Mochtar Lubis: Manusia Indonesia dan Refleksi Nalar Bangsa Indonesia

Mochtar Lubis

SURABAYA, borneoreview.co – Mochtar Lubis, sastrawan juga wartawan Lembaga Kantor Berita Negara (LKBN) ANTARA, menyampaikan pidato kebudayaan pada 6 April 1977.

Pidato kebudayaan berlangsung di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Mochtar Lubis seperti menelanjangi sifat asli manusia Indonesia. Pidato kebudayaan itu, kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul. “Manusia Indonesia”.

Manusia Indonesia yang merupakan refleksi mendalam dari Mochtar Lubis, mengenai kompleksitas identitas bangsa Indonesia yang masih berusia muda. Yakni, 32 tahun, semasa pidato tersebut disampaikan.

Mochtar Lubis berpendapat bahwa meskipun mayoritas masyarakat Indonesia mempunyai sifat-sifat beradab dan santun, terdapat sejumlah sifat yang kiranya perlu disentuh aspek-aspek perbaikan.

Terlebih dalam masa tersebut, Indonesia masih berusia muda dan tengah mencari jati diri identitas bangsa untuk menjadi sebuah negara-bangsa.

Mochtar menganalogikan Indonesia sebagai sebuah mobil yang sebagaimana sebuah mesin juga memerlukan pemeliharaan, karena terdapat beberapa bagian yang mungkin telah rusak.

Dalam buku “Manusia Indonesia”, Mochtar Lubis berpendapat bahwa terdapat 12 sifat dasar manusia Indonesia yang harus diperbaiki.

12 sifat tersebut yakni hipokritis (munafik), segan atau enggan bertanggung jawab, bersikap dan berperilaku feodal, percaya takhayul, artistik, lemah watak dan karakter, boros, cenderung malas bekerja keras, tukang menggerutu, dengki, dan mudah meniru.

Sebagai sebuah pandangan kebangsaan, tentu saja kita di generasi sekarang tidak boleh menyepelekan pendapat dan analisis dari Mochtar Lubis meskipun buah pemikiran tersebut terjadi sekitar 48 tahun silam.

Nyatanya hingga kini, analisis kritis Mochtar Lubis mengenai sifat dan watak asli manusia Indonesia juga masih kita temui dalam keseharian.

Termasuk lewat lini masa media sosial yang penuh hiruk pikuk saling menghujat satu sama lain.

Gaung “Revolusi Mental” hingga “Bangsa Besar” seperti halnya sebuah siklus yang terus didaur ulang untuk membangkitkan semangat kebangsaan, nampaknya belum bisa menyentuh akar persoalan kebangsaan itu sendiri.

Usaha untuk bisa mengurai akar persoalan kebangsaan tentu saja melalui pemerataan pendidikan seperti yang juga disinggung oleh Mochtar Lubis dalam “Manusia Indonesia”.

Mochtar Lubis berpandangan bahwa pendidikan, sistem sosial politik serta struktur sosial merupakan latar belakang dan sebab manusia Indonesia mempunyai 12 sifat dasar yang negatif.

Maka, pangkal masalah yang belum terurai tersebut, menurut Mochtar Lubis, ke sanalah harus dicarikan solusi.

Pendidikan yang harus menghasilkan sikap masyarakat yang reflektif dan kritis. Lalu struktur politik yang mengedepankan demokrasi dan terhindar dari politik praktis.

Serta struktur sosial yang berperan dalam pembentukan masyarakat salah satunya melalui sistem sosial ekonomi yang sehat.

Nalar Kebangsaan

“Jika aku melihat wajah anak-anak di desa-desa
Dengan mata yang bersinar-sinar
(berteriak) Merdeka! Merdeka!, Pak! Merdeka!
Aku bukan lagi melihat mata manusia
Aku melihat Indonesia!”

Sepenggal puisi berjudul “Aku Melihat Indonesia” tersebut ditulis oleh Presiden pertama Indonesia, Soekarno yang tengah mengobarkan semangat dan membangkitkan cinta tanah air.

Sebagaimana puisi-puisi atau karya sastra yang tumbuh pada era 45, yang penuh gelora dan membangkitkan semangat.

Karya Soekarno tersebut juga sebuah propaganda agar masyarakat merasa saling memiliki dan ikut memelihara Indonesia.

Secara implisit, Soekarno berpesan bahwa masa depan bangsa ini terletak pada wajah anak-anak di desa-desa yang bisa diartikan sebagai harapan dari Soekarno yang terletak di wajah generasi setelahnya.

Kini bangsa Indonesia telah berdiri selama delapan dekade, melewati generasi demi generasi dengan arus persoalan dunia yang semakin kompleks.

Sebagai sebuah negara yang telah berumur genap 80 tahun, Indonesia masih dihadapkan setumpuk persoalan seperti kesenjangan ekonomi dan sosial, perubahan iklim, keterbukaan akses pendidikan, hingga kurangnya lapangan kerja.

Lalu seperti yang disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto dalam pidato kenegaraan pada 15 Agustus, bahwa kini Indonesia dihadapkan praktik “serakahnomics”.

Yang disebutnya sebagai praktik dari para pengusaha yang mengejar keuntungan sebesar-besarnya dengan menipu dan mengorbankan rakyat Indonesia.

Lantas dengan 1001 masalah Indonesia yang menginjak usia 80 tahun ini, apakah kita telah meninggalkan watak asli manusia Indonesia seperti dalam pandangan Mochtar Lubis? Atau kita sebagai bangsa hanya berkutat pada jalan tak ada ujung?

Tepat di hari kemerdekaan ini, kita harus merefleksikan nilai-nilai kebangsaan dan menghentikan jargon serta perayaan kemerdekaan yang sudah berubah menjadi dekorasi sejarah yang hanya dijadikan seremonial setiap setahun sekali.

Kita sebagai generasi masa kini bangsa Indonesia tengah menghadap cermin dengan rupa yang sama seperti diberitakan oleh media selama ini dalam wujud korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Rasanya jembatan emas menuju keadilan dan kemakmuran seperti yang menjadi cita-cita luhur dari Soekarno kini terasa goyah.

Nalar kebangsaan yang membingungkan dan belum bisa menjadi terjemahan kongkret untuk generasi masa kini, yang dihadapkan oleh sumber informasi tak terbatas, menjadi pangkal persoalan kebangsaan yang harus diurai.

Kondisi yang miris dimana kita lambat laun kehilangan jati diri sebagai sebuah bangsa berkebudayaan luhur dan cenderung lebih mengunggulkan budaya asing karena begitu terpapar oleh arus budaya dari bangsa lain.

Dengan kondisi sumber daya manusia dan kekayaan kebudayaan yang melimpah, nalar kebangsaan harus diwacanakan secara kongkret dengan menyentuh sejarah, kebijakan pendidikan, dan kehidupan sehari-hari.

Untuk membalikkan pandangan Mochtar Lubis mengenai watak yang harus diperbaiki manusia Indonesia, diperlukan kebijakan publik yang berakar pada pemahaman utuh terhadap kondisi sosial dan realitas masyarakat saat ini.

Bukan hanya sebuah kebijakan teknokratis yang cenderung tak menyentuh akar permasalahan.

Sejarah telah terukir bahwa bangsa ini pernah menjadi pusat peradaban dunia. Kini kita perlu kompas dan peta yang jelas dalam bentuk nalar kebangsaan untuk bisa mengembalikan masa kejayaan tersebut.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *