SERUYAN, borneoreview.co – Industri kelapa sawit di Kalimantan Tengah kembali menjadi sorotan setelah laporan terbaru sejumlah organisasi masyarakat sipil mengungkapkan pelanggaran lingkungan hidup dan hak buruh. Temuan ini mencuat saat Kabupaten Seruyan tengah menjalani proses sertifikasi berkelanjutan melalui pendekatan yurisdiksi dari Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO).
Menurut Janang Firman Palanungkai dari Walhi Kalteng, sekitar 132.207 hektare kebun sawit milik 30 perusahaan di Seruyan diduga berada dalam kawasan hutan dari total 312.450 hektare konsesi yang ada. “Kondisi ini mencerminkan buruknya tata kelola perkebunan sawit yang merambah kawasan hutan,” kata Janang dalam konferensi pers pada Rabu (13/11/2024).
Laporan ini juga menyoroti minimnya pembangunan kebun plasma oleh perusahaan untuk masyarakat. Dari total 1,9 juta hektare perkebunan sawit di Kalimantan Tengah, hanya 220 ribu hektare berupa kebun plasma. Di Seruyan, dari 300 ribu hektare izin yang diberikan, hanya 17 ribu hektare yang direalisasikan sebagai kebun plasma.
“Kegagalan perusahaan memenuhi kewajiban ini memicu konflik agraria yang berkepanjangan,” kata Abdul Haris dari TuK Indonesia. Dalam 20 tahun terakhir, tercatat sekitar 300 konflik agraria di Kalimantan Tengah, termasuk insiden di Seruyan pada 2023 yang menyebabkan seorang petani tewas dan satu lainnya cacat permanen.
Kartika Sari dari Palangkaraya Ecological and Human Rights Studies (Progress) menambahkan bahwa banyak buruh sawit di wilayah ini masih berstatus harian lepas dengan upah di bawah standar dan tanpa jaminan sosial. Ia mendesak pemerintah untuk melibatkan masyarakat secara aktif dalam proses sertifikasi yurisdiksi.
Di sisi lain, Thomas dari Pokja Sertifikasi Yurisdiksi Seruyan mengakui adanya tantangan dalam proses ini. “Masalah kawasan hutan dan konflik memang nyata, namun sebagian kewenangan ada di pemerintah pusat. Kami terus berupaya mencari solusi secara bertahap,” ujarnya.
Janang menegaskan, agenda sertifikasi jangan menjadi kedok untuk mencuci dosa perusahaan yang masih melanggar hukum. “Carut-marut perizinan harus dibereskan sebelum melanjutkan sertifikasi berbasis yurisdiksi,” pungkasnya.
Pemerintah daerah didesak untuk segera mengevaluasi perizinan, menyelesaikan konflik agraria, dan memastikan industri sawit berjalan sesuai hukum dan prinsip keberlanjutan. (Bet)