Pekerja Migran Indonesia dan Malaysia, Dua Wajah yang Tak Pernah Belajar dan Berubah

Pekerja Migran

KUALALUMPUR, borneoreview.co – Petang menjelang ujung hari di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur, Selasa (18/11/2025).

Ada sebuah informasi tentang kasus penganiayaan terhadap pekerja migran Indonesia (PMI).

Informasi kasus penganiayaan PMI itu diperoleh dari Fungsi Penerangan, Sosial dan Budaya (Pensosbud) KBRI KL.

Sekitar pukul 16.30 waktu Malaysia, Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Malaysia, Dato’ Indera Hermono di ruang kerjanya di lantai 2 Gedung KBRI.

“Saya sedang marah nih,” kata Dubes Hermono, sesaat setelah mempersilakan jurnalis ANTARA duduk.

Rupanya, Dubes Hermono marah karena peristiwa penganiayaan yang dialami PMI di Malaysia.

Tidak hanya satu, tapi terdapat dua kasus penganiayaan berat yang dialami PMI dalam satu bulan terakhir (Oktober–November 2025), yang ditangani oleh KBRI Kuala Lumpur.

Tidak seperti biasanya, raut wajah Dubes Hermono petang itu tampak serius, dahinya mengernyit. Padahal, biasanya ia dikenal sebagai orang yang murah senyum dan humoris.

Dubes Hermono menuturkan kronologi, dua kasus penganiayaan berat yang dialami dua orang pekerja migran asal Indonesia.

Kasus pertama menimpa PMI asal Temanggung, Jawa Tengah, yang telah bekerja selama 21 tahun di Malaysia, yang diselamatkan pada Oktober 2025 lalu.

Menurut penuturan Dubes Hermono, PMI asal Temanggung itu tidak pernah menerima gaji selama 21 tahun bekerja, dan kerap menerima penyiksaan secara fisik.

Korban diselamatkan oleh Polis Diraja Malaysia (PDRM) pada 19 Oktober 2025, setelah polisi menerima laporan yang disampaikan langsung oleh anak majikan korban.

Rupanya anak majikan korban juga tidak tega melihat korban selalu disiksa orang tuanya.

Entah mengapa anak si majikan baru melaporkan setelah peristiwa itu terjadi sekian tahun lamanya.

Korban sendiri pada mulanya tidak dapat dikenali identitasnya, dan hanya dipercayai sebagai WNI melalui keterangan si anak majikan.

Selanjutnya pada 30 Oktober 2025, korban dibawa ke KBRI Kuala Lumpur untuk proses identifikasi identitas melalui pengambilan data biometrik keimigrasian.

Data korban pun tidak ditemukan dalam sistem keimigrasian Indonesia. Meskipun korban mengaku pernah membuat paspor pada tahun 2004 dan mengingat nomor paspornya.

Sebagai tindak lanjut, Atase Polri kemudian melakukan pengambilan sidik jari korban, dan mengirimkannya ke Pusat Inafis dan Identifikasi (Pusident) Polri di Indonesia untuk penelusuran lebih lanjut.

Hasil identifikasi menunjukkan bahwa korban benar seorang WNI dan berdomisili di Temanggung.

Selanjutnya untuk menindaklanjuti hasil tersebut, Polres Temanggung mendatangi alamat korban dan berhasil menemui pihak keluarga.

Pekerja Migran Indonesia
Pekerja pekerja migran Indonesia, menunggu dan antre.(Foto ANTARA)

Dari hasil verifikasi, keluarga memberikan selembar foto lama yang kemudian dikonfirmasi oleh korban sebagai dirinya dan keluarganya. Identitas korban pun berhasil dipastikan secara sah.

Saat ini kasusnya sedang diselidiki oleh pihak berwenang Malaysia di bawah Seksyen 12 Akta Antipemerdagangan Orang dan Antipenyelundupan Migran (ATIPSOM) 2007, dan Seksyen 326 Kanun Keseksaan (tindak kekerasan berat).

PMI asal Temanggung ini diduga menjadi korban eksploitasi/tindak pidana perdagangan orang (TPPO) sejak akhir tahun 2004.

Korban tidak pernah menerima gaji selama bekerja, sejak tiba di Malaysia hingga diselamatkan pada 19 Oktober 2025.

Korban juga tidak pernah terhubung dengan keluarga dan pihak luar, dan tidak memiliki kebebasan.

Dubes Hermono menyampaikan korban mengalami penyiksaan keji oleh majikannya. Dalam foto masa lalu, korban memiliki bibir yang utuh.

Namun setelah mengalami penyiksaan, bibir korban menjadi sumbing atau cacat permanen.

Menurut pengakuan PMI, dia disiram air panas sampai luka sehingga dokter harus menggunting bibirnya.

Tubuhnya itu kurus kering dan selama bekerja di situ selain tidak digaji juga terus mengalami penyiksaan.

“Ini saya kira suatu tindakan biadab yang dilakukan oleh seorang majikan di Malaysia terhadap pekerja asisten rumah tangga asal Indonesia,” kata Hermono.

Jalur Nonprosedural

Kasus penganiayaan kedua, dialami oleh PMI asal Sumatera Barat, yang bekerja di Malaysia sejak Februari 2025. Kasusnya baru saja terkuak pada Jumat, 14 November 2025 lalu.

Penganiayaan yang dialami korban asal Sumatera Barat oleh majikannya ini, tidak kalah kejam.

Berdasarkan data KBRI KL, korban masuk di Malaysia melalui jalur nonprosedural pada Februari 2025 lalu melalui jalur Ferry Dumai–Port Dickson.

Korban bekerja sebagai asisten rumah tangga, untuk menjaga bayi kembar dari majikan yang merupakan pasangan suami dan istri yang tinggal di sebuah kondominium lantai 29, di Kuala Lumpur, Malaysia.

Korban mulai bekerja pada 24 Februari 2025, dan dijanjikan gaji RM1.500 per bulan (sekitar Rp6.033.501/kurs RM1 = Rp4.022) dan tambahan RM100 per bulan apabila tidak ambil cuti mingguan.

Hubungan antara korban dengan majikannya mulai renggang pada awal Mei 2025, manakala salah satu bayi kembar tersebut tersedak saat minum susu hingga harus dirawat di ICU selama 2 bulan.

Mulai bulan September 2025, majikan mulai melakukan kekerasan dengan memukul korban, menggunakan tangan maupun alat berupa hanger plastik dan gagang sapu.

Alasannya, korban bekerja lambat, tidak rapi, dan rumah berantakan.

Sementara korban menyatakan dia tidak sempat merapikan rumah, karena harus menjaga 2 anak kembar sekaligus.

Memasuki bulan November 2025, korban semakin sering menerima omelan dan penganiayaan secara fisik.

Puncak kekerasan terjadi pada Kamis, 13 November 2025 malam. Sang majikan marah karena rumah berantakan, dan pekerjaan rumah tidak beres.

Majikan lalu memanaskan air dalam panci dan setelah mendidih air disiramkan ke tubuh korban.

Korban mengalami luka di bagian punggung dan lengan sebelah kanan. Walau demikian korban tidak diberikan kesempatan istirahat ataupun mengobati luka.

Dalam kondisi terluka fisik dan mental, korban dipaksa menyelesaikan pekerjaan rumah. Seperti, menyeterika baju dan bersih-bersih hingga Jumat 14 November 2025, jam 4.30 pagi.

Majikan kemudian hanya memberi waktu 30 menit bagi korban untuk istirahat atau tidur, dan mengancam akan menyiram air panas lagi apabila korban tidak bangun pada jam 5.00 pagi (Jumat, 14 November 2025).

Pada Jumat, 14 November 2025, sore hari, saat korban menggendong bayi.

Korban mendengar percakapan majikan wanita kepada majikan pria yang saat itu berada di rumah, untuk memanaskan air yang akan disiramkan lagi kepada korban.

Majikan wanita mengaku melihat melalui CCTV, korban sempat tertidur sejenak di dapur.

Mendengar hal tersebut, korban menjadi ketakutan lalu diam-diam keluar melalui jendela rumah dan bersembunyi di selasar luar kondominium lantai 29.

Melihat korban duduk di tepi bangunan kondominium, majikan kemudian membujuk korban agar masuk ke rumah dan berbincang baik-baik, dan majikan berjanji tidak akan memukul.

Terbujuk rayuan majikan, korban masuk kembali ke dalam rumah melalui jendela.

Namun belum sempat kedua kakinya menginjak lantai, suami majikan menarik badan korban masuk rumah dan bersama istrinya memukuli korban.

Korban lalu ditarik ke dalam kamar mandi dan disiram dengan air panas.

Majikan kemudian menyuruh korban mengganti baju dalam tiga detik, dan menyuruhnya membersihkan botol susu bayi.

Saat itu, korban mendengar majikan kembali menyalakan kompor untuk memanaskan air.

Mengetahui gelagat buruk, saat air akan mendidih, korban lari ke dalam kamar kedua dan menguncinya dari dalam.

Korban lalu keluar lagi dari jendela kamar, dan bersembunyi di dekat mesin AC di tepi bangunan kondominium tingkat 29.

Proses Penyelamatan

Melihat ada orang yang berdiri di tepi bangunan lantai 29, pihak keamanan bangunan kondominium segera menghubungi pemadam kebakaran, untuk meminta bantuan penyelamatan.

Awalnya, pihak keamanan sempat menduga korban tersebut, berniat bunuh diri dengan cara melompat dari ketinggian.

Sementara itu untuk menghindari tangkapan dari suami majikan, korban merosot turun melalui pipa bangunan ke tingkat 28.

Namun karena jendela kamar tingkat 28, saat diketuk tidak ada jawaban, maka korban kembali merosot turun ke tingkat 27.

Korban kemudian diselamatkan oleh petugas pemadam kebakaran dari jendela kamar kondominium lantai 27.

Setelah diberi perawatan luka bakar pada punggung dan lengannya. Pada Jumat malam korban diantar petugas pemadam kebakaran ke balai polis (pos polisi) yang terletak di dekat kondominium tempat korban bekerja.

Korban bertahan di balai polis menunggu perwakilan dari KBRI datang, dan pada Selasa (18/11/2025), korban berada di Shelter KBRI Kuala Lumpur untuk mendapatkan pendampingan advokasi. Korban disebut mengalami trauma berat.

Dubes Hermono sempat menunjukkan foto-foto luka yang dialami korban asal Sumatera Barat itu. Tubuhnya penuh luka bakar dan luka lebam.

Ketegasan Imigrasi

Duta Besar Hermono meminta dan mendorong pihak kepolisian Malaysia (Polis Diraja Malaysia/PDRM) menindak tegas semua pelaku sesuai hukum yang berlaku.

Agar dapat memberikan efek jera dan mencegah peristiwa serupa terulang kembali.

Membuat Paspor
Beberapa pemohon mengajukan pembuatan paspor di Kantor Imigrasi Kelas II TPI Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan di Batulicin, Rabu (18/12/2024). (ANTARA/Sujud Mariono)

Di sisi lain, Dubes Hermono juga menyatakan dengan tegas agar pihak imigrasi betul-betul menjalankan perannya dengan baik.

Tujuannya, mencegah adanya PMI yang bekerja secara nonprosedural di luar negeri.

Permintaan itu sudah berulang kali disampaikan Dubes Hermono kepada imigrasi.

Jadi, kedua kasus ini adalah kasus PMI undocumented (nonprosedural), baik yang dari Temanggung maupun yang dari Sumatera Barat.

“Jadi, kelihatan bahwa kalau kita sendiri terus membiarkan ada pekerja undocumented keluar dari Indonesia dan ini menimbulkan kerawanan,” jelas Dubes Hermono.

Dubes Hermono menilai kasus-kasus penyiksaan PMI dan kasus gaji PMI tidak dibayar bertahun-tahun, berawal dari masih mengalirnya pekerja-pekerja yang nonprosedural atau undocumented ke luar negeri.

Pihak berwenang dalam hal ini imigrasi, memiliki kewajiban untuk menyeleksi dengan ketat orang-orang yang dicurigai akan bekerja di luar negeri secara nonprosedural.

Dubes kemudian menunjukkan berkas data-data korban penganiayaan asal Sumatera Barat.

Dari berkas korban diketahui bahwa korban memiliki paspor resmi yang diterbitkan imigrasi Agam, Sumatera Barat.

Hal tersebut menurut Dubes Hermono, menunjukkan bahwa proses profiling atau menganalisa informasi terhadap calon penerima paspor masih lemah.

Dubes Hermono mengatakan proses penerbitan paspor seringkali masih terlalu mudah.

Padahal, proses profiling sangat penting dilakukan untuk mencegah adanya WNI yang mengaku akan melancong atau berwisata ke luar negeri, namun ternyata bekerja secara nonprosedural di negara tujuan.

“Ini mohon maaf saya katakan, tidak ada perbaikan di dalam negeri, tentang bagaimana kita melakukan pencegahan,” sesal Hermono.

Kalau tidak melakukan pencegahan, maka kejadian-kejadian seperti ini ini akan terus terjadi. Jadi pekerjaan rumah ini sebetulnya tidak berat, tetapi tidak pernah dibereskan.

Dia mengatakan, semestinya proses profiling tidak sulit untuk dilakukan, jika ada kemauan dan keseriusan.

Misalnya dengan menerapkan profiling khusus kepada pemohon paspor yang dicurigai tidak memiliki kemampuan finansial untuk berwisata ke luar negeri.

Pihak imigrasi misalnya, bisa meminta pemohon yang dicurigai akan bekerja di luar negeri, untuk menunjukkan rekening koran perbankannya.

Dubes untuk Malaysia Hermono
Duta Besar RI untuk Malaysia Dato’ Indera Hermono, di Kuala Lumpur, Selasa (18/11/2025), menunjukkan foto pekerja migran Indonesia asal Sumatera Barat yang mengalami penganiayaan di Malaysia. ANTARA/Rangga Pandu Asmara Jingga.

Kemudian dilihat, apakah yang bersangkutan betul-betul memiliki kemampuan berwisata ke luar negeri, atau justru dapat dicurigai akan bekerja secara nonprosedural di luar negeri.

Kalau orang-orang dari ‘kampung’ bikin paspor itu kan harus dicurigai mau bekerja, apalagi dia perempuan. Apalagi sendiri saja.

“Ini kan selalu ada orang yang membawanya, ada calonya kenapa hal ini tidak pernah dibereskan,” imbuhnya.

Dia menekankan, Presiden Prabowo Subianto telah memberikan perhatian sangat besar, terhadap perlindungan masyarakat Indonesia di luar negeri.

Salah satunya dengan meningkatkan status BP2MI menjadi kementerian.

Hal itu semestinya dapat dimaknai atau direspons pihak-pihak terkait, dengan ikut meningkatkan upaya pencegahan dan perlindungan terhadap WNI yang akan ke luar negeri.

“Ini kan artinya bahwa perlindungan pekerja migran itu betul-betul menjadi perhatian pemerintah,” katanya.

Tetapi di level implementasi hal-hal ini masih aja terus terjadi. Jadi ini persoalan-persoalan yang selalu terjadi dari dulu dan tidak terlihat adanya perbaikan yang serius.

Dubes Hermono berharap fakta-fakta itu bisa didalami, termasuk mendalami petugas imigrasi.

Kenapa bisa memberikan paspor kepada orang yang kemudian bekerja ke luar negeri secara nonprosedural, dan akhirnya mengalami penganiayaan.

Kasus penganiayaan PMI asal Temanggung maupun Sumatera Barat, tentu bukan kasus pertama yang ditangani Dubes Hermono yang telah bertugas selama total tujuh tahun di Malaysia.

Di antaranya, dua tahun sebagai Wakil Dubes dan lima tahun sebagai Dubes di Malaysia.

Dia menegaskan kasus-kasus penganiayaan pekerja migran Indonesia semestinya bisa menjadi pengingat atau wake up call bagi semua pihak terkait, untuk serius menyikapi hal tersebut.

Dubes Hermono mengingatkan para PMI itu, khususnya para perempuan pahlawan devisa. Sejatinya hanya memiliki tujuan mulia untuk mencari sesuap nasi di negeri orang.

Namun, cara-cara nonprosedural yang ditempuh tentu tidak dapat dibenarkan sama sekali.

Selain menyalahi hukum, juga menimbulkan kerawanan atas keselamatan dan nyawa para pekerja migran.

Oleh sebab itu peran imigrasi sebagai pihak penerbit paspor harus terus ditingkatkan.

Tentu tidak semua kantor atau petugas imigrasi lemah dalam melakukan profiling pemohon paspor.

Pada medio Juli 2025 lalu, publik telah melihat video viral petugas imigrasi Indonesia.

Yang berjasa mencegah seorang wanita, menjadi korban penipuan atas modus menemui pacarnya di Pakistan, yang dikenal melalui media sosial.

Kemampuan profiling semacam itu harus terus diterapkan dan ditingkatkan di setiap kantor dan petugas imigrasi di seluruh daerah di Indonesia.

Perlindungan WNI di luar negeri adalah kewajiban negara, namun pencegahan tidak kalah penting untuk dilakukan.

Termasuk dengan cara memberantas calo-calo. Yang kerap meloloskan calon PMI nonprosedural ke luar negeri.

Perlindungan pekerja migran tidak boleh lagi menjadi slogan semata. Jangan sampai ada lagi jeritan pilu pekerja migran Indonesia di luar negeri.(Ant)***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *