Perkebunan Sawit di Sumatra dan Kalimantan Lampaui Ambang Batas, Daya Dukung Lingkungan Terancam

JAKARTA, borneoreview.co – Yayasan Lokahita mengungkapkan bahwa luas perkebunan sawit di Indonesia, khususnya di Pulau Sumatra dan Kalimantan, telah melewati ambang batas lingkungan. Hal ini diungkapkan berdasarkan hasil penelitian yang mengacu pada Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH).

Peneliti dari Yayasan Lokahita, Jesika Taradini, menjelaskan bahwa batas atas atau “cap” untuk tutupan perkebunan sawit di Indonesia berdasarkan pendekatan D3TLH adalah 18,15 juta hektare (ha). Namun, data 2022 menunjukkan bahwa perkebunan sawit di Indonesia sudah mencapai 18,22 juta ha.

“Luasan perkebunan sawit yang existing itu sudah sedikit lebih tinggi dari nilai cap berdasarkan perspektif Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup,” kata Jesika dalam pemaparan hasil penelitian di Jakarta Selatan, Rabu, 6 November 2024.

Pendekatan D3TLH bertujuan untuk mengendalikan ekspansi sawit agar tidak menimbulkan kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan. Jesika merinci bahwa Sumatra memiliki tutupan sawit terbesar yang mencapai 10,7 juta ha, sedikit melebihi ambang batas 10,6 juta ha. Sementara itu, Kalimantan juga melewati batas dengan luas perkebunan mencapai 6,68 juta ha, di atas ambang 6,6 juta ha.

Di sisi lain, wilayah seperti Sulawesi, Papua, Jawa, dan Maluku masih berada di bawah ambang batas, dengan Bali yang tercatat tidak memiliki perkebunan sawit. Namun, Jesika menggarisbawahi bahwa Sumatra dan Kalimantan, yang sebaran sawitnya melebihi ambang batas, mengalami daya dukung lingkungan hidup (DDLH) yang melampaui kapasitas. DDLH di Sumatra tercatat mencapai 694,85 persen, sedangkan di Kalimantan mencapai 1605,88 persen.

“Kalau semua (kebutuhan) penduduknya terpenuhi, angka idealnya adalah 100 persen, tetapi surplus ini menunjukkan ada kelebihan komoditas yang bisa didistribusikan atau diekspor,” tambahnya.

Jesika menegaskan pentingnya untuk tidak memperluas lahan sawit di daerah yang telah melampaui batas. Sebagai gantinya, perlu dilakukan pengelolaan berkelanjutan yang ramah lingkungan.

“Sebagian besar lahan di Indonesia tidak dapat dikembangkan lebih jauh karena sudah melewati ambang batas, jadi pengelolaan harus dilakukan dengan teknologi atau metode yang lebih ramah lingkungan,” ujarnya.

Dari segi ekonomi, penelitian oleh Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menunjukkan bahwa kebijakan moratorium dan replanting (peremajaan) perkebunan sawit berpotensi memberi dampak ekonomi positif bagi Indonesia.

Moratorium di sini berarti penghentian izin perluasan perkebunan, sedangkan replanting dilakukan dengan mengganti pohon sawit yang tidak produktif. Menurut Direktur Ekonomi Digital CELIOS, Nailul Huda, skenario ini berpotensi menambah output ekonomi hingga Rp 31,3 triliun pada tahun 2045, dengan proyeksi penambahan Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar Rp 30,5 triliun. (Tem)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *