Ngecong, Cop Cok dan Cop Mati: Permainan Anak-Anak Tempo Dulu di Pontianak

Permainan Anak

PONTIANAK, borneoreview.co – Dalam suatu sistem sosial pasti membutuhkan aturan, yang mengikat para pihak di dalamnya, agar dapat berinteraksi secara positif.

Aturan tersebut dapat berupa sesuatu yang sederhana ataupun kompleks, dapat berupa sesuatu yang dituliskan secara sistematis atau terdokumentasi secara lisan saja.

Ada yang secara khusus memiliki institusi penegakan aturan, pun ada yang penegakannya dilakukan secara kolektif.

Saat kecilku di kampong halaman, kami mengenal hompimpah seperti banyak tempat di negeri ini.

Suit atau pingsut dalam istilah kami umumnya menggunakan sistem batu (tangan di kepal), kertas (tangan didatarkan) dan gunting (telunjuk dan jari tengah didatarkan, sementara jari lainnya dikepal).

Pada teman-teman yang pindahan dari luar daerah dan terbiasa menggunakan sistem semut (kelingking), gajah (jempol) dan manusia (telunjuk).

Terkadang pun kami terima, tentu saja dengan sebelumnya menanyakan sistem pingsut yang mana yang akan digunakan.

Banyak aturan, yang umumnya tak tertulis, di masa kecil saat bergaul dan bermain dengan rekan-rekan sepantaran.

Ada satu konsep aturan yang mengesankanku, yakni: ngecong, yang agak sulit mencari kesetaraannya dalam bahasa Indonesia.

Makna dasar dari ngecong ini sejatinya adalah pengakuan atas klaim. Sedikit punya kemiripan makna dengan ngetek.

Atau, mengklaim telah melakukan pemilihan terlebih pada sebuah objek yang ada di suatu kumpulan barang-barang sejenis.

Bisa juga, digunakan dalam mengklaim sebagai yang pertama saat menemukan sebuah benda, yang diperkirakan tidak ada pemiliknya, sehingga kepemilikannya akan menjadi miliknya.

Uniknya, saat seorang teman menyatakan ngecong terlebih dahulu, teman-teman yang lain akan menghargainya.

Jika pun ada yang ternyata diketahui telah lebih dahulu ngecong pada benda itu, yang ngecong selanjutnya akan rela hati menyerahkannya.

Saat berada pada situasi yang sulit untuk menentukan pilihan dari beragam alternatif yang menarik, saat kita sudah ngecong.

Itu masih dimungkinan untuk berubah, asalkan mengucapkan “cop-cop” dan segera memindahkan ngecongnya ke objek lain yang masih tak bertuan.

Untuk menghindari seseorang yang kurang punya pendirian atau bertendensi selalu berubah-ubah dengan memanfaatkan cop-cop, konsep ini mengantisipasinya dengan “cop mati”.

Saat seseorang susah menyatakan ngecong, rekan lainnya dapat menguncinya dengan menyatakan cop mati, sehingga yang ngecong tak memiliki lagi peluang untuk cop-cop.

Mungkin di tempat lain juga memiliki konsep yang serupa. Jika ditanya darimana asal konsep ini, siapa penciptanya atau diadaptasi dari apa.

Jawabanku jelas aku tidak tahu. Tapi aku yakin dahulu dan kini, nilai-nilai penghargaan atas klaim, kesetaraan, penghormatan pada aturan dan pemaknaan hakiki.

Juga pada pertemanan dan solidaritas akan selalu membekas pada kami-kami yang pernah mentaati aturan ini, meskipun saat itu kami masih kanak-kanak.

Penulis: Dr Pahrian Siregar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *