Pendidikan Kunci Menuju Generasi Indonesia Lebih Baik dan Maju

Bangunan Sekolah

JAKARTA, borneoreview.co – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingati Hari Internasional Perlindungan terhadap Siswa, Pendidik, dan Fasilitas Pendidikan setiap 9 September.

Peringatan ini mengingatkan kita semua bahwa akses pendidikan yang aman dan bermutu adalah hak dasar anak-anak di seluruh dunia.

Lebih dari sekadar seremonial, hari ini adalah pengingat keras akan realitas pahit yang dihadapi jutaan pelajar di kawasan rawan bencana dan konflik.

Di mana gedung sekolah bukan lagi tempat berlindung, melainkan target atau korban.

UNICEF mencatat lebih dari 875 juta anak masih tinggal di kawasan rawan bencana alam.

Di Indonesia, tantangan itu nyata dan mendesak. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2020 menunjukkan 62.687 satuan pendidikan terdampak langsung bencana alam dalam kurun 10 tahun terakhir.

Jika ditarik ke 2025, angka ini tentu bertambah, mencerminkan skala kerusakan yang masif pada fasilitas pendidikan.

Masalahnya tidak hanya sebatas bencana. Berdasarkan Data Pokok Pendidikan (Dapodik) April 2024, masih terdapat sekitar 980.000 ruang kelas rusak sedang/berat di 174.000 satuan pendidikan.

Selain itu, dibutuhkan 1,5 juta ruang kelas baru di 219.000 sekolah agar sesuai dengan standar minimal.

Artinya, puluhan juta siswa Indonesia masih bersekolah di ruang kelas yang rusak, atau bahkan tidak punya ruang belajar layak.

Padahal, UUD 1945 menegaskan setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang bermutu.

Tanpa infrastruktur yang memadai, pendidikan bermutu hanyalah janji kosong di atas kertas.

Agenda Nasional

Untuk menjawab tantangan ini, pemerintah menetapkan program Revitalisasi Sarana dan Prasarana Satuan Pendidikan, sebagai prioritas nasional.

Hal itu sejalan dengan Asta Cita ke-4 Presiden Prabowo Subianto: memperkuat pembangunan SDM, pendidikan, kesehatan, dan kesetaraan.

Program ini bukan sekadar proyek infrastruktur, melainkan investasi strategis untuk menyiapkan generasi emas.

Pembangunan fisik sekolah adalah prasyarat untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, menumbuhkan semangat belajar, dan memotivasi para pendidik.

Bappenas memproyeksikan kebutuhan revitalisasi sekolah sebesar Rp571,6 triliun dalam periode 2025 – 2029.

Angka ini mencakup perbaikan sekolah rusak, sekaligus pembangunan unit sekolah baru (USB).

Pada tahun 2025, Kemedikdasmen di bawah Prof Abdul Mu’ti menargetkan 10.440 satuan pendidikan menjadi sasaran revitalisasi.

Tujuannya jelas, meningkatkan akses pendidikan dari PAUD hingga menengah dan menyediakan sarana yang aman, nyaman, dan mendukung pembelajaran.

Presiden Prabowo menekankan, “Tidak boleh ada sekolah yang atapnya runtuh, dan tidak boleh ada sekolah tanpa WC”.

Ini bukan retorika politik, melainkan komitmen nyata untuk mengatasi masalah mendasar yang telah lama membelenggu dunia pendidikan.

Dalam pelaksanaannya, dana revitalisasi akan dikirim langsung ke sekolah melalui mekanisme tunai transfer agar lebih tepat sasaran dan efisien.

Mekanisme Swakelola

Revitalisasi sekolah dilaksanakan melalui mekanisme swakelola, di mana dana dikelola langsung oleh sekolah, dengan melibatkan masyarakat sekitar.

Model ini memiliki keunggulan, yakni transparan, hemat biaya, sekaligus mendorong perputaran ekonomi lokal karena bahan bangunan dan tenaga kerja diperoleh dari daerah setempat.

Untuk itu dibentuk panitia pembangunan satuan pendidikan (P2SP) yang melibatkan masyarakat, didampingi tim teknis dari dinas pendidikan, perguruan tinggi, dan kementerian.

Pendampingan teknis diperlukan agar mutu bangunan sesuai standar, tidak asal-asalan.

Meskipun program ini menjanjikan, tantangan implementasi tidak kecil.

Mekanisme cash transfer langsung ke sekolah tetap berisiko menimbulkan penyalahgunaan dana bila akuntabilitas lemah.

Kasus korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di masa lalu bisa menjadi pelajaran penting.

Tanpa pengawasan ketat, kebijakan bagus sekalipun bisa berubah menjadi ladang penyimpangan.

Karena itu, ada beberapa catatan penting agar program revitalisasi sekolah berjalan sesuai tujuan. Mengingat skala dan dananya yang masif, pengawasan tidak bisa lagi seadanya.

Fondasi Akuntabilitas

Untuk memastikan program ini sukses, implementasi harus didukung oleh tiga pilar utama, yakni standar yang jelas, audit yang komprehensif, dan partisipasi publik yang kuat.

Revitalisasi bukan sekadar perbaikan “kosmetik”.

Oleh karena itu, diperlukan standar revitalisasi sekolah yang jelas dan terukur yang meliputi standar mutu bangunan, keselamatan dan higienitas, serta standar ruang pembelajaran.

Standar mutu bangunan meliputi spesifikasi teknis bahan, desain struktural, dan ketahanan terhadap bencana, seperti gempa.

Tim pendamping teknis dari perguruan tinggi atau asosiasi profesional harus memastikan standar ini dipatuhi.

Standar keselamatan dan higienitas dengan memastikan ketersediaan toilet yang bersih, sistem sanitasi yang layak, dan jalur evakuasi yang aman.

Kemudian, standar ruang pembelajaran, yaitu menetapkan rasio ideal antara jumlah siswa dengan luas ruang kelas, pencahayaan, dan sirkulasi udara yang baik.

Terkait audit, pengawasan harus dilakukan dengan pendekatan ganda: audit keuangan yang melibatkan inspektorat daerah, BPK, dan lembaga independen sejak awal serta audit sosial.

Audit mendadak dan berkala perlu dilakukan di lapangan, bukan hanya audit laporan di kantor.

Pemanfaatan teknologi blockchain atau sistem digital terpadu juga bisa dipertimbangkan untuk melacak setiap rupiah dana yang masuk dan keluar, sehingga jejaknya tidak bisa dihapus.

Audit sosial adalah langkah inovatif yang mengukur dampak program dari sudut pandang masyarakat.

Audit ini bisa dilakukan melalui survei kepuasan masyarakat, siswa, guru dan semua pemangku pendidikan, forum diskusi terbuka, atau pusat pengaduan (complaint center) terpusat.

Partisipasi Publik

Kehadiran pusat pengaduan yang mudah diakses menjadi elemen krusial. Ini bisa berupa platform daring atau nomor kontak yang dikelola oleh tim independen.

Warga, guru, atau komite sekolah dapat melaporkan temuan penyimpangan, kekurangan mutu, atau bahkan praktik pungli secara anonim. Laporan ini harus ditindaklanjuti dengan cepat dan transparan.

Selain itu, partisipasi masyarakat harus menjadi tulang punggung pengawasan. Orang tua siswa, komite sekolah, dan tokoh masyarakat tidak boleh hanya menjadi penonton.

Mereka harus diberi peran aktif dalam panitia pembangunan satuan pendidikan (P2SP), dilatih untuk memahami standar, dan diberi hak untuk mengawasi langsung.

Tanpa peran aktif mereka, pengawasan hanya akan bergantung pada birokrasi yang seringkali rentan.

Hari Internasional Perlindungan terhadap Siswa, Pendidik, dan Fasilitas Pendidikan adalah pengingat bahwa sekolah bukan sekadar gedung, melainkan tempat melahirkan masa depan bangsa.

Revitalisasi sekolah adalah agenda mendesak untuk menyelamatkan hak anak-anak Indonesia.

Jika transparansi dijaga dan partisipasi publik diperkuat, program revitalisasi ini, akan benar-benar menjadi investasi jangka panjang.

Bukan hanya membangun sekolah, tapi juga membangun integritas dan masa depan yang lebih cerah bagi Indonesia.

*) M. Aminudin adalah peneliti senior di Institute for Strategic and Development Studies (ISDS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *