat memiliki peran krusial dalam pengelolaan sampah mandiri Pesan Pede itu mengingat teba modern wajib dibuat warga sesuai kesepakatan bersama melalui perarem atau keputusan yang lahir berdasarkan musyawarah desa adat.
Hingga saat ini, seluruh warga Desa Adat Cemenggaon yang mencapai 356 Kepala Keluarga (KK) sudah memiliki teba modern.
Perlu usaha ekstra untuk mengajak, meyakinkan hingga tumbuh kesadaran dari masyarakat untuk membuat lubang komposter, baik biaya sendiri atau bantuan pihak lain.
Sedangkan sampah anorganik seperti plastik, kardus, hingga kertas ditampung dalam tong sampah berbeda dengan sampah residu seperti popok, pembalut dan sampah yang sulit didaur ulang.
Sampah non-organik yang sudah terpilah itu kemudian dibawa ke Bank Sampah Sami Asri yang beroperasi sebulan sekali di desa adat tersebut, kemudian dikonversi menjadi tabungan warga.
Hanya sampah residu diangkut dan dibawa satu minggu sekali ke tempat pemrosesan akhir (TPA) Temesi di Kabupaten Gianyar.
Salah satu warga setempat Wayan Arta mengaku bersyukur sampah plastik sudah tertangani melalui peran bank sampah, sehingga tidak mencemari lingkungan di desanya.
Bahkan ia tak menyangka sampah tersebut menjadi tabungan yang saat ini mencapai ratusan ribu rupiah.
Sampah Jadi Cuan
Jika warga di Desa Adat Cemenggaon menangani sampah di masing-masing rumah, pengelolaan sampah di Desa Adat Seminyak, Kabupaten Badung dilakukan dengan cara berbeda tapi menghasilkan cuan lebih besar.
Desa tujuan wisata itu memiliki lahan seluas 1.750 meter persegi yang digunakan untuk Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) 3R yakni pemanfaatan kembali (reuse), mengurangi (reduce) dan daur ulang (recycle) yang sudah beroperasi sejak 2003.
Tak hanya sampah rumah tangga dari warga desa, TPST itu juga mengelola sampah dari perhotelan dan restoran di Seminyak dan sekitarnya seperti sebagian wilayah Legian dan Kuta.
Ketua TPST 3R Seminyak Komang Rudhita Hartawan mengungkapkan total ada sekitar 1.800 pelanggan, termasuk sekitar 300 KK di antaranya adalah warga desa adat setempat.
Warga desa dipungut iuran per bulan sebesar Rp60 ribu dan iuran untuk pelaku usaha termasuk hotel dan restoran dengan besaran yang bervariasi mulai ratusan ribu hingga jutaan rupiah per bulan.
Saat ini pihaknya menerima hampir 180 meter kubik sampah per hari yang dikumpulkan dari wilayah Seminyak dan sekitarnya.
Ada pun komposisi sampah yang diolah yakni 60 persen sampah anorganik berupa botol plastik, kantong plastik, kardus hingga kertas, dan 40 persen lainnya adalah sampah organik yang diolah menjadi kompos.
Sampah plastik itu kemudian dipilah kembali oleh 52 orang pekerja dengan didukung 28 armada truk.
Setelah terkumpul, tumpukan plastik itu kemudian dipadatkan untuk selanjutnya dikirim kepada salah satu mitra yang terafiliasi dengan produsen minuman bersoda di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat untuk didaur ulang.
Ada pun minimal satu kali pengiriman padatan plastik itu adalah 10 ton dengan harga pasaran sampah plastik per kilogram bervariasi, misalnya aluminium mencapai kisaran Rp13 ribu – Rp14 ribu dan botol plastik Polyethylene Terephthalate (PET) dibandrol Rp4.500 per kilogram.
Sedangkan sampah organik dari rumah tangga, perhotelan dan restoran juga diolah menjadi kompos yang memakan waktu proses sekitar 30 hari dengan kapasitas produksi di TPST itu maksimal empat hingga lima ton per bulan.
Kompos tersebut disalurkan kembali ke hotel dengan nilai kontrak mencapai Rp2.500 per kilogram.
Sementara itu, sampah residu rata-rata sekitar 12 ton per hari yang dibawa ke TPA Suwung Denpasar.
Ruditha menambahkan rata-rata omzet penjualan pada 2024 mencapai Rp3,3 miliar, belum dipotong biaya operasional per bulan mencapai hingga Rp210 juta.
Bank Sampah
Bagian lain yang tak kalah penting dalam pengelolaan sampah adalah bank sampah yang menggabungkan pendekatan ekonomi dan lingkungan.
Sistem itu mendorong masyarakat lebih sadar dan aktif mengelola sampah secara bertanggung jawab.
Ni Wayan Riawari selaku Ketua Yayasan Bali Wastu Lestari Denpasar mengungkapkan, bank sampah juga berperan memberi edukasi dan pemberdayaan masyarakat mulai pengumpulan, pemilahan dan pengolahan sampah menjadi lebih bernilai.
Yayasan itu terhubung dengan komunitas bank sampah di sembilan kabupaten/kota di Pulau Dewata yang pada 2024 totalnya sudah mencapai 698 unit bank sampah, sebanyak 304 unit di antaranya berdiri di Kota Denpasar.
Yayasan itu mencatat selama periode 2021 hingga 2025, total penyerapan sampah plastik dari seluruh sarana pengumpul melalui kerja sama dengan produsen mencapai 4.500 ton per tahun.
Sedangkan nilai ekonomi sampah plastik yang terkumpul pada periode itu diperkirakan sekitar Rp13 miliar.
Saatnya pengelolaan sampah organik melalui teba modern, TPST hingga bank sampah, lebih digalakkan kembali karena berperan mengurangi timbulan sampah khususnya di tempat pemrosesan akhir (TPA).
Beberapa pola penanganan sampah yang terbukti sukses itu tentunya bisa menjadi contoh menangani sejumlah permasalahan penangan sampah di Bali dan daerah lain di Indonesia.
Bagi Bali, contoh sukses di depan mata itu tentu bisa diterapkan sebagai pengganti pola penampungan sampah dengan sistem open dumping, seperti di TPA Suwung yang akan ditutup permanen pada Desember 2025.
Praktik baik dari kearifan lokal di Bali menangani sampah juga bisa menjadi salah satu kunci mengatasi masalah sampah, karena menangani masalah sosial dan lingkungan itu tidak bisa tunggal hanya berserah kepada pemerintah saja.(Ant)