KALTIM, borneoreview.co – Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan salah satu wilayah terkaya di Indonesia dari segi sumber daya alam (SDA). Selain minyak dan gas bumi (migas), provinsi ini juga memiliki kekayaan SDA non-migas seperti batu bara, emas, kelapa sawit, hasil hutan, hingga sumber daya air. Pemanfaatan SDA ini berpotensi besar mendongkrak pendapatan daerah, terutama melalui pajak non-migas. Namun, pengelolaan dan tantangan perpajakan di sektor ini masih menjadi pekerjaan rumah yang besar.
Berdasarkan data, Kalimantan Timur memiliki cadangan batu bara sebesar 22,8 miliar ton dari total cadangan nasional 147,6 miliar ton. Perkebunan kelapa sawit di Kaltim juga mencakup lebih dari 1 juta hektare lahan dengan potensi hasil ekonomi tinggi. Namun, optimalisasi pajak dari sektor ini masih terkendala oleh tata kelola yang kurang transparan dan minimnya insentif untuk pelaporan pajak yang akurat.
Hingga 31 Oktober 2024, penerimaan pajak di wilayah Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara tercatat sebesar Rp30,47 triliun atau 75,71% dari target. Sayangnya, angka ini menunjukkan penurunan 9,86% dibandingkan periode yang sama pada tahun 2023. Untuk mengatasi penurunan ini, pemerintah perlu menerapkan strategi intensifikasi dan ekstensifikasi pajak, termasuk melibatkan sektor informal dan mempercepat pengembangan industri hilir.
Tantangan lainnya adalah memastikan pengelolaan SDA tetap berorientasi pada keberlanjutan. Pemerintah harus menyeimbangkan eksploitasi SDA dengan konservasi lingkungan melalui regulasi ketat, seperti reboisasi dan pengelolaan limbah. Diversifikasi ekonomi juga menjadi langkah penting untuk mengurangi ketergantungan pada sektor ekstraktif.
Melalui reformasi perpajakan yang lebih efisien dan transparan, Kaltim dapat memaksimalkan potensi pajak untuk mendukung pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Dengan pendekatan ini, Kaltim dapat menciptakan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan, sejalan dengan visi ekonomi hijau Indonesia. (Kor)