JAKARTA, borneoreview.co – Menjelang akhir bulan peringatan kemerdekaan Republik Indonesia, terjadi demonstrasi dalam skala besar. Lelaki dan perempuan turun ke jalan.
Demontrasi dan gerakan sosial, terjadi di berbagai kota besar di Indonesia. Antara lain di Jakarta, Surabaya, Makassar, Bandung, Denpasar, Pontianak dan berbagai wilayah lain di Indonesia.
Aksi-aksi tersebut muncul dengan karakteristik dan tuntutan yang beragam di berbagai daerah. Ada keberanian dan keteguhan hati. Terdapat benang merah yang menghubungkan sejumlah demonstrasi tersebut.
Yaitu, ekspresi ketidakpuasan publik terhadap kebijakan politik, serta arah pemerintahan nasional.
Pemicu utama eskalasi protes antara lain kebijakan pemberian tunjangan perumahan bagi anggota DPR yang dinilai berlebihan, disertai dengan sikap elitis para penguasa yang cenderung mengabaikan kritik masyarakat.
Di tengah dinamika aksi massa di Jakarta, perhatian publik tersita oleh beredarnya foto seorang perempuan berjilbab merah muda yang berdiri di depan barikade aparat kepolisian di Gedung MPR/DPR Senayan.
Dalam momen tersebut, ia mengekspresikan kekecewaannya terhadap pemerintah secara lantang dan penuh ketegasan di hadapan kerumunan massa.
Potret ini kemudian beredar luas di media sosial dan memicu berbagai tanggapan, mulai dari pujian, rasa simpati, hingga pengakuan terhadap keberanian sosok tersebut dalam menyuarakan aspirasi di ruang publik yang penuh risiko.
Kehadiran figur perempuan ini tidak hanya dipahami sebagai peristiwa insidental atau sekadar simbol emosional dari demonstrasi.
Melainkan juga menandai peran aktif perempuan dalam mengartikulasikan kritik politik dan memperluas wajah gerakan sosial di Indonesia.
Representasi perempuan dalam peristiwa ini memberikan gambaran bahwa keterlibatan mereka dalam aksi kolektif bukanlah pengecualian, melainkan bagian penting dari dinamika perlawanan publik kontemporer.
Aktivisme perempuan dalam gerakan sosial telah menjadi elemen penting dalam proses perubahan masyarakat di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.
Perempuan tidak hanya berkontribusi sebagai penggerak dalam advokasi kebijakan, tetapi juga berperan sebagai arsitek solidaritas komunitas dan penguat jaringan gerakan sosial lintas isu.
Dalam banyak kasus, perempuan hadir di garis depan untuk menyuarakan isu-isu yang kerap terpinggirkan dari agenda politik arus utama, seperti kekerasan berbasis gender, hak-hak reproduksi, dan ketimpangan ekonomi.
Peran mereka pun melampaui sekadar partisipasi; perempuan juga tampil sebagai pemimpin, fasilitator, dan komunikator yang secara aktif merancang serta menggerakkan perubahan sosial.
Jika menelusuri sejarah, keterlibatan perempuan dalam gerakan sosial bukanlah fenomena baru.
Di tingkat global, hal itu dapat ditelusuri dari perjuangan suffragette (Arif dan Mansoor 2024) di Inggris pada awal abad ke-20 hingga keterlibatan perempuan dalam gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat.
Di Indonesia sendiri, jejak aktivisme perempuan tampak jelas sejak masa pergerakan nasional melawan kolonialisme, berlanjut pada berbagai aksi politik dan sosial pasca-kemerdekaan, hingga Reformasi 1998.
Jejak aktivisme itu memperlihatkan peran signifikan perempuan, dalam mengartikulasikan tuntutan perubahan.
Gerakan sosial berbasis gender atau feminisme pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari teks, wacana, dan persepsi yang melingkupinya.
Hal ini disebabkan karena secara historis, feminisme lahir dari pemikiran dan refleksi intelektual yang kemudian dimanifestasikan dalam bentuk gerakan sosial.
Salah satu tonggak penting dalam perkembangan wacana feminisme dapat ditelusuri melalui karya Simone de Beauvoir The Second Sex (2003).
Yang menunjukkan bagaimana diskursus tentang posisi perempuan menjadi landasan bagi munculnya gelombang gerakan feminis modern.
Sejalan dengan itu, Fakih (2004) menegaskan bahwa feminisme sebagai sebuah gerakan berangkat dari asumsi mengenai adanya penindasan dan eksploitasi terhadap perempuan, serta berupaya untuk mengakhiri kondisi tersebut melalui perjuangan kolektif.
Dengan demikian, feminisme dapat dipahami sebagai hasil dialektika antara wacana dan praktik sosial yang terus berkembang seiring konteks sejarah dan politik yang melingkupinya.
Secara keseluruhan, dampak dari aktivisme perempuan tidak hanya terlihat dalam perubahan kebijakan yang lebih adil dan inklusif.
Tetapi juga dalam terciptanya kesadaran sosial yang lebih tinggi mengenai pentingnya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
Ini menunjukkan bahwa aktivisme perempuan memiliki potensi yang luar biasa untuk mendorong perubahan sosial yang lebih luas dan berkelanjutan, baik dalam hal kebijakan maupun dalam budaya masyarakat.
Dalam banyak kasus, keberhasilan gerakan sosial tidak dapat dipisahkan dari kontribusi perempuan, yang sering kali membawa perspektif baru dan inovatif ke dalam strategi gerakan.
Tidak jarang, perempuan juga dijadikan simbol perlawanan. Dari ikon-ikon revolusi di dunia hingga wajah-wajah ibu korban pelanggaran HAM di Indonesia, perempuan kerap diposisikan sebagai representasi moral.
Namun, lebih dari sekadar simbol, mereka adalah aktor nyata yang menyusun strategi, mengorganisir massa, dan menjaga keberlangsungan gerakan.
Meski demikian, keterlibatan perempuan dalam gerakan sosial tidak lepas dari berbagai tantangan.
Turun ke jalan bagi perempuan kerap melampaui sekadar persoalan politik, karena mereka membawa identitas ganda yang saling berkelindan: sebagai aktivis sekaligus ibu, atau sebagai mahasiswa sekaligus anak perempuan dalam keluarga.
Identitas ganda ini seringkali membatasi ruang gerak mereka akibat adanya hambatan struktural maupun norma budaya yang menghalangi partisipasi penuh dalam ranah publik.
Di balik poster yang diangkat dan suara yang disuarakan, perempuan kerap memikul beban sosial yang lebih berat, serta menghadapi risiko yang lebih besar dibandingkan laki-laki, mulai dari stigmatisasi hingga ancaman kekerasan berbasis gender.
Oleh karena itu, partisipasi perempuan dalam gerakan sosial memerlukan penciptaan lingkungan yang kondusif, baik melalui penguatan kapasitas individu dan kolektif, penghapusan hambatan hukum dan regulasi diskriminatif, maupun promosi kesetaraan gender dalam seluruh aspek kehidupan publik.
Kini, pada era digital, peran perempuan dalam gerakan sosial semakin meluas.
Mereka tidak hanya hadir di jalanan, tetapi juga aktif di ruang maya: mengorganisir lewat media sosial, mengedukasi publik, dan membentuk narasi tandingan.
Di tangan perempuan, gerakan menjadi lebih inklusif, penuh empati, dan menjangkau lapisan masyarakat yang lebih luas.
Karenanya, berbicara tentang protes dan perubahan sosial tanpa menyebut perempuan, berarti menutup mata terhadap separuh kekuatan yang sesungguhnya.
Perempuan bukan sekadar tambahan dalam demonstrasi, melainkan penggerak esensial.
Suara mereka di jalanan adalah pengingat bahwa perjuangan, dalam bentuk apapun, selalu membutuhkan keberanian dan keteguhan dari semua pihak tanpa terkecuali.***
*) Adhimas Shaquille Omar Muzakki adalah Asisten Peneliti di lembaga Populi Center, Jakarta.
