Ojek Online, Kekuatan Baru Subkultur Politik di Indonesia

Ojol Antar Affan Kurniawan

JAKARTA, borneoreview.co – Penghujung Agustus 2025, menjadi penanda baru sejarah subkultur, dan memiliki kekuatan politik di Indonesia. Yakni, ojek online (ojol).

Di masa lalu, subkultur yang menggerakkan perubahan di luar parlemen dengan turun ke jalan, mayoritas berasal dari subkultur mahasiswa, buruh, petani, dan agregat dari ketiganya. Yaitu, kaum miskin kota.

Masyarakat menengah seringkali juga menjadi penggerak perubahan, tetapi tidak turun langsung ke jalan.

Kecuali, segelintir orang yang mengarahkan pergerakan ketiga subkultur tersebut.

Kini, publik menyaksikan sebuah subkultur baru. Yaitu, pengemudi ojek online (ojol) yang dapat memengaruhi perubahan di jalanan.

Momentum itu muncul pada saat gelombang protes atas kinerja Pemerintah dan Wakil Rakyat (DPR) di bulan Agustus – September.

Puncaknya adalah gugurnya Affan Kurniawan ketika bertugas mengantarkan pesanan pelanggan yang memicu pengemudi ojol di Jakarta dan berbagai kota, bergerak menunjukkan kekuatan mereka pada penghujung Agustus dan awal September 2025.

Memang pengemudi ojol telah lahir lima belas tahun silam, tepatnya pada 2010, ketika Nadiem Makarim membuat aplikasi Gojek dengan 20 pengemudi ojol generasi pertama.

Namun, pergerakan dan kekuatannya di masa itu tidak terbayangkan menjadi sebesar saat ini.

Di era awal banyak ojol yang justeru menjadi korban dari sesama profesi (pengojek pangkalan) yang lebih dulu mapan di jalanan.

Kini ojol telah bermetamorfosis menjadi kekuatan besar yang tidak terbendung.

Yang dapat bergerak dengan sangat mobile dan sangat cepat dalam hitungan detik, melampaui pergerakan mahasiswa, buruh, dan petani.

Bahkan, juga mungkin melampaui kecepatan mobilitas aparat pemerintah.

Subkultur Ojol

Mobilitas dengan kecepatan tinggi ojol memang bukan suatu hal yang mustahil karena subkultur ojol memiliki semua sumberdaya pendukung.

Pertama, subkultur ojol memiliki banyak SDM yang terdidik. Ketika di masa COVID-19 melanda Indonesia, sebagian besar kelas menengah terdidik lulusan sarjana dirumahkan.

Kalangan ini kemudian menjadi pengemudi ojol karena menjadi satu-satunya pilihan profesi yang paling mudah untuk bertahan hidup di masa pandemi.

Pada masa itulah subkultur ojol mendapat migrasi besar-besaran kaum terdidik.

Sebelumnya, subkultur tukang ojek baik pangkalan maupun online, umumnya berasal dari masyarakat dengan tingkat pendidikan sekolah dasar, sekolah menengah pertama, atau paling tinggi sekolah menengah atas.

Tentu harus diakui sebelum 2019, dapat juga ditemukan segelintir pencilan pengemudi ojol yang berijazah sarjana.

Kehadiran besar-besaran kaum terdidik pada subkultur ojol, membuat ekosistem berpikir ojol menjadi lebih kritis dan sistematis, serta berani bergerak untuk mengusung perubahan di republik ini.

Potret subkultur seperti ini langka ditemui pada subkultur petani atau buruh.

Para sarjana yang menjadi aktivis gerakan petani dan buruh, umumnya bukan lahir dari petani organik atau buruh organik, tetapi berasal dari aktivis mahasiswa yang tertarik pada perjuangan kaum petani dan buruh.

Dengan demikian seringkali isi kepala para pemimpin gerakan petani dan pemimpin buruh yang sarjana berbeda jauh dengan isi kepala petani dan buruh pada umumnya.

Pendek kata, cita-cita dan impiannya seringkali memiliki kesenjangan yang lebar.

Kedua, pengemudi ojol merupakan anak kandung transformasi digital di Indonesia dengan cara berpikir spasial.

Ponsel pintar di genggaman tangan pengemudi ojol sudah seperti pedang di tangan para samurai Jepang.

