Museum Kayu Tuah Himba, Melanggengkan Hutan dan Peradaban Kalimantan

Museum Kayu Tuah Himba

SAMARINDA, borneoreview.co – Di tengah gencarnya pembangunan dan laju deforestasi yang kian menggerogoti hutan Kalimantan, sebuah oasis edukatif berdiri di Tenggarong, Kutai Kartanegara. Namanya Museum Kayu Tuah Himba.

Bukan sekadar etalase benda mati, museum ini adalah wasiat. Wasiat dari hutan Kalimantan yang terus berteriak tentang kekayaan yang kian menipis dan warisan yang nyaris sirna.

Berdiri di kawasan Waduk Panji Sukarame, museum ini menyajikan napas sejarah dan geologi Kalimantan yang terangkum dalam jejeran koleksi kayu, fosil, hingga artefak budaya.

Samiudin, pengelola Museum Kayu Tuah Himba, menjelaskan bahwa museum ini bukan hanya tempat penyimpanan, melainkan cerminan kepedulian atas maraknya kerusakan hutan.

“Satu pohon dapat membuat jutaan batang korek api, tapi satu batang korek api dapat membakar jutaan pohon,” begitu bunyi pepatah yang terpampang di salah satu sudut museum yang disebut Samiudin sebagai mantra yang terus-menerus didengungkan.

Gagasan untuk membangun Museum Kayu Tuah Himba bukanlah tanpa alasan. Cikal bakal pendirian museum ini berawal dari keprihatinan mendalam atas kerusakan hutan yang masif di Kalimantan Timur, pada 1990-an. Hutan-hutan yang tadinya perkasa porak-poranda oleh ekspansi industri ekstraktif dan aktivitas ilegal.

Kondisi itu memicu kegelisahan para pemerhati lingkungan dan mendorong pemerintah daerah untuk mengambil tindakan konkret.

Pemerintah daerah merespons desakan tersebut dan melihat pentingnya sebuah institusi yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk memberi pengenalan, penanaman, pemanfaatan, serta penyimpanan terhadap berbagai jenis kayu yang sudah mulai langka dan hampir punah akibat dari kerusakan hutan yang terjadi. Maka lahirlah sebuah ide, Museum Kayu Tuah Himba.

Pembangunan museum itu dimulai pada 1 Januari 1994 dan diresmikan secara umum pada 25 September 1996. Momentum peresmian ini pun bertepatan dengan Hari Jadi ke-214 Kota Tenggarong, sebuah simbolisasi bahwa pelestarian alam adalah bagian tak terpisahkan dari identitas daerah.

Nama Tuah Himba menyimpan makna filosofis. Museum Kayu adalah “Odah” (dalam bahasa Kutai) atau tempat untuk menyimpan berbagai jenis kayu. Tuah mengandung makna sakti, keramat, berkat (pengaruh), yang mendatangkan keberuntungan. Himba berarti hutan (dalam bahasa Kutai).

Dengan demikian, Museum Kayu Tuah Himba secara harfiah dapat dimaknai sebagai tempat yang menyimpan berbagai jenis kayu, yang memiliki tuah atau keberkatan dari hutan. Sebuah nama yang merefleksikan harapan agar museum ini menjadi penjaga dan pelestari keberkahan hutan Kalimantan.

Kayu Langka dan Buaya Legendaris

Melangkahkan kaki ke dalam Museum Kayu Tuah Himba adalah memasuki lorong yang menampilkan keanekaragaman hayati dan budaya Kalimantan. Samiudin mengungkapkan bahwa koleksi yang tersimpan di museum ini mencapai kurang lebih 855 jenis. Koleksi yang mencerminkan kekayaan alam dan kreativitas manusia di Kalimantan.

Mayoritas koleksi, tentu saja, berfokus pada kayu, dengan sekitar 305 jenis kayu, 250 jenis herbarium (spesimen tumbuhan kering yang diawetkan), 105 jenis arboritum (spesimen pohon yang diawetkan), dan 50 jenis rotan.

Tak hanya kayu dan tumbuhan, museum ini juga memamerkan hasil olahan kayu dan artefak budaya lokal, seperti 35 jenis olahan dari kayu, 12 jenis peralatan dapur tradisional, 17 jenis alat musik, dan 12 jenis alat tangkap ikan tradisional.

Di antara koleksi kayu dan artefak yang artistik, perhatian pengunjung seringkali tertuju pada sebuah koleksi yang paling mencolok dan punya unsur misteri, buaya Sangatta. Buaya raksasa yang diawetkan ini memiliki cerita yang menjadi legenda lokal.

Buaya Sangatta hidup di di daerah rawa-rawa yang bermuara ke laut atau air payau, sebagaimana narasi yang tertera di dekat awetan buaya. Buaya itu ditangkap pada 8 Maret 1996 setelah memangsa seorang wanita bernama Hairani (35 tahun), yang tinggal di daerah Sungai Kenyamukan, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur.

Buaya ini saat ditangkap memiliki panjang 6,8 meter dan berat 850 kilogram. Kemudian lingkar perut 1,8 meter serta berjenis kelamin jantan dan berumur sekitar 70 tahun. Selain buaya Sangatta, tepat di sampingnya juga dipamerkan buaya Muara Badak yang diawetkan. Ukurannya juga tampak besar namun lebih kecil dari buaya Sangatta.

Melindungi Warisan

Museum Kayu Tuah Himba bukan hanya tentang pameran, melainkan sebuah pusat edukasi dan konservasi. Tujuan utamanya adalah memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya hutan dan keanekaragaman hayati Kalimantan.

Di museum ini, pengunjung dapat melihat berbagai jenis kayu, mulai dari yang masih lestari hingga yang sudah langka. “Kayu-kayu yang dipamerkan ini, sebagian masih ada dan ada juga yang sudah hampir punah,” kata Samiudin.

Visualisasi tentang hutan dan konservasi juga ditampilkan melalui video-video edukasi pada layar yang dipajang di museum. Ini sebagai bentuk komitmen museum untuk tidak hanya memamerkan, tetapi juga menginspirasi kesadaran lingkungan.

Museum ini berada di bawah pengelolaan Dinas Pendidikan, Bidang Kebudayaan, Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara.

Museum Kayu Tuah Himba adalah sebuah monumen. Monumen peringatan atas kerentanan hutan Kalimantan, sekaligus monumen harapan akan masa depan yang lebih lestari.

Di setiap serat kayu yang terpampang, di setiap awetan hewan yang membisu, dan di setiap artefak yang bercerita, terkandung wasiat tentang menjaga hutan, sebab hutan adalah jantung kehidupan.

Museum Kayu Tuah Himba juga memamerkan koleksi kayu berkhasiat yang telah lama dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat Kutai Kartanegara, khususnya suku Dayak pedalaman.

Sumber pemanfaatan tumbuhan sebagai obat herbal ini sangatlah kaya, terbukti dari data yang dihimpun: suku Dayak Apo Kayan memanfaatkan sekitar 213 jenis tumbuhan atau kayu, sementara suku Dayak Benuaq menggunakan sekitar 301 jenis.

Beberapa jenis kayu yang dipamerkan dengan khasiat luar biasa antara lain Kayu Pasak Bumi atau Tongkat Ali (Eurycoma longifolia jack), sejenis tumbuhan asli Kalimantan yang tumbuh di dataran tinggi tropis yang belum rusak. Kayu ini terkenal sebagai tonikum bagi ibu melahirkan, obat kuat pria, mengatasi demam hingga malaria.

Ada pula Kayu Gading, atau dalam bahasa Dayak disebut Kayu Ulas, yang banyak tumbuh di sekitar pegunungan Meratus. Teksturnya keras, dan setelah kulit luarnya dibersihkan, warnanya putih kekuningan.

Kayu gading berkhasiat dapat menolak binatang buas, santet, teluh, guna-guna, dan berbagai ilmu hitam lainnya. Sebuah kepercayaan dan praktik tradisional dalam melindungi diri.

Selanjutnya, Kayu Sepang atau Kayu Secang (Caesalpinia sappan. L) berkhasiat sebagai pengusir setan, penambah darah setelah melahirkan, penangkal radikal bebas, digunakan sebagai tanda untuk mengetahui kelahiran, dan sebagai pewarna alami berwarna merah.

Multi fungsi yang menunjukkan kearifan lokal. Terakhir, Kayu Kernanga Hutan (Canangium odoratum) yang berkhasiat sebagai obat malaria, asma, sesak napas, penangkal racun, obat kudis, obat luar untuk pembesaran limpa, demam, bronkitis, dan jamu setelah melahirkan.

Koleksi ini tidak hanya mendidik pengunjung tentang keanekaragaman hayati Kalimantan, tetapi juga menghargai pengetahuan lokal yang telah diwariskan turun-temurun.

Selain itu, museum ini juga menyoroti koleksi kerajinan rotan (Calamus). Rotan adalah tumbuhan yang hidup dan berkembang biak di daerah pepohonan lebat atau hutan tropis. Rotan berduri, hampir seluruh batangnya dari pangkal hingga ujung dipenuhi duri kecil yang sangat tajam.

Untuk di Kabupaten Kutai Kartanegara, etnis yang membudidayakan rotan adalah etnis Kutai dan Dayak, yang biasanya digunakan sebagai bahan pengikat bangunan rumah seperti tiang, atap, lantai, dan dinding.

Kalimantan memiliki rumpun rotan terbanyak dengan 137 jenis, diikuti 91 jenis di Sumatera, 19 jenis di Jawa, 48 jenis di Irian, 11 jenis di Maluku, satu jenis di Timor-Timor, dan satu jenis di Sumbawa.

Wasiat Museum Kayu Tuah Himba didirikan untuk merenungkan, memahami, dan akhirnya bertindak untuk menjaga kekayaan hutan. Itu sejalan dengan pesan yang terukir di sana: Lestarikan hutan kita, lestarikan alam kita, lestarikan Odah Etam.(Ant)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *