JAKARTA, borneoreview.co – Policy Strategist CERAH Sartika Nur Shalati mengingatkan peran perguruan tinggi yang harus kembali pada tiga pilar dasar dalam Tridarma Perguruan Tinggi, menyusul adanya perubahan keempat UU Mineral dan Batu Bara (Minerba).
Menurut Sartika, tiga pilar yang mencakup Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat itu menegaskan peran kampus tidak terbatas pada pendidikan, tetapi dimensi yang lebih luas sehingga kehadirannya mampu mengatasi tantangan global, seperti ketimpangan sosial, ketidakadilan, kemiskinan, dan krisis iklim.
“Dengan dominasi BUMN, BUMD, dan perusahaan swasta yang cenderung berbisnis batu bara, maka transisi ke energi terbarukan berpotensi terhambat,” kata Sartika, dikutip dari keterangan resmi di Jakarta, Jumat (21/2/2025).
“Perguruan tinggi akan mengalami kesulitan mendorong penelitian terkait teknologi energi terbarukan karena keterbatasan sumber daya atau konflik kepentingan dengan mitra industri yang tidak mendukung transisi energi,” imbuhnya.
Selain itu, ia juga mengingatkan potensi gangguan independensi dan objektivitas ilmiah perguruan tinggi khususnya yang berlawanan dengan kepentingan industri tambang, dan menghambat transisi energi pada UU Minerba.
Hal ini mengingat beberapa pasal perubahan yang disetujui dalam UU Minerba memerintahkan agar perguruan tinggi menjadi penerima manfaat dari pengelolaan tambang yang dilakukan oleh BUMN, BUMN, dan perusahaan swasta, sesuai perjanjian kerja sama.
“Perguruan tinggi yang diharapkan objektivitasnya, memiliki basis ilmiah, dan kritis, berpotensi dibungkam dan dipaksa mendukung kebijakan dan praktik yang menguntungkan badan usaha penerima Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), meskipun mungkin tidak sejalan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan atau tanggung jawab sosial,” kata Sartika.
Pasal 51 A dan 60 A ayat 1 menyatakan, dalam rangka meningkatkan kemandirian dan keunggulan perguruan tinggi, pemerintah pusat memberikan WIUP Mineral logam/batu bara dengan cara prioritas kepada BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta untuk kepentingan perguruan tinggi.
Meskipun perguruan tinggi tidak diberikan wewenang secara langsung menerima izin WIUP, lanjut Sartika, ayat 3 dalam kedua pasal ini menyebutkan, sebagian keuntungan akan diberikan kepada perguruan tinggi sesuai dengan perjanjian kerja sama.
Apalagi saat ini, pemerintah memutuskan memangkas anggaran pendidikan yang berdampak ke biaya operasional perguruan tinggi.
Sementara itu, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Aryanto Nugroho mengatakan pemerintah perlu untuk belajar dari pengalaman pengelolaan pertambangan 10 tahun lalu.
Saat itu, ribuan izin tambang tidak memenuhi kewajiban keuangan mulai dari pajak, royalti, dan landrent, serta kewajiban lingkungan seperti AMDAL, serta jaminan reklamasi dan pascatambang.
“Karena banyak aspek teknis, lingkungan, dan keuangan yang harus dipenuhi untuk menghindari banyak risiko,” kata Aryanto. (Ant)