Pengemudi ojol tidak lagi mengalami gegar budaya ketika berhadapan dengan smartphone beserta sejumlah aplikasi baru dan membaca peta digital.

Gegar budaya digital karena gagap teknologi (gatek) ini harus diakui masih terjadi di subkultur lain seperti petani dan buruh, bahkan masih juga terjadi di kalangan menengah.

Bagi pengemudi ojol berselancar di dunia digital sama gesitnya dengan meliuk-liuk di jalanan ibukota yang keras.

Ketiga, pengemudi ojol memiliki sumberdaya yang jauh memadai untuk bergerak lebih akseleratif. Yaitu, motor kendaraaan roda dua dengan mobilitas tinggi dengan biaya murah.

Ketika sebuah pikiran kritis yang menjadi tujuan bersama diterjemahkan secara sistematis, lalu siap dieksekusi dengan turun ke jalan.

Pengemudi ojol dari berbagai penjuru kota dapat berkumpul di suatu titik serentak dengan hanya mengisi penuh tangki bensin dengan biaya kurang dari Rp100.000.

Sumberdaya ini yang tidak dimiliki oleh subkultur lain seperti petani dan buruh. Tentu petani dan buruh juga umumnya memiliki motor.

Tetapi kesediaan untuk bergerak cepat dalam jarak tempuh hingga luar kota, tidak dimiliki seperti pengemudi ojol yang memang raja jalanan.

Sumber daya ini juga bahkan tidak dimiliki mahasiswa karena tidak semua mahasiswa memiliki kendaraan motor.

Pada konteks ini subkultur petani, buruh, dan bahkan mahasiswa memiliki hambatan yang tak dimiliki oleh pengemudi ojol.

Keempat, pengemudi ojol memiliki fleksibilitas waktu yang tinggi layaknya pemilik saham yang merdeka waktu.

Ketiadaan jam kerja tetap justeru membuat pengemudi ojol bebas menentukan waktu bekerja dan beristirahat sehingga ketika sebuah isu harus diperjuangkan ke jalan.

Maka, meninggalkan waktu bekerja sementara bukan persoalan sulit karena memang jam kerja ditentukan sendiri.

Hal tersebut berbeda dengan subkultur petani yang seringkali ketika akan turun ke jalan mempertimbangkan musim tanam atau musim panen.

Demikian pula kaum buruh yang harus bolos dari bekerja karena pekerjaannya dibatasi oleh jam kerja.

Hal serupa dengan mahasiswa yang seringkali tidak dapat turun ke jalan ketika musim ujian tengah semester atau musim ujian akhir semester berlangsung. Pengemudi ojol terbebas dari ikatan waktu.

Keempat sumberdaya yang dimiliki itulah yang membuat aksi pada Agustus-September 2025 seperti menjadi panggung politik untuk ojol sebagai kelompok yang teroganisir di era digital.

Perjuangan Sosial

Publik menyaksikan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka membaca terlebih dahulu potensi kekuatan subkultur ojol ini, dengan bertemu langsung dengan perwakilan ojol, terlepas dari kontroversi di balik pertemuan tersebut.

Kepolisian pun diakui mampu membaca ojol sebagai subkultur yang diperhitungkan.

Polisi kemudian mengambil langkah dengan menemui pengemudi ojol dan menunjukkan pada masyarakat rekonsiliasi seperti berpelukan dan berbagi bunga.

Langkah tersebut layak diapresiasi sebagai upaya mendinginkan suasana.

Sebagai sebuah subkultur baru yang memiliki kekuatan politik besar, ojol menjelma sebagai organisasi pekerja sektor informal dan berfungsi sebagai alat perjuangan sosial ekonomi.

Sudah sepantasnya pemerintah memperhatikan ekosistem ojol agar dapat hidup sejahtera dengan jaminan-jaminan sosial layaknya pekerja formal.

Fasilitas asuransi seperti tenaga kerja dan kesehatan dapat diberikan pemerintah melalui kerjasama dengan perusahaan start up yang digunakan para pengemudi ojol bekerja.

Jika itu dilakukan, maka subkultur ojol, dapat menjadi subkultur yang lebih sejahtera dan dapat lebih memberi sumbangsih kepada masyarakat.

Selamat datang subkultur baru, subkultur ojol!

*) A. Nawawi, Destika Cahyana, dan Syahroni, Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Generasi Muda Mathla’ul Anwar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *