JAKARTA, borneorview.co – Menghajar sejumlah penjahat, berganti profesi hingga menjual mobil kesayangan adalah sederetan perjuangan Agus Ringgo Rahman.
Perjuangan itu, demi menjadi “Ayah” bagi bocah yang menjadi jaminan utang.
Sebentar tertawa, tak lama kemudian meneteskan air mata. Begitu gambaran emosi yang teraduk-aduk selama menyaksikan Film “Panggil Aku Ayah” yang saat ini tengah tayang di bioskop-bioskop tanah air.
“Panggil Aku Ayah” adalah sebuah tontonan bergenre drama komedi keluarga yang banyak memberi pelajaran hidup.
Pesan yang paling berkesan adalah, hadirnya sosok ayah seutuhnya meski merupakan orang lain yang tidak ada pertalian darah.
Perasaan bahwa ia diandalkan oleh Intan (Myesha Lin), membuat Agus Ringgo yang memerankan tokoh Dedi Kosasih berjuang sekuat tenaga untuk melindungi, merawat dan membesarkan anak kecil yang diamanahkan padanya.
Padahal, awal pertemuannya dengan Intan (kecil) lebih mirip dengan adegan penculikan.
Dedi bersama Tatang (Boris Bokir) si juru tagih utang, saat menyatroni rumah kliennya Rossa (Sita Nursanti) untuk menagih tidak mendapatkan hasil.
Karena Rossa tak memiliki harta benda apapun yang bernilai sebagai jaminan, maka Tatang memberi ide untuk membawa anak perempuan semata wayang Rossa.
Langsung saja Dedi membopong Intan dan dibawa pergi sebagai jaminan utang.
Ini menjadi adegan drama pertama dalam tayangan film berdurasi 120 menit itu.
Skena yang memperlihatkan Rossa meronta-ronta memohon anaknya tidak diambil.
Sementara Intan juga memberontak ingin melepaskan diri dari cengkeraman penagih utang. Yang frustasi karena tak kunjung memperoleh hasil untuk setoran kepada bosnya.
Dari peristiwa yang tidak mengenakkan itu, membuat hubungan Intan dan Dedi layaknya penculik dan tawanan, saling kesal dan membenci.
Upaya Intan untuk kabur, kemudian kemalangan demi kemalangan yang menimpanya memberi kesempatan bagi Dedi untuk menjadi pahlawan penolong.
Dari sana hubungan keduanya berangsur membaik dan malah tumbuh saling sayang hingga ketergantungan satu sama lain.
Dedi pun rela mengorbankan segalanya demi membahagiakan anak titipan itu, karena dalam kelanjutan cerita.
Rossa justru menitipkan Intan kepada Dedi, orang yang ia percaya baik dan menyayangi anaknya dengan tulus.
Kepercayaan itu membuat Dedi makin gigih berjuang demi memenuhi tanggung jawabnya sebagai “ayah”.
Selain menghadapi dan berkelahi dengan banyak orang jahat yang hendak mencelakakan Intan, Dedi bahkan juga rela menjual mobil kesayangannya.
Semua itu untuk biaya menyekolahkan Intan dan modal usaha, agar bisa berhenti jadi penagih utang, profesi yang dianggap kurang layak dilihat anak.
Sisi Gelap
Banyak sisi gelap dalam perjalanan cerita film ini yang realitanya ada di tengah masyarakat.
Seperti, utang rentenir selalu menjadi awal dari kesengsaraan hidup.
Kehidupan keras masyarakat bawah yang akrab dengan kosa kata kasar dan kotor, dalam percakapan sehari-hari.
Praktik perdagangan anak, prostitusi dan mempekerjakan anak di bawah umur, serta fenomena generasi tanpa ayah (fatherless).
Nasib tragis pekerja migran ilegal juga terselip di bagian akhir cerita lewat tokoh Rossa.
Profesi penagih utang yang intimidatif tergambar pula dalam tontonan layar lebar ini.
Beruntung yang memerankannya para pelawak sehingga banyak bumbu-bumbu lelucon dalam adegan kekerasan.
Karya sinema dengan klasifikasi usia 13+ ini tak pelak mengundang gelak tawa di antara alur kisah pilu yang menyayat.
Penempatan tokoh utama Agus Ringgo Rahman, yang lulus dengan banyak pujian dari series populer “Keluarga Cemara” terasa begitu pas.
Sejak sukses menjadi “Abah” dalam series yang diusung ke layar lebar itu, karakter ayah yang penuh kasih dan bijaksana begitu melekat padanya.
Maka meski di awal-awal cerita Dedi berperilaku kejam dengan mengambil anak orang sebagai jaminan utang.
Kita sebagai penonton tidak merasa khawatir ia akan menyakiti Intan.
