PONTIANAK, borneoreview.co – Polisi telah melakukan penangkapan pada beberapa pengepul atau penampung emas di Kalbar. Kasus pertama di Kabupaten Melawi. Sebuah bengkel dijadikan lahan bisnis penampungan emas di tingkat lokal.
Selanjutnya, kasus merembet pada penangkapan penampung emas di Pontianak. Polresta Pontianak menangkap penampungan emas di sebuah ruko di Jalan Perdana, Pontianak.
Kasus penambangan emas di Kalimantan Barat, memiliki sejarah panjang dan penuh intrik antara para penambang emas, penampung, bandar besar, aparat dan para penguasa wilayah.
Ada pepatah Tiongkok berbunyi, “Pada sebuah gunung, tidak boleh ada dua macan.”
Maksudnya, bila ada raja dalam satu kerajaan, bakal terjadi benturan kepentingan dan selisih.
Pesan leluhur itu sangat jelas. Tidak ada penguasa atau pengusaha, mau berbagi kekuasaan pada satu wilayah atau bidang yang sama. Yang muncul tentu saja, ambisi kekuasaan untuk mendominasi dan menguasai.
Begitu pun yang terjadi pada penguasaan tambang emas di Kalbar.
Data dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kalbar, terdapat potensi eksplorasi emas sekitar 541,6 juta ton. Namun, emas di Kalbar menyebar ke berbagai sungai. Tidak seperti emas di Papua. Yang memusat pada satu wilayah atau gunung.
Karenanya, penambangan emas di Kalbar, paling cocok dengan tambang kecil atau tambang rakyat. Sebab, emas itu menyebar.
Tapi, emas sebagai bahan tambang jenis A, izinnya harus di Kementerian ESDM. Juga besar wilayah yang diusahakan. Minimal 20 ribu hektare. Karenanya, tambang emas di Kalbar, selalu disebut penambangan emas tanpa izin (PETI).
Syarat dan izin pengusahaan bakal sulit dilakukan. Selain, tentu saja biji emas yang tersebar, tak menguntungkan bila dieksploitasi dengan izin perusahaan besar.
Tim Borneo Review telah mewawancarai pakar dan konsultan tambang emas di Kalbar. Pria itu, IS sudah lebih dari 30 tahun berkecimpung di dunia tambang. Dia banyak bercerita seputar penambangan emas, para pemain dan aliran emas tambang di Kalbar.
Sejarah Tambang Emas di Kalbar
Tambang emas di Kalbar, telah dimulai sejak abad ke 18. Hal itu bermula dengan kedatangan orang Tiongkok ke Kalbar, sekitar tahun 1740-1745.
Gelombang kedatangan orang Tiongkok semakin banyak, ketika Kerajaan Sambas, membuka wilayahnya bagi para penambang. Kedatangan para pekerja Tiongkok secara bergelombang.
Ketika itu, pusat penambangan emas berada di Montrado. Penambangan emas menghasilkan persekutuan atau kongsi. Tujuannya, supaya kerja penambangan lebih terorganisir dan kuat. Apalagi saat itu, semakin banyak kelompok penambang emas sesama pekerja dari Tiongkok.
Sekitar tahun 1770-an, terdapat sekitar 14 kongsi. Dari semua kongsi, Kongsi Thaikong merupakan yang terkuat.
Penambangan emas menyebabkan perebutan wilayah antara para penambang emas. Apalagi dengan kedatangan Belanda ke Kalbar, 1818. Langsung mengacak-acak keberadaan orang Tionghoa di kongsi. Akibatnya, terjadi Perang Kongsi, 1822-1824.
Perang kongsi membuat jumlah kongsi semakin mengecil dan sedikit.
Lalu, ke mana hasil emas itu dibawa?
“Ketika itu, Kesultanan Sambas sudah terhubung dengan Singapura,” kata IS.
Perdagangan antara Singapura dengan kerajaan di Kalbar, tidak sebatas perdagangan emas. Tapi juga gaharu, karet dan intan dari Landak. Sebagai wilayah perdagangan internasional, Singapura siap menampung produk apa saja dari Indonesia.
Bahkan, tahun 1970-an, ada peristiwa menghebohkan terkait penyelundupan emas ke Singapura. Emas itu dicetak berbentuk jangkar kapal. Lalu, jangkar itu dicat hitam dan dibawa ke Singapura.
Tak heran bila, Singapura sebagai negara tidak memiliki tambang atau penghasil emas, selalu mengeluarkan produk emas.
Pemain Tambang Emas Kalbar
Bicara terkait tambang emas di Kalbar, tidak bisa dipisahkan dengan nama yang satu ini: Siman Bahar atau Bong Kin Phin.
“Pasca Siman Bahar, bos besar pemain tambang emas di Kalbar tersandung kasus dan diperiksa KPK, ada kekosongan kekuasaan penguasa emas di Kalbar,” tutur IS.
Kasus itu terkait dengan dugaan korupsi dalam kerja sama pengolahan anoda logam menjadi emas murni, antara PT Aneka Tambang (Antam) Tbk dan PT Loco Montrado. Kasus itu merugikan negara sebesar Rp 100,7 miliar.
Dari kasus itu, tiga orang ditetapkan tersangka. Pertama, Dody Martimbang, Mantan General Manager Unit Bisnis Pengolahan dan Pemurnian (UBPP) Logam Mulia PT Antam Tbk. Kedua, Agung Kusumawardhana, Marketing Manager UBPP LM PT Antam (Persero) Tbk Tahun 2017. Ketiga, Siman Bahar, Direktur Utama PT Loco Montrado.
Dari berbagai riset pemberitaan terkuak, Dody setuju penunjukan PT Loco Montrado sebagai perusahaan back up refinery, tanpa persetujuan dari Direksi PT Antam.
Tindakan juga diduga tanpa melibatkan bagian dari Research and Business Development Manager dan bagian Legal Risk dan Management PT Antam.
Dody juga buat kesepakatan dengan Siman Bahar, menyerahkan anoda logam (dore) kepada PT Loco Montrado agar diolah jadi emas batangan, tanpa melalui proses kajian finansial, teknologi dan, analisis kemampuan.
Dody telah divonis 6 tahun 6 bulan. Dody juga didenda sebesar Rp 500 juta, subsider 3 bulan penjara. Dodi terbukti melanggar Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Siman Bahar mengajukan pra peradilan dan menang. Namun, KPK telah memanggilnya lagi untuk diperika, Senin (3/2/2025). Siman tak datang di pemeriksaan. Alasannya, sakit dan sedang cuci darah.
Setelah kasus itu, Siman tak aktif lagi. Tapi, ada pemain akan menggantikan dalam gurita bisnis emas di Kalbar. ***