Site icon Borneo Review

Pariwisata Indonesia Harus Sanggup Menuju Babak Baru sebagai Instrumen Peradaban Bangsa

Jatiluwih Festival 2025 Bali

Sejumlah warga menampilkan tradisi pertanian saat pembukaan Jatiluwih Festival 2025 di Desa Wisata Jatiluwih, Tabanan, Bali, Sabtu (19/7/2025). ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/YU

JAKARTA, borneoreview.co – Indonesia dengan segala kekayaan alam dan budayanya, telah lama memimpikan sektor pariwisata yang tak sekadar meraup devisa.

Pemerintah Indonesia juga berharap, pariwisata mampu berdiri tegak sebagai pilar peradaban bangsa.

Kini, mimpi tersebut semakin dekat menjadi kenyataan. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan menjadi undang-undang (UU).

Pengesahan, yang disebut oleh Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana sebagai fondasi penting.

Hal itu menandai sebuah era baru yang lebih berkualitas, inklusif, dan berkelanjutan.

UU tersebut bukan hanya soal memperbarui regulasi teknis, melainkan pergeseran paradigma fundamental.

Ketua Komisi VII DPR Saleh Partaonan Daulay menegaskan, pariwisata kini ditempatkan sebagai instrumen peradaban, pembangunan manusia, kebudayaan, dan penguatan identitas bangsa.

Namun, di balik harapan besar yang dibawa UU baru, pariwisata Indonesia masih berhadapan dengan sejumlah tantangan kronis yang harus dijawab tuntas oleh substansinya.

Masalah pariwisata kita mencakup degradasi lingkungan, tergerusnya budaya lokal, keterbatasan amenitas dan aksesibilitas, rendahnya kualitas layanan, hingga minimnya manfaat ekonomi yang dirasakan masyarakat lokal.

Legislator bahkan menyoroti fakta bahwa, devisa pariwisata Indonesia masih terkonsentrasi di Bali (44% pada 2024).

Hal itu mencerminkan pembangunan yang belum merata di destinasi super prioritas. Seperti Danau Toba, Labuan Bajo, dan Borobudur.

Jika pariwisata adalah “mesin pertumbuhan ekonomi”, maka mesin tersebut harus didistribusikan secara adil, tidak hanya menguntungkan satu pulau.

Oleh karena itu, RUU yang telah disahkan merupakan respons kolektif yang ambisius.

Lahir dari kesadaran bahwa, model pariwisata lama yang berorientasi pada kuantitas kunjungan, dan eksploitasi sumber daya sudah usang.

Ketua Panja RUU Kepariwisataan, Chusnunia Chalim, menilai pengesahan menandai era baru paradigma pariwisata yang berkelanjutan.

Sekaligus menunjukkan respons bersama antara DPR dan pemerintah, atas dinamika dan kebutuhan masyarakat, agar pembangunan dilaksanakan secara lebih inklusif.

Paradigma baru bertekad membangun pariwisata berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Ada tujuan ganda. Yaitu, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, sekaligus memperkuat identitas negara melalui nilai-nilai Pancasila, budaya, dan kemaritiman.

Keberhasilan pariwisata ke depan akan diukur bukan hanya dari devisa yang masuk.

Juga dari kemampuan kita mengelola kelestarian alam dan budaya, menghasilkan SDM berkualitas, dan mengedepankan partisipasi aktif masyarakat.

Budaya Modal Utama

UU Kepariwisataan secara eksplisit menempatkan budaya dan kearifan lokal, sebagai modal utama pembangunan. Pergeseran tersebut monumental.

Jika dulu budaya hanya dilihat sebagai atraksi pendukung. Kini, ia menjadi fondasi strategis bagi pariwisata yang berkualitas.

Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional, sebagai dokumen perencanaan tertinggi, wajib disusun dengan mengedepankan modal budaya.

Budaya berfungsi ganda: sebagai penjaga karakter bangsa dan sebagai alat promosi yang memiliki daya saing unik di kancah global.

Penguatan budaya terwujud melalui dua kebijakan utama.

Pertama, Pariwisata Berbasis Masyarakat Lokal (community-based tourism).

Konsep tersebut memberikan hak dan kesempatan prioritas kepada masyarakat lokal, termasuk kelompok rentan, untuk menjadi pekerja, pengelola, dan pelaku usaha pariwisata.

Ketentuan baru ini secara khusus memperkuat pariwisata yang berbasis masyarakat lokal.

Pengaturan komprehensif tentang desa wisata atau kampung wisata di dalam UU adalah terobosan konstruktif.

Harapannya, desa wisata akan menjadi pusat pembangunan yang secara langsung menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran di desa/kelurahan.

Kedua, penguatan promosi berbasis budaya. Promosi kini berorientasi pada penguatan citra positif Indonesia melalui budaya, seni, diaspora, dan kolaborasi internasional.

Kebijakan tersebut dinilai sebagai instrumen diplomasi internasional. Langkahnya jauh lebih efektif dan mendalam dibandingkan sekadar promosi destinasi.

Melibatkan diaspora sebagai duta promosi adalah strategi cerdas untuk menyebarkan narasi budaya Indonesia di seluruh dunia.

Selain itu, sebagai komitmen menjaga ekosistem, Pemerintah Daerah diwajibkan mengalokasikan sebagian pendapatan pariwisata untuk pelestarian alam dan budaya.

Kualitas Kebutuhan Pokok

Fokus pada kualitas adalah kebutuhan pokok dan solusi konstruktif, untuk mengatasi tantangan yang diidentifikasi Menteri Widiyanti. Seperti, rendahnya kualitas layanan dan kurangnya keterampilan SDM.

UU tersebut memperkenalkan kriteria pariwisata berkualitas yang mencakup prinsip pembangunan berkelanjutan, kualitas hidup masyarakat lokal, dan dampak ekonomi yang tinggi.

Untuk mencapai kualitas tersebut, UU melakukan dua intervensi konstruktif.

Pertama, peningkatan kualitas SDM pariwisata. UU menetapkan bahwa pengembangan SDM dilakukan melalui pendidikan formal, nonformal, dan informal. Termasuk penanaman sadar wisata sejak dini.

Selain itu, SDM pariwisata wajib memiliki sertifikat kompetensi kerja yang didukung oleh lembaga pelatihan terakreditasi.

Penguatan SDM adalah investasi jangka panjang yang krusial untuk memperbaiki standar layanan di seluruh destinasi.

Kedua, tata kelola dan pendanaan berkelanjutan. UU memperkuat sistem perencanaan melalui Ekosistem Kepariwisataan.

Yang harus didukung kajian dan analisis data. Termasuk potensi ekonomi, budaya, dan kelestarian alam.

Revisi UU menambahkan empat bab baru yang mengatur secara sistematis. Yaotu, perencanaan pembangunan, pengelolaan destinasi, pemasaran terpadu, dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi.

Di sisi pendanaan, UU memberikan kepastian hukum bagi Pemerintah untuk menarik pungutan dari wisatawan mancanegara.

Pungutan tersebut memiliki fungsi spesifik dan krusial: dananya akan digunakan secara eksklusif untuk pengembangan pariwisata. Seperti, promosi, event, dan pembangunan destinasi.

Dengan disahkannya UU Kepariwisataan, Indonesia telah memiliki fondasi hukum yang kuat untuk bertransformasi.

UU tersebut secara tegas menjamin kebebasan berwisata sebagai hak asasi, dan menata arah pembangunan pariwisata yang lebih sistematis dan adaptif.

Keberhasilan pariwisata ke depan ditentukan oleh kemampuan kita mengelola kelestarian alam dan budaya, menghasilkan SDM berkualitas, serta mengedepankan partisipasi aktif masyarakat.

Kini, bola ada di tangan eksekutif. Peraturan Pemerintah (PP) dan aturan pelaksana lainnya, harus segera ditetapkan dalam tenggat waktu dua tahun.

Memastikan sinergi antara pusat, daerah, dan seluruh pemangku kepentingan.

Jika dilaksanakan dengan konsisten, pariwisata Indonesia tidak hanya akan bersaing di tingkat global.

Tetapi juga benar-benar menjadi pilar peradaban yang menyejahterakan rakyat dan menjaga martabat bangsa.

Ini adalah peluang emas untuk membuktikan bahwa, pariwisata adalah lokomotif pertumbuhan ekonomi, sekaligus penjaga identitas bangsa.

*) Rioberto Sidauruk adalah pemerhati pariwisata dan saat ini bertugas sebagai Tenaga Ahli AKD DPR RI

Exit mobile version