Pemirsa pasti menduga naluri “ayahnya” akan keluar, ketika intens berinteraksi dengan anak kecil polos yang kemudian dijuluki Pacil (kepala kecil).
Benar saja, adegan demi adegan berikutnya terjadi seperti yang diduga penonton.
Ia jatuh hati pada gadis menggemaskan yang memanggilnya “Mang Dedi” itu hingga kelak remaja.
Beberapa momen menunjukkan pengakuan anak dan keinginan Dedi, turut diakui sebagai ayah.
Seperti saat Mang Dedi mengantar Pacil daftar sekolah SD dan kepala sekolah, memastikan apakah Dedi merupakan ayah dari anak itu.
Ada pula ketika Dedi beraksi modus, malam itu bersama Tatang mendampingi Pacil belajar pelajaran bahasa Inggris.
Saat Intan menyebutkan bahasa Inggris “ayah” adalah “father”, Dedi tak terima dan memaksakan yang benar menurutnya adalah “daddy” (merujuk namanya sendiri, Dedi).
Perdebatan itu cukup mengharukan karena seolah mengisyaratkan kerinduan seorang mantan preman penagih utang tersebut, untuk diakui dan dipanggil ayah.
Hingga menjadi kegemasan tersendiri mengikuti perkembangan Intan, sampai tumbuh remaja tapi masih saja memanggil orang yang berjuang mati-matian membesarkannya, dengan sebutan Mang Dedi.
Sampailah pada kesempatan ia dipertemukan dengan ayah kandungnya. Momen yang kemudian menyadarkannya bahwa pria yang memiliki pertalian darah itu tidak pantas dipanggil ayah.
Saat itulah Intan menelpon Dedi dan untuk pertama kali menyebut “ayah” untuknya.
Akting grogi si Dedi ketika dipanggil “ayah” oleh anak yang telah belasan tahun dirawatnya, sungguh keren dan menggetarkan hati penonton.
Dengan terbata-bata seraya meneteskan air mata ia bergegas menghidupkan sepeda motor dan melaju menjemput Intan.
Yang Disayangkan
“Panggil Aku Ayah” bisa dikatakan “lulus” sebagai film bergenre drama komedi. Namun ada beberapa poin “yang disayangkan” dalam film ini.
Salah satu “yang disayangkan” itu adalah dalam cuplikan penggoda (teaser) di awal tayangan yang terdapat adegan Intan dewasa telah menjadi dokter dan menjalani tugasnya melayani masyarakat.
Tiba-tiba Tatang datang mengabarkan keberadaan Dedi yang hilang pascakecelakaan. Maka keduanya lari tunggang langgang mencari di mana Dedi berada.
Namun, hingga film berakhir, adegan tersebut tidak lagi tampil dalam rangkaian cerita utuhnya.
Mengenai musik latar, kiranya patut dipertanyakan mengapa tidak menggunakan lagu tentang ayah, padahal di industri musik banyak lagu populer bertema ayah.
Ada juga pertemuan Intan dengan ayah kandungnya yang tidak diperlihatkan bagaimana drama yang terjadi di antara mereka.
Ayah kandung yang berada di dalam restoran hanya memandang dari jauh, duduk dan diam di kursi saja, itu agak aneh.
Dengan kerinduan yang teramat besar karena sejak kecil telah meninggalkannya, harusnya ayah kandung Intan tergerak untuk keluar restoran.
Menyusul dan membujuk Intan yang berada di luar. Bukan pasif menunggu Intan yang akan datang padanya.
Tidak adanya suasana perayaan wisuda saat Intan lulus kuliah kedokteran juga agak disayangkan.
Mengingat dedikasi Dedi dalam menyekolahkan anak titipan itu sampai berkorban menjual mobil satu-satunya yang dimiliki.
Dari sisi ini, puncak pencapaian Dedi adalah ketika berhasil mengantarkan Intan menjadi sarjana.
Hal itu ditandai dengan prosesi wisuda, meski adegan wisuda sangat umum dalam banyak film.
Tapi dalam konteks merayakan pencapaian perjuangan panjang, ayah dan anak ini. Sayang bila klimaks itu tidak ada.
Terlepas dari beberapa hal yang disayangkan itu, film produksi Visinema Studios yang digarap sutradara Benni Setiawan.
Film ini pantas direkomendasikan sebagai tontotan bersama keluarga Indonesia.
Memang akan makin membanggakan jika film bagus ini hasil kreasi murni sineas tanah air, dan bukan hasil adaptasi film asing.
Namun, faktanya, film “Panggil Aku Ayah” merupakan adaptasi dari film Korea Selatan berjudul “Pawn” yang beredar tahun 2020.
Walau begitu, penggarapan film yang cukup ciamik sangat layak memperoleh acungan jempol.(Ant)