Site icon Borneo Review

Perempuan, Sesar Lembang dan Mitigasi Bencana Gempa Bumi di Tanah Pasundan

Sesar Lembang Meningkat

Sesar Lembang mengangkat tanah ke atas. Sesar dan patahan geologi di sepanjang Tanah Pasundan, menjadi bom waktu geologis, dan orang harus waspada.(BMKG)

BANDUNG, borneoreview.co – Geliat Sesar Lembang dalam beberapa minggu terakhir, menjadi alarm nyaring di Tanah Pasundan.

Sesar Lembang mengingatkan jutaan warga di Cekungan Bandung, mereka hidup di atas “bom waktu geologis”.

Para ahli dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memaparkan, ada patahan sepanjang 29 kilometer.

Patahan itu membentang dari Cilengkrang, Kabupaten Bandung, hingga Padalarang, Kabupaten Bandung Barat (KBB), menyimpan potensi ancaman serius.

Ancaman ini bukanlah lagi sekadar teori, melainkan risiko nyata yang telah mendorong Pemerintah Kota Bandung, menyiapkan enam titik evakuasi massal.

Bupati Bandung Barat pun menerbitkan surat edaran kewaspadaan.

Namun, patut disayangkan, di tengah keseriusan persiapan teknis dan struktural, ada aset sosial berharga yang belum terberdayakan: perempuan.

Alih-alih dilibatkan sebagai aktor kunci, perempuan dan kelompok rentan lainnya, masih terkungkung dalam label ‘korban’.

Mengabaikan potensi mereka, merupakan bentuk kelalaian strategis yang akan kita sesali.

Oleh karena itu, memberdayakan perempuan sebagai garda terdepan dalam mitigasi bencana Sesar Lembang, menjadi sebuah keharusan.

Hal itu, demi menciptakan masyarakat yang benar-benar siap dan tangguh.

Multiperan Perempuan

Pengalaman di berbagai negara membuktikan, perempuan mampu berada di garda depan dalam penanggulangan bencana.

Hasil kajian Suliman Abdalla dkk (2024) bertajuk Enhancing gender-responsive resilience: The critical role of women in disaster risk reduction in Oman menyebutkan, disaster risk reduction (DRR) yang responsif gender lebih efektif.

Alasannya, perempuan membawa pengetahuan lokal, jejaring sosial, serta kepemimpinan dalam komunitas.

Dalam kerangka inilah, konsep community-based disaster risk management menjadi relevan.

Konsep ini menempatkan masyarakat sebagai pusat upaya mitigasi, dengan menekankan partisipasi aktif seluruh lapisan, termasuk perempuan.

Pengalaman internasional menunjukkan, ketika perempuan dilibatkan, strategi pengurangan risiko bencana menjadi lebih berkelanjutan, inklusif, dan efektif.

Contohnya, di Bangladesh, perempuan desa memimpin sistem peringatan dini dan saat Cyclone Sidr 2007 berhasil menyelamatkan ribuan jiwa.

Di Jepang, pasca Gempa dan Tsunami Tohoku 2011, kelompok perempuan mengelola dapur umum, pusat evakuasi, dan membentuk Women’s Network for East Japan Disaster.

Di Nepal, setelah gempa 2015, perempuan berperan penting dalam pendidikan darurat, dukungan psikososial, hingga distribusi logistik.

Kontribusi itu diakui pemerintah, dalam strategi Build Back Better.

Sementara itu di Filipina, organisasi perempuan Gabriela aktif mengadvokasi kebutuhan perempuan dan anak, di posko pengungsian pasca Topan Haiyan 2013.

Semua contoh tersebut menegaskan, perempuan bukan sekadar korban bencana.

Perempuan merupakan aktor utama yang berperan sebagai pemimpin komunitas, produsen pengetahuan lokal, sekaligus penggerak ketangguhan sosial.

Potensi Perempuan

Di tengah narasi besar mengenai ancaman Sesar Lembang, kekuatan sesungguhnya justru tumbuh dari akar rumput.

Kecamatan Lembang sejatinya punya banyak komunitas relawan yang aktif menggelar sosialisasi dan pelatihan bencana.

Mereka berkiprah secara aktif di tengah berbagai kendala fasilitas, koordinasi, bahkan dokumentasi.

Salah satu yang menonjol adalah Kelompok Masyarakat Peduli Bencana (KMPB) di Desa Sukajaya, dengan mayoritas anggotanya perempuan.

Kelompok ini secara konsisten memprakarsai simulasi evakuasi, mengelola dapur umum ketika terjadi bencana, hingga merawat pengetahuan lokal dengan membuat narasi kebencanaan sebagai bahan literasi untuk masyarakat.

Kiprah mereka memperlihatkan, perempuan bukan hanya pendukung, melainkan aktor penting dalam membangun kesiapsiagaan di tingkat komunitas.

Kiprah mereka merupakan perwujudan nyata konsep gender mainstreaming (pengarusutamaan gender), dalam pengurangan risiko bencana yang diusung Ginige dkk, (2009).

Praktik ini sejalan dengan pandangan global yang mengakui bahwa, kepekaan perempuan terhadap risiko di lingkungan terdekatnya.

Kecenderungan perempuan untuk lebih aktif dalam tindakan pencegahan, adalah elemen krusial untuk memperkuat kapasitas adaptasi masyarakat.

Temuan riset yang dilakukan tim Universitas Padjadjaran sepanjang 2023-2025, di kawasan Sesar Lembang menegaskan hal tersebut.

Perempuan relawan kebencanaan di Sesar Lembang tidak sekadar berperan di lingkup rumah tangga, mereka menjadi komunikator informasi kebencanaan, relawan lapangan, hingga penggerak sosial.

Motivasi mereka sederhana: panggilan hati dan nilai kemanusiaan untuk melindungi keluarga, serta lingkungan sekitar.

Namun, jalan yang mereka tempuh tidak selalu mulus. Perempuan masih sering absen dalam forum pengambilan keputusan, sehingga suara dan perspektif mereka kerap terpinggirkan.

Akses pada pelatihan teknis juga terbatas, terutama dalam hal keterampilan digital untuk memproduksi konten literasi bencana yang menarik dan mudah dipahami masyarakat.

Padahal, pengalaman global menunjukkan bahwa perempuan adalah komunikator yang efektif, terlebih ketika informasi harus menjangkau kelompok rentan.

Oleh karena itu, keterlibatan perempuan dalam mitigasi bencana, bukan hanya persoalan keadilan gender, melainkan soal efektivitas.

Suara perempuan mampu menjembatani kesenjangan informasi, memperkuat daya tahan keluarga, dan menumbuhkan solidaritas sosial.

Hari-hari ini, ketika kewaspadaan terhadap Sesar Lembang kembali digaungkan, sudah saatnya ruang yang lebih luas diberikan bagi perempuan.

Biarkan perempuan tampil sebagai pemimpin komunitas, produsen literasi bencana, sekaligus penggerak perubahan.

Sebab, ketika bencana datang, perempuan bukan sekadar korban. Mereka adalah garda depan yang ikut menyelamatkan.***

*Rinda Aunillah adalah Dosen di Fakultas Ilmu Komunikasi-Universitas Padjadjaran, tergabung dalam Tim Peneliti di Pusat Studi Komunikasi Lingkungan-Unpad

Exit mobile version