Site icon Borneo Review

Peringatan Tahun Baru Islam, Menyulam Lelakon dari Tanah Cirebon

CIREBON, borneoreview.co – Suasana di Keraton Kanoman Cirebon, Jawa Barat, berubah menjadi ruang kontemplasi sejarah pada Jumat (27/6) malam.

Saat itu, lampu chandelier yang menggantung dari langit-langit memantulkan cahaya temaram, berpendar lembut di antara warna hijau tua dan emas yang mendominasi ruangan.

Di dalam ruangan bernama Bangsal Prabayaksa, para abdi dalem hingga pujangga keraton duduk berbaris di panggung rendah, bersarung batik dengan ikat kepala. Api lilin pun menyala bersahaja di dekat mereka.

Di hadapan mereka, puluhan pasang mata menatap dengan takzim. Larut dalam laku lisan yang diwariskan turun-temurun yakni prosesi pembacaan Babad Cirebon.

Sebagian tamu adalah generasi muda. Mereka hadir untuk menyelami akar dari tanah yang mereka pijak dengan menyimak sebuah ritus yang telah berlangsung sejak lama.

Udara pun terasa sarat makna, seolah angin pun enggan berhembus terlalu keras agar tidak mengusik kekhidmatan yang tengah bertunas.

Lelakon yang dituturkan para abdi dalem keraton itu bisa dianggap sebagai mantra, agar sejarah tak musnah ditelan ingatan yang semakin pendek.

Jejak Sejarah

Tradisi ini sebenarnya dimulai sejak sore hari, tepatnya setelah shalat ashar. Tokoh adat, keluarga keraton, dan abdi dalem berkumpul di area Bangsal Witana.

Di tempat tersebut, mereka melaksanakan doa bersama dan tawasul untuk Pangeran Cakrabuana.

Bangsal Witana memiliki posisi penting dalam sejarah keraton. Sebab, di sinilah titik awal pembukaan wilayah Lemahwungkuk, yang kemudian dikenal sebagai Caruban atau Cirebon.

Nama Witana bermakna tanah pembuka. Tempat ini berada di area belakang Bangsal Mande Mastaka, lokasi utama tempat bertahtanya Sultan Kanoman.

Prosesi tawasul di area tersebut menjadi penanda dari rangkaian tradisi pembacaan Babad Cirebon, yang rutin digelar setiap malam 1 Muharram dalam kalender Hijriah.

Pada pukul 20.00 WIB, pembacaan Babad Cirebon dimulai. Suara lantang namun lembut terdengar dari para penutur yang membacakan setiap bait dari naskah babad.

Irama pembacaan diatur pelan, menjaga kesakralan dan ketertiban acara. Naskah yang dibacakan malam itu mengisahkan perjalanan awal berdirinya Cirebon.

Diceritakan bahwa wilayah Lemahwungkuk, salah satu lokasi di daerah ini, awalnya hanyalah kawasan hutan pesisir yang sepi dan nyaris tak berpenghuni.

Perubahan terjadi pada 1445 Masehi bertepatan dengan 1 Suro 1367 Saka atau tahun 866 Hijriah ketika Pangeran Walangsungsang, putra Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran, datang ke wilayah itu bersama seorang tokoh bernama Ki Danusela.

Dengan membawa pusaka bernama golok cabang, pemberian Sanghyang Naga dari Gunung Siangkup, keduanya mulai membuka hutan.

Proses pembukaan wilayah ini dilakukan ketika Pangeran Walangsungsang berusia 22 tahun atas bimbingan ulama besar bernama Syekh Datuk Kahfi. Keduanya kemudian membangun Pakuwuan Caruban, yang menjadi cikal bakal pemerintahan pertama di wilayah itu.

Dalam sistem yang dibentuk, Ki Danusela diangkat menjadi kuwu pertama dengan gelar Ki Gedeng Alang-Alang. Pakuwuan ini kemudian berkembang menjadi kawasan pemerintahan yang mandiri dan menjadi dasar terbentuknya Cirebon.

598 Tahun

Pembacaan Babad Cirebon merupakan tradisi turun-temurun, serta menjadi penanda usia kota yang kini telah mencapai 598 tahun, merujuk pada awal mula pembentukan Pakuwuan Caruban pada 1445 Masehi.

“Tujuan utama pembacaan babad ini adalah agar kita selalu ingat asal-usul tumpah darah kita. Sejarah adalah bagian penting dari kehidupan manusia dan alam semesta,” ujar Ratu Raja Arimbi Nurtina, Sekretaris dan Juru Bicara Keraton Kanoman.

Bagi Keraton Kanoman, kata dia, menjaga tradisi ini adalah bentuk tanggung jawab budaya.

Ia mengatakan prosesi ini menjadi simbol identitas, serta alat untuk mengingatkan masyarakat akan akar sejarah mereka.

“Sejarah ini bukan cerita lama yang harus ditinggalkan, melainkan harus terus dijaga,” kata Arimbi.

Keraton Kanoman menjadi satu-satunya lembaga adat di Cirebon yang masih konsisten melaksanakan tradisi pembacaan babad setiap malam Satu Suro.

Melalui pembacaan babad, Arimbi dan keluarga Keraton Kanoman terus menyuarakan kembali kisah-kisah awal yang melandasi lahirnya kota ini.

Dengan bahasa tutur dan naskah yang diwariskan dari generasi ke generasi, acara ini menjadi ruang penting untuk menyambung masa lalu dengan masa kini.

Sebelumnya, pada 2024, Pemerintah Kota Cirebon dan DPRD setempat telah menyepakati perubahan tahun peringatan hari jadi kota tersebut dari 791 Hijriah menjadi 849 Hijriah.

Perubahan ini dilakukan berdasarkan hasil kajian terhadap naskah-naskah sejarah, khususnya peristiwa babad alas yang menjadi titik tolak berdirinya Cirebon.

Kepala Disbudpar Kota Cirebon Agus Sukmanjaya menjelaskan rujukan perubahan tersebut bersumber dari kitab Caruban Nagari, yang mencatat peristiwa pembukaan wilayah atau babad alas terjadi pada tahun 849 Hijriah.

Meski perubahan ini hanya bersifat penyesuaian tahun, namun memiliki makna penting dalam upaya memperkuat akurasi sejarah lokal.

Penyesuaian ini sekaligus menegaskan bahwa Hari Jadi Cirebon merujuk pada awal mula perintisan wilayah, bukan pada pembentukan pemerintahan secara administratif.

Hal ini membedakan Kota Cirebon dari Kabupaten Cirebon, yang memiliki rujukan sejarah tersendiri.

Agus menegaskan perubahan tahun tersebut tidak mengubah substansi peringatan, namun memperjelas konteks sejarah yang menjadi dasar peringatan Hari Jadi Kota Cirebon.

Langkah ini pun menunjukkan komitmen pemerintah dalam melakukan pelestarian budaya secara ilmiah dan bertanggung jawab.

Refleksi

Tradisi pembacaan Babad Cirebon yang kembali digelar di Keraton Kanoman menandai salah satu momen penting dalam rangkaian peringatan Hari Jadi ke-598 Kota Cirebon.

Tradisi ini bisa menjadi momentum untuk menengok kembali akar sejarah, sekaligus memperkuat nilai-nilai moral yang diwariskan para leluhur.

Pembacaan babad memang mengungkap kisah masa lampau, tetapi urgensi paling pentingnya adalah menyisipkan pesan-pesan moral dan budi pekerti yang tetap relevan hingga kini.

Dalam konteks kekinian, kegiatan semacam ini menjadi sangat penting sebagai upaya memperkuat identitas budaya daerah.

Pemkot Cirebon menaruh perhatian besar terhadap pelestarian tradisi ini.

Kegiatan ini dianggap memiliki keselarasan dengan upaya pembangunan, khususnya dalam menjaga keberlanjutan budaya lokal di tengah arus modernisasi.

Wali Kota Cirebon Effendi Edo menuturkan melalui pelaksanaan pembacaan Babad Cirebon, masyarakat diajak untuk menyadari pentingnya mengetahui dan memahami sejarah asal-usul daerahnya.

Pemahaman tersebut diyakini mampu membangun rasa memiliki dan kebanggaan terhadap daerah, sekaligus mendorong keterlibatan aktif dalam proses pembangunan.

Peringatan Hari Jadi Cirebon tahun ini menjadi istimewa karena mengusung semangat “Cirebon Mayungi lan Nyumponi”. Tema ini menggambarkan cita-cita untuk senantiasa melindungi serta memenuhi kebutuhan masyarakat.

Menurut Edo, hal ini sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam babad, yaitu pentingnya pengabdian, kepemimpinan yang bijak, dan semangat gotong royong.

Pada sisi lain, sejarah selalu memiliki nilai edukatif yang tinggi. Para leluhur Cirebon mewariskan prinsip-prinsip kebajikan yang seharusnya menjadi pedoman hidup masyarakat.

Nilai-nilai ini tercermin dalam cerita-cerita yang dibacakan dari naskah kuno, dan menjadi cermin bagi kehidupan bermasyarakat saat ini.

Pembacaan babad pun menjadi salah satu bentuk nyata pelestarian kekayaan tradisi lisan.

“Kegiatan ini menunjukkan kebudayaan tidak berhenti hanya sebagai peninggalan masa lalu, namun sebagai bagian dari kehidupan sosial yang terus hidup dan berkembang,” tuturnya.

Pemkot Cirebon menyadari tanpa pelestarian budaya, pembangunan bisa kehilangan arah.

Oleh karena itu, Edo menegaskan perhatian terhadap seni, sejarah, dan kebudayaan menjadi salah satu pilar penting dalam kebijakan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.

Khusus bagi generasi muda, kata dia, kegiatan seperti ini menjadi ruang edukasi non-formal yang memperkaya pemahaman mereka tentang jati diri daerah.

Dalam situasi global saat ini, keterbukaan terhadap budaya luar perlu diimbangi dengan penguatan nilai-nilai lokal agar generasi mendatang tetap memiliki akar dan karakter kuat.

Dalam pembacaan Babad Cirebon, tersirat pula pentingnya etika dalam kehidupan sosial.Pesan-pesan tentang kejujuran, kesederhanaan, serta pengabdian kepada masyarakat menjadi bagian dari narasi yang disampaikan.

Nilai-nilai tersebut sangat penting untuk terus ditanamkan, terutama dalam dinamika masyarakat urban yang makin kompleks.

Dengan tetap mengedepankan pendekatan budaya, Pemkot Cirebon meyakini kegiatan pembacaan babad dapat menjadi wahana memperkuat nilai kebangsaan dan jati diri lokal.

Peringatan Hari Jadi Cirebon tahun ini pun menjadi ajang refleksi bersama. Masyarakat diajak untuk bersyukur atas capaian yang telah diraih, sekaligus menyadari perlunya memperbaiki berbagai kekurangan demi masa depan yang lebih baik.

Dalam semangat tradisi dan sejarah kembali menjadi pengikat kuat, yang menyatukan langkah untuk membangun Cirebon yang maju serta berbudaya.(Ant)

Exit mobile version