MARTAPURA, borneoreview.co – Sidang kasus Sumardi, seorang petani berusia 64 tahun asal Desa Rantau Bakula, Kabupaten Banjar, terus bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Martapura Kelas 1B. Sumardi menghadapi ancaman pidana setelah kebun singkong dan pisangnya dirusak oleh alat berat dari perusahaan tambang batu bara PT Merge Mining Industri (PT MMI) pada 29 April 2024.
Perkara ini bermula saat kebun Sumardi yang siap panen, berisi sekitar 3.000 tanaman singkong dan 47 pohon pisang, digusur ekskavator milik PT MMI. Sumardi, yang kecewa dan marah, melampiaskan emosinya kepada salah satu pekerja asing PT MMI bernama Mr. Huang, menuntut ganti rugi. Namun, karena keterbatasan bahasa, maksud Sumardi disalahpahami, hingga akhirnya ia dilaporkan ke kepolisian atas tuduhan pengancaman.
Pada sidang pembelaan yang digelar Senin (4/11/2024), pengacara Sumardi, Noor Jannah, menyampaikan pledoi yang menekankan bahwa Sumardi tidak bersalah. “Sumardi hanya mengungkapkan kekecewaannya. Ini adalah luapan emosi melihat hasil jerih payahnya yang hancur,” ungkap Noor Jannah, yang akrab disapa JJ. Ia meminta agar majelis hakim membebaskan Sumardi tanpa syarat.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono, turut menyuarakan dukungannya. “Kami berharap majelis hakim memberikan keputusan bebas tanpa syarat untuk Pak Sumardi,” tegas Kisworo. Ia menambahkan, kasus serupa seharusnya tidak berlanjut ke ranah hukum, karena petani seperti Sumardi berhak mempertahankan hasil panennya.
Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Kalsel, Dwi Putra Kurniawan, juga mendukung agar Sumardi dibebaskan. “Ini hanya luapan emosi sesaat yang wajar mengingat kerugian besar yang dialaminya,” ujarnya.
Tidak hanya di tingkat lokal, dukungan terhadap Sumardi juga datang dari GreenFaith, sebuah koalisi lingkungan hidup lintas agama global. Executive Director GreenFaith, Fletcher Harper, meminta agar pemerintah Indonesia membatalkan semua tuduhan terhadap Sumardi. “Kami akan menyuarakan dukungan ini ke jaringan multi-agama di 30 negara,” ujar Fletcher.
Kasus ini mengundang perhatian luas sebagai refleksi dari konflik yang sering dialami petani dalam menghadapi perusahaan tambang besar, serta perlunya kebijakan yang lebih melindungi hak-hak mereka. (PK)