Pengelolaan Air Bersih, Peninggalan Belanda yang Terus Bertahan

pengelolaan air bersih

PONTIANAK, borneoreview.co – Sejarah mencatat, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) tak bisa lepas dari peninggalan Belanda soal pengelolaan air bersih.

Bagaimana tidak, kehadiran perusahaan pengelolaan air bersih berasal dari peninggalan Belanda yang bernama waterleiding.

Artinya, peninggalan Belanda itulah yang menjadi dasar pengelolaan air bersih yang kini dikelola oleh daerah setelah Indonesia Merdeka.

Melansir berbagai sumber, Sabtu (16/8/2025), PDAM ialah perusahaan daerah selaku fasilitas penyedia air bersih yang diawasi serta dimonitor oleh aparat-aparat eksekutif ataupun legislatif daerah.

Sebagai informasi, perusahaan air minum yang dikelola negera secara modern telah terdapat semenjak era Belanda pada 1900-an dengan nama waterleiding.

Waterleiding hadir sebagai solusi penyedia air bersih di zaman kolonial, termasuk keperluan air bersih untuk minum.

Pasalnya, ratusan tahun sebelumnya, sejak lama orang di Asia Tenggara memenuhi kebutuhan air bersih dengan mengendapkan air sungai cukup lama agar jernih.

Pemerintah kolonial yang punya kepentingan akan air bersih pun mengurusi banyak mata air dan membangun banyak menara air di beberapa kota di Indonesia.

Mata air dan menara air itu terkait pula dengan waterleiding, jawatan penyedia air bersih via pipa yang baru marak di Hindia Belanda pada awal abad ke-20.

Di zaman kolonial, waterleiding terkait dengan jawatan bernama Burgeiljke Openbare Werken (BOW) alias Pekerjaan Umum.

Sistem kerjanya bisa dikatakan sederhana. Air dialirkan dari sumber air di kawasan dataran tinggi, misalnya di lereng gunung, melalui pipa bawah tanah ke kawasan yang lebih rendah dan ditampung di menara baru kemudian ke konsumen.

Jalur airnya dibuat menggunakan pipa dari baja yang didatangkan langsung dari negeri Belanda.

Operasional Waterleideng itu dijalankan tidak menggunakan mesin sama sekali. Sistemnya menggunakan tekanan air yang mengalir dari dataran tinggi ke dataran rendah.

Contohnya di Medan sekitarnya, ada menara air yang didirikan pada 8 September 1905 dengan nama NV Waterleiding Maatschappij Ajer Beresih.

Pada masa itu, menara ini berfungsi untuk menyediakan air bersih yang bersumber dari mata air Rumah Sumbul di kawasan Sibolangit, di kaki Gunung Sibayak.

Kapasitas air yang disalurkan dari Rumah Sumbul 3.000 m3 per hari. Menara ini pub memuat reservoir berbahan besi yang memiliki ketinggian 42 m dari permukaan tanah dengan kapasitas 1.200 m3.

Dari menara yang kemudian dikenal sebagai Menara Air Tirtanadi inilah kebutuhan air bersih hampir untuk seluruh masyarakat Medan terpenuhi.

Setelah kemerdekaan, perusahaan ini diserahkan kepada Pemerintah Indonesia.

Perlahan, istilah waterleiding—yang masih dipakai pada zaman Sukarno—pun berganti sebagai PAM (singkatan dari Perusahaan Air Minum).

Namun, istilah “air ledeng” masih ada dan bersanding dengan PAM. Orang-orang di Surabaya menyebutnya banyu ledeng (air ledeng).

Di Bandung, terdapat kawasan dan terminal dengan nama Ledeng, dan di situ pula terdapat pipa-pipa air warisan waterleiding zaman Hindia Belanda.

Saat ini, di tiap daerah ada PDAM yang memasok air bersih ke masyarakat melalui jaringan pipa waterleiding seperti zaman kolonial dulu.

Jangkauan jaringan pipanya lebih banyak ketimbang waterleiding kolonial. Meski tak lagi dianggap kemewahan, hingga kini nyatanya tak semua orang Indonesia mandi dari air waterleiding atau pipa-pipa PDAM.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *