JAKARTA, borneoreview.co – Film animasi Panji Tengkorak merupakan karya yang penting dan berani dalam kancah perfilman nasional. Film animasi 2D yang ekspresif dan dinamis.
Belum banyak film silat yang dibuatkan pergerakannya dalam bentuk animasi dua dimensi untuk menjangkau populasi generasi Z di Indonesia.
Sebagai adaptasi dari komik legendaris karya Hans Jaladara yang pertama kali terbit pada 1968.
Sutradara Daryl Wilson mencoba membawa kembali cerita klasik tersebut, ke audiens modern melalui medium animasi.
Film dengan genre pahlawan super lokal yang terinspirasi dari guratan gambar ini, juga dieksplorasi animasinya dengan serius.
Secara visual, pembuat film Panji Tengkorak memutuskan untuk menggunakan gaya animasi dua dimensi yang berpadu dengan matte painting.
Gaya animasi 2D menjadi pilihan yang berisiko jika pembuat film menyasar sebagian anak dengan rentang usia 13 sampai 20 tahun.
Sajian animasi model 3D berpadu 2D yang lebih modern, seperti halnya film populer “Kpop Demon Hunters” atau “Spider-Man: Into the Spider-Verse”, lebih akrab dengan usia mereka.
Kendati demikian, animasi 2D memberikan nuansa visual yang menyesuaikan pada komik aslinya, dengan goresan tangan yang ekspresif dan dinamis.
Pilihan ini memungkinkan penggambaran adegan pertarungan yang brutal, lugas, dan intens.
Namun, film Panji Tengkorak juga tidak terkungkung pada gaya konvensional. Penggunaan matte painting menciptakan latar belakang yang luas, sinematik, dan megah.
Hasilnya adalah sebuah dunia yang terasa kuno dan mistis, dengan atmosfer yang kelam dan misterius.
Pilihan untuk menampilkan kekerasan secara eksplisit membuat film ini relatif lebih bisa dinikmati oleh audiens berusia 21 tahun ke atas yang mampu menghargai kedalaman cerita di balik visual yang keras.
Pilihan gaya animasi ini juga membedakan Panji Tengkorak dari film animasi lain, baik lokal maupun internasional.
Selain visual, penyajian karakter juga menjadi salah satu kekuatan film ini.
Karakter utama, Panji Tengkorak, digambarkan sebagai sosok yang kompleks dan penuh luka. Disuarakan oleh Denny Sumargo, Panji ditampilkan sebagai individu yang dihantui oleh masa lalu.
Sang pendekar hidup dalam kutukan abadi setelah menjual jiwanya demi balas dendam.
Suara Denny Sumargo yang serak dan penuh kegetiran berhasil menyampaikan beban emosional yang dibawa oleh karakter ini.
Monolog yang sering kali terlihat dalam kilas balik sepanjang film seakan menjadi jendela bagi penonton untuk melihat ke dalam pergolakan batin Panji.
Panji memiliki penyesalan mendalam setelah istrinya, Murni (disuarakan oleh Aisha Nurra Datau), dihabisi secara tragis sedangkan ia tak mampu berbuat apa-apa.
Panji menjadi sosok yang merintangi karakter kepahlawanannya di dalam cerita, dengan sisi antagonis, terutama saat mencari balas dendam atas ketidakberdayaan dirinya sendiri.
Jalan Cerita
Cerita film Panji Tengkorak sendiri mengangkat tema kepahlawanan dari era gelap peperangan kerajaan-kerajaan besar fiksi di abad ke-15.
Dalam film, Kerajaan Madyantara, menjadi latar belakang utama cerita, tempat di mana rakyatnya terjepit oleh ketegangan politik internal dan ancaman keamanan dari pihak luar.
Selain itu, ada kerajaan besar lain yaitu Aryadwipa, tapi tidak dieksplorasi lebih mendalam sebab Daryl mengatakan fokus cerita ini berada di Kerajaan Madyantara.
Di Madyantara pula, sejumlah pendekar melejit namanya, karena ketidakmampuan raja menghadapi ancaman kedamaian yang menyengsarakan seluruh rakyat kerajaan.
Dengan mengabaikan rakyat yang mengeluh karena masih merasakan ancaman yang tidak pernah usai.
Raja tetap mengutus Panglima Wirabaya (disuarakan oleh Donny Alamsyah) untuk memerintahkan prajurit menarik upeti dari masyarakat dengan jaminan keamanan.
Di sisi lain, para tetua pendekar seperti Bramantya, Lembugiri (Cok Simbara), dan Nagamas (Pritt Timothy) berhasil menemukan pusaka Ajisaka yang dirumorkan sebagai pusaka paling sakti (adidaya).
Konon, pusaka itu dapat membuat penggunanya menjadi pendekar ilmu putih yang paling sakti.
Ajisaka kemudian hendak diwariskan kepada raja kerajaan yang paling bijaksana serta benar-benar bertekad untuk menghentikan perang.
Walau telah menemukan pusaka tersebut, ketiga tetua pendekar itu tidak kunjung sependapat tentang siapa yang berhak mewarisi kesaktian Ajisaka.
Hingga silang-pendapat itu mereda, pusaka tersebut akan terus mereka simpan di dalam peti harta yang kuncinya dibelah menjadi tiga bagian Bramantya, Nagamas, dan Lembugiri, masing-masing menyimpan satu bagian kunci pembuka peti pusaka itu.
Plot berkembang hingga pengungkapan rintangan baru.
Kemunculan faksi para bandit di wilayah terlarang Wanagetih yang dipimpin oleh pendekar Kalawereng (disuarakan oleh Tanta Ginting) berhasil merampas peti pusaka itu.
Kalawereng bukanlah bandit biasa, karena dulunya ia adalah seorang panglima Kerajaan Madyantara. Kalawereng mengklaim telah membelot dari kerajaan karena ia pernah memperoleh semacam “pencerahan” sewaktu berperang.
Misi Kalawereng yang ingin merebut isi di dalam peti pusaka kuno ini, secara tak terduga mengikat takdirnya dengan Panji, murid Nagamas.
Sebagai pemegang salah satu bagian kunci, Bramantya meminta Panji menemaninya merebut kembali pusaka suci itu dari tangan Kalawereng karena Nagamas saat itu telah tiada.
Panji menerima tawaran tersebut, bukan karena ia adalah satu-satunya murid Nagamas, melainkan karena diiming-iming oleh kesaktian pusaka suci yang konon dapat melenyapkan kekuatan ilmu hitam, termasuk kutukan keabadian.
Peran Pendukung
Film Panji Tengkorak membangun karakter pendukung yang memiliki peran signifikan dalam cerita.
Di antaranya Gantari (disuarakan oleh Aghniny Haque) dari Perguruan Dewi Tari menjadi sosok yang membawa sedikit harapan dan sisi terang dalam dunia Panji yang gelap.
Di sisi lain, Bramantya (disuarakan oleh Donny Damara) dari Perguruan Tapak Besi memiliki adik satu perguruan bernama Lembugiri, hadir sebagai pemegang kunci yang dapat membuka peti pusaka Ajisaka.
Selain itu, ada juga karakter komedi yang dimunculkan yaitu Kuwuk (disuarakan oleh Candra Mukti).
Kuwuk dalam cerita ini berperan minim sebagai anggota pasukan kerajaan karena banyak bicara namun kosong dalam tindakan.
Namun, peran Kuwuk yang tidak menonjol justru menjadi menarik dilihat, sebab ia tidak hanya sering mengeluarkan tingkah dan celetukan lucu.
Tapi di sini Kuwuk merupakan narator yang mengisahkan legenda Panji Tengkorak kepada penonton.
Yang Disayangkan
Terdapat satu elemen yang terasa kurang menyatu dalam film Panji Tengkorak yaitu penempatan lagu tema Bunga Terakhir ciptaan Bebi Romeo yang dinyanyikan duet penyanyi lintas generasi, Iwan Fals dan Isyana Sarasvati.
Lagu ini, dengan liriknya yang puitis dan melodi yang melankolis, ditempatkan pada adegan yang terasa tidak sejalan dengan emosi dan suasana keseluruhan film.
Momen ini di tengah adegan pertarungan yang seharusnya menegangkan. Kemunculan lagu yang berfokus pada asmara membuat atmosfer adegan menjadi terganggu.
Keputusan yang mungkin bertujuan untuk menambahkan kedalaman emosional pada karakter ini, terasa eksekusinya kurang berhasil.
Kontras antara lirik dan adegan yang disajikan terlalu mencolok, sehingga mengurangi intensitas dramatis yang telah dibangun.
Penempatan lagu yang kurang pas ini menjadi salah satu elemen film yang berpotensi mengganggu pengalaman menonton bagi sebagian audiens.
Kesimpulan
Di luar aspek teknis dan naratif, Panji Tengkorak memiliki signifikansi budaya yang penting.
Film ini menjadi bukti bahwa legenda dan karakter lokal memiliki potensi untuk diceritakan kembali dengan cara yang relevan bagi audiens modern.
Dengan mempertahankan akar ceritanya yaitu tentang silat, film ini tidak mencoba melunakkan materi aslinya, sebaliknya menambah brutal dan kejam setiap adegan pertarungan lewat animasinya.
Proses produksi yang memakan waktu dua hingga tiga tahun menunjukkan dedikasi dan ambisi yang tinggi dari tim di baliknya, yang terlihat dari hasil akhir yang sinematik dan terasa profesional.
Skor musik yang mengiringi film ini juga memiliki atmosfer yang intens dan mencekam, dan berpotensi meningkatkan pengalaman menonton secara keseluruhan.
asalkan penempatannya diposisikan secara tepat atau mungkin “dihapus saja penempatannya pada satu bagian”.
Sebagai penutup, Panji Tengkorak merupakan sebuah karya yang menunjukkan keberanian, inovasi, sekaligus kontribusi para sineas, seniman animasi hingga desain kreatif bagi perfilman Indonesia.
Film ini menonjol di tengah pasar film yang ada saat ini dengan pendekatan artistiknya yang unik dan narasi yang mendalam.
Panji Tengkorak juga mengangkat legenda lokal ke panggung modern dengan cara otentik dan menarik.
Meskipun ada beberapa aspek yang bisa diperbaiki, film ini telah menetapkan standar baru untuk penceritaan animasi di Indonesia.
Film ini juga menunjukkan bahwa kisah-kisah pahlawan super Indonesia memiliki tempat yang layak untuk dieksplorasi lebih jauh.(Ant)
