SAMARINDA, borneoreview.co – Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim) menunjukkan optimisme tinggi dalam menyelesaikan sengketa tapal batas antara Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur yang melibatkan Desa Martadinata.
Penjabat Gubernur Kaltim, Akmal Malik, menyatakan keyakinannya bahwa masalah ini dapat diselesaikan melalui musyawarah mufakat.
Pernyataan tersebut disampaikan Akmal Malik di Samarinda pada Kamis (22/8/2024), merujuk pada sidang Mahkamah Konstitusi terkait Perkara Nomor 10/PUU-XXII/2024. Perkara ini menguji Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan beberapa kabupaten dan kota di Kalimantan Timur, termasuk Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur.
“Kami lebih mengedepankan pendekatan restorative justice untuk menyelesaikan berbagai persoalan administrasi yang sangat banyak terjadi di daerah kita,” kata Akmal Malik.
Pemprov Kaltim telah mengambil langkah-langkah penting dalam menyelesaikan sengketa ini dengan melaporkan kasus tersebut kepada Kementerian Dalam Negeri.
Wali Kota Bontang, Basri Rase, telah mencabut gugatan di Mahkamah Konstitusi, sesuai surat dari Mendagri yang diterima pada 6 Agustus 2024. Keputusan ini diambil setelah adanya kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa melalui musyawarah mufakat.
Namun, penyelesaian sengketa ini belum sepenuhnya final. Kuasa hukum para pemohon, Heru Widodo, mengungkapkan bahwa pimpinan DPRD Kota Bontang belum melakukan paripurna untuk mencabut permohonan ke Mahkamah Konstitusi.
Sementara itu, Bupati Kutai Timur, Ardiansyah Sulaiman, menegaskan penolakannya terhadap upaya perluasan wilayah Kota Bontang yang menjadi inti sengketa. Ia juga menyoroti adanya dualisme kepemilikan KTP di Dusun Sidrap, Desa Martadinata, yang menjadi salah satu wilayah yang diklaim oleh Pemkot Bontang.
Dengan kondisi ini, Akmal Malik menekankan pentingnya komunikasi efektif dalam menyelesaikan berbagai persoalan di daerah. Ia berharap, melalui dialog yang terus dilakukan, sengketa tapal batas ini dapat diselesaikan secara damai. (Ant)