Perempuan Giriloyo, Batik Tulis dan Gempuran Pasar Modern

YOGYAKARTA, borneoreview.co – Siang itu Imaroh duduk tenang di dalam sebuah bangunan joglo di Dusun Giriloyo, Desa Wukirsari, Imogiri, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Tangannya dengan luwes menggerakkan canting, mengoleskan lilin panas mengikuti sketsa motif Wahyu Tumurun di atas selembar kain.

Di usia 57 tahun, perempuan tiga anak itu tetap setia menjaga tradisi yang diwariskan turun-temurun di tanah kelahirannya.

“Saya sudah membatik sejak umur 10 tahun, meneruskan ibu saya,” ujar Imaroh kepada ANTARA belum lama ini.

Ia masih mengingat saat awal belajar membatik: duduk di samping ibunya yang sabar mengajari dari dasar.

Imaroh membatik satu lembar kain bisa memakan waktu hingga sebulan, dua bulan, bahkan lebih, tergantung kerumitan motif dan tingkat kehalusannya.

Teknik yang digunakan semuanya manual, dari membuat pola, mencanting malam panas, mewarnai berulang kali, hingga proses pelorodan untuk menghilangkan lilin.

“Ibu saya selalu bilang, membatik itu harus pelan-pelan, harus sabar. Tidak bisa terburu-buru,” ucap dia.

Imaroh tidak hanya menjual batiknya di Galeri Kampung Batik Giriloyo, tapi juga melalui langganan pribadinya.

Satu kain batik tulis berukuran 2,5 meter hasil tangan Imaroh bisa dihargai Rp800 ribu hingga Rp2 juta per potong, tergantung tingkat kerumitan maupun kehalusan motif.

Imaroh mengaku pernah kecewa lantaran karyanya sempat ditawar salah seorang pengunjung laiknya harga tekstil bermotif batik atau “printing” di pasaran.

“Ada yang nawar cuma Rp200 ribu. Padahal saya ngerjain dua bulan,” tuturnya.

Menjaga yang Asli

Imaroh adalah satu dari sekitar 600 pembatik yang tergabung dalam 12 kelompok di bawah naungan Koperasi Jasa Kampung Batik Giriloyo.

Kegigihan Imaroh menjaga batik tulis menjadi bagian dari perjuangan para perempuan di Giriloyo setelah gempa dahsyat melanda Kabupaten Bantul pada 2006.

Khibtiyah, Koordinator Bidang Layanan, Kerja Sama, dan Penelitian Koperasi Jasa Kampung Batik Giriloyo menuturkan bahwa pascagempa tahun 2006, pembatik di wilayah itu mulai bertransformasi dari sekadar buruh menjadi perajin mandiri.

“Dari tahun 2008 kami mulai bisa memproduksi batik tulis sampai selesai. Karena sudah bisa produksi penuh, kami juga ingin menjual batik kami sendiri,” ujar Khibtiyah.

Proses produksi tidak dilakukan terpusat. Masing-masing perajin bekerja di rumah, kemudian menitipkan hasil untuk diwarna dan dijual.

Dalam sebulan, seorang pembatik rata-rata hanya mampu menyelesaikan satu kain, karena prosesnya rumit dan menuntut ketelitian. Dengan 600-an pembatik aktif, Giriloyo bisa menghasilkan sekitar 500-600 lembar batik tulis per bulan.

Menjaga kelestarian batik tulis bukan tanpa tantangan. Kain bermotif batik yang dicetak dengan mesin modern acap kali disamakan dengan batik, baik oleh masyarakat umum maupun pasar.

“Kami menolak menyebut tekstil printing sebagai batik. Itu hanya kain bermotif batik, bukan batik sebenarnya. Batik itu harus melalui proses dengan malam panas, baik tulis maupun cap,” ucap Khibtiyah.

Untuk menjaga kualitas dan eksistensi batik tulis, komunitas pembatik Giriloyo bahkan berkomitmen tak satupun memproduksi batik cap secara mandiri, kecuali untuk pesanan kombinasi cap dan tulis.

“Kalau semua ikut membuat cap, batik tulis akan tenggelam,” ujarnya.

Selain proses manual, pembatik Giriloyo juga dikenal konsisten memakai pewarna alam dari tumbuhan lokal macam daun indigofera untuk warna biru, kulit kayu mahoni atau tegeran untuk cokelat, serta secang, jati, atau kunyit yang menghasilkan warna lembut dan ramah lingkungan.

Edukasi Batik Tulis

Selain melindungi produksi, edukasi kepada masyarakat ihwal keaslian batik menjadi strategi penting.

Kunjungan wisatawan ke Kampung Batik Giriloyo dimanfaatkan komunitas itu untuk menjelaskan secara langsung proses membatik, membedakan batik asli dan tekstil printing, serta mengenalkan nilai-nilai filosofis dari beragam motif batik.

Pada periode Januari hingga Februari 2025, kunjungan wisata ke kampung itu sempat mencapai 8.000 sampai 9.000 orang per bulan.

Mereka berasal dari kalangan pelajar, mahasiswa, dan wisatawan asing dari berbagai negara seperti Jepang, Belgia, Mesir, Amerika, hingga Prancis.

Motif-motif khas yang dibuat di Giriloyo bukan sekadar cantik, tapi juga memiliki nilai filosofi tinggi. Misalnya motif Wahyu Tumurun yang berarti turunnya wahyu dari Tuhan, dan motif Truntum sebagai penuntun hidup.

Kombinasi keduanya memberikan makna mendalam yakni hidup yang diberkahi dan selalu dalam bimbingan Ilahi.

Ada pula motif Sido Mukti sebagai simbol harapan hidup sejahtera, dan Parang sebagai lambang kecerdasan dan kebijaksanaan pemimpin.

Motif Sido Asih melambangkan kasih sayang dan cinta dalam rumah tangga, sering digunakan dalam pernikahan.

Kepala Bidang Perdagangan Dalam Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) DIY Intan Mestikaningrum mengatakan bahwa Pemda DIY terus mendukung pelestarian batik melalui pelatihan, promosi, dan pendirian fasilitas pendukung.

“Kami telah mendirikan Museum Batik Jogja, serta membentuk forum batik tulis, batik cap, dan kombinasi untuk meningkatkan daya saing IKM batik,” ujarnya.

Adapun sentra batik lainnya di DIY tersebar di Gunungkidul (Dusun Tancep, Trembowo), Bantul (Imogiri, Pandak), Kulon Progo (Sapon, Gulurejo, Lendah), Sleman (lereng Merapi), dan Kota Yogyakarta (Taman Sari).

Batik tulis Giriloyo tak sekadar produk budaya, tapi juga sumber penghidupan dan simbol ketahanan komunitas perempuan.

Di tengah pasar bebas yang didominasi tekstil bermotif batik bertarif murah meriah, mereka tetap memilih jalan yang lambat namun jujur.

Imaroh menunduk khusyuk di atas kain putihnya. Garis-garis motif klasik perlahan mengisi bidang kosong, menghidupkan cerita penuh makna dari tiap tetes malam.

“Batik itu bukan semata-mata tekstil, tapi sebuah karya seni. Karya seni yang diukir dengan penuh kesabaran,” tutur pemilik Sanggar Batik Sri Kuncoro itu.(Ant)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *