Site icon Borneo Review

Permainan Tradisional Anak, Ruang Alternatif Kurangi Kecanduan Main Gawai di Cirebon

Dolanan di Cirebon

Ginna Desiana saat menunjukkan item dari Dolanan Yuk di Cirebon, Jawa Barat, Selasa (15/10/2025). ANTARA/Fathnur Rohman.

CIREBON, borneoreview.co – Suasana sore di Desa Munjul, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, tak lagi ramai seperti dulu.

Jarang sekali terdengar suara bola plastik yang memantul di jalan. Atau, langkah kecil yang berlarian mengejar layangan.

Sekarang ini, anak-anak di desa tersebut lebih betah menghabiskan waktu, menyelami ruang virtual dengan gawai.

Di rumah Saadah (39) misalnya, anak bungsunya duduk di pojok ruang tamu, terpaku pada gawai.

Hampir tiga jam tak beranjak. Sesekali raut wajahnya menunjukkan tawa kecil kala menatap layar, lalu diam lagi.

Waktu seakan berhenti di hadapan cahaya biru yang menyala dari ponsel. Dia bermain gim daring, menonton video hingga berselancar di media sosial tanpa jeda.

“Kalau sudah pegang ponsel, susah dilepas. Kadang sampai lupa makan,” kata Saadah, Selasa (15/10/2025).

Ia mengaku khawatir, tetapi bingung harus bagaimana. Ponsel pintar. Yang dulu dianggap alat bantu belajar, kini menjadi teman paling setia bagi anaknya.

Aktivitas belajar, membantu orang tua, bahkan waktu istirahat, sering kali dikalahkan oleh permainan daring.

Banyak orang tua seperti Saadah yang kewalahan menghadapi fenomena ini. Mereka tidak sepenuhnya memahami, cara mengontrol penggunaan ponsel bagi anak.

Ia sempat mencoba menyembunyikan gawai. Namun, seiring waktu malah menyerah, karena tak ingin memicu pertengkaran di rumah.

“Kalau main ponsel, bisa empat jam lebih. Disuruh berhenti malah marah,” katanya.

Ia tak sendiri. Banyak orang tua di perdesaan Cirebon kini menghadapi dilema serupa.

Gawai membantu anak-anak belajar daring dan mencari informasi. Namun, penggunaan berlebihan membuat mereka sulit lepas dari dunia maya.

Di Kecamatan Mundu, Juleha pun mengeluhkan hal yang sama. Anak-anak di sekitar rumahnya kini jarang terlihat bermain di luar.

“Sekarang mainnya bareng, tapi masing-masing megang HP. Ngobrol pun jarang, cuma ketawa liat video anomali (brainrot),” tuturnya.

Ia menilai fenomena itu memperlihatkan perubahan besar pada pola tumbuh kembang anak.

Aktivitas fisik berkurang, kemampuan sosial menurun, dan waktu interaksi keluarga menyusut.

Menurutnya, anak-anak di lingkungan tempat tinggalnya mulai menunjukkan tanda-tanda screen addiction.

Yakni, sulit tidur, mudah marah dan kehilangan fokus belajar.

Dalam jangka panjang, kebiasaan ini berisiko menurunkan kemampuan sosial dan empati anak.

Tak Sepenuhnya Aman

Kecanduan gawai hanyalah pintu masuk dari persoalan yang lebih dalam. Dunia digital menyimpan banyak risiko dan tak sepenuhnya aman untuk anak.

Dari konten tak pantas, penipuan daring, hingga cyberbullying.

Anak-anak menjadi pengguna aktif, tapi belum punya bekal literasi digital yang cukup untuk membedakan mana informasi benar, mana yang menyesatkan.

Kini, ancaman itu semakin kompleks dengan hadirnya akal imitasi (AI). Anak-anak mudah berinteraksi dengan chatbot, tanpa pengawasan. Menggunakan aplikasi penghasil gambar, atau suara tanpa memahami dampaknya.

Banyak orang tua belum memahami sistem AI bekerja. Sebab, di balik kecanggihan itu, terselip risiko manipulasi informasi dan eksploitasi data pribadi.

Kemajuan teknologi, terutama fitur yang tersedia pada sistem AI, bisa membawa manfaat sekaligus bahaya baru bagi generasi muda.

Tampilan Museum Cave AI Lotus Keraton Kasepuhan di Cirebon, Jawa Barat, Selasa (15/10/2025). ANTARA/Fathnur Rohman.

Kekhawatiran itu beralasan. Banyak aplikasi berbasis AI yang meminta izin mengakses mikrofon, kamera, dan galeri tanpa benar-benar menjelaskan tujuannya.

Di Kota Cirebon, sempat terjadi kasus manipulasi foto bermuatan asusila yang melibatkan pelajar SMA pada akhir Agustus 2025.

Persoalan ini pun mengguncang masyarakat, serta menimbulkan keresahan mendalam para orang tua.

Kepala DP3APPKB Kota Cirebon, Suwarso Budi mengatakan, pemerintah daerah langsung menyediakan pendampingan hukum, serta pemulihan psikologis bagi korban saat kasus itu mencuat.

Kasus ini bermula dari penyebaran sejumlah foto vulgar, hasil rekayasa AI yang menampilkan wajah siswi SMA di tubuh orang lain.

Pelakunya, yang juga masih berstatus pelajar, diduga memanfaatkan aplikasi pengedit gambar berbasis AI, untuk membuat foto palsu yang tampak nyata.

Koordinasi dengan Unit PPA Satreskrim Polres Cirebon Kota, dilakukan untuk memastikan penanganan kasus, sesuai dengan ketentuan perlindungan anak.

Meski terlihat sepele, tindakan ini berpotensi menimbulkan trauma panjang.

Kembali Bermain

Banyak keluarga belum siap mendampingi anak di dunia digital. Sementara akses internet kini semakin luas. Bahkan, sudah merambah sampai ke pelosok desa.

Kondisi inilah yang mendorong sejumlah pegiat dan komunitas literasi digital di Cirebon bergerak.

Mereka berupaya agar anak-anak tumbuh sebagai pengguna teknologi dengan pemahaman yang memadai.

Semangat itu melahirkan gerakan kecil bernama Dolanan Yuk, yang digagas oleh Ginna Desiana bersama komunitas Relawan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Kota Cirebon pada 2018.

Ginna, yang memiliki latar belakang teknologi informasi, mulai mengembangkan permainan edukatif dengan memadukan unsur budaya, kreativitas dan literasi digital.

Permainan pertamanya berupa board game, tentang literasi digital yang menjadi media bagi anak-anak belajar mengenali hoaks.

Kemudian, ada permainan ular tangga literasi digital, yang berisi pesan-pesan edukatif. Seperti, jangan klik tautan mencurigakan. Atau, verifikasi sebelum membagikan informasi.

Ada pula gim kwartet yang mengajak pemain mengenali istilah-istilah dunia digital.

Seperti, password, enkripsi dan privasi data. Semua disampaikan dengan bahasa sederhana serta visual menarik.

Dari berbagai permainan itu, anak-anak diajak memahami apa yang dimaksud dengan jejak digital, bahaya membagikan foto pribadi, hingga pentingnya berpikir kritis terhadap informasi yang mereka temui di internet.

Tak berhenti di sana, ia menciptakan starter kit tiga dimensi berbahan gypsum berbentuk mobil-mobilan, hewan, dan ikon budaya lokal yang dirancang untuk merangsang kreativitas dan motorik anak.

“Sentuhan budaya lokal penting supaya anak tidak tercerabut dari akar budayanya. Dari situ bisa bangun karakter dan rasa kebersamaan,” katanya.

Item permainan dari Dolanan Yuk di Cirebon, Jawa Barat, Selasa (15/10/2025). ANTARA/Fathnur Rohman.

Salah satu seri permainan yang menarik perhatian adalah seri gim bertajuk Sultan Matang Aji.

Permainan ini mengangkat kisah sejarah Cirebon, lengkap dengan karakternya.

Dalam permainan ini, pemain diajak memecahkan teka-teki dan menjalani misi seolah menjadi bagian dari sejarah.

Namun, perjalanannya menekuni bidang ini tak selalu mulus. Biaya riset dan development satu permainan edukatif relatif mahal.

Setiap tema memerlukan sumber yang valid, pembacaan literatur, bahkan riset lapangan.

Untuk permainan bertema sejarah. Misalnya, timnya harus datang langsung ke museum, mewawancarai kurator dan membaca jurnal akademik.

Ia kini bekerja sama dengan sejumlah sekolah dasar dan komunitas, memperkenalkan permainan ini sebagai media pembelajaran, termasuk di kawasan 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).

“Responsnya cukup baik. Banyak guru dan orang tua merasa permainan ini membantu mereka menjelaskan konsep literasi digital dengan cara yang mudah,” katanya.

Ginna percaya, anak-anak tak bisa dijauhkan sepenuhnya dari dunia digital. Mereka justru harus dikenalkan dengan cara yang sehat.

Apalagi, algoritma media sosial dirancang agar pengguna bertahan selama mungkin, bahkan mengatur ritme dopamin anak-anak.

Di titik itulah, kata Ginna, literasi digital menjadi benteng terakhir.

“Kalau dari kecil mereka sudah tahu cara bijak memakainya, mereka nggak akan mudah dikendalikan teknologi,” katanya.

Ke depan, dirinya siap menghadirkan seri permainan AI ethics untuk anak-anak.

Sebuah inisiatif langka yang bertujuan menanamkan kesadaran sejak dini tentang batas dan tanggung jawab dalam menggunakan akal buatan.

Meski menghadapi keterbatasan biaya riset dan produksi, dia tetap berkomitmen melanjutkan pengembangan gim edukatif berbasis literasi digital.

AI Bijak

Terkait penerapan AI secara bijak, Keraton Kasepuhan Cirebon telah menghadirkan destinasi yang menggabungkan teknologi modern, dengan nilai sejarah pada Oktober 2024.

Destinasi itu adalah Museum Cave AI Lotus, yang dikembangkan untuk memberikan pengalaman belajar sejarah, lebih menarik dan interaktif bagi wisatawan.

Guntur, salah satu kreator program tersebut, mengatakan lewat penerapan teknologi AI.

Informasi mengenai tokoh-tokoh bersejarah Cirebon, kini dapat divisualisasikan dengan cara yang lebih hidup dan dinamis.

Salah satu daya tariknya adalah rekonstruksi sejarah dalam bentuk film pendek yang menampilkan sosok Sultan Matangaji, tokoh penting dalam perjalanan sejarah Kesultanan Cirebon.

Dalam proses pengembangannya, timnya menerapkan teknologi deep learning untuk menciptakan ilustrasi wajah Sultan Matangaji secara akurat.

Metode ini dilakukan dengan mempelajari berbagai data visual dan karakter wajah, dari sumber arsip maupun dokumen sejarah yang tersedia.

Lalu dimodelkan ulang menggunakan teknologi pemotretan 360 derajat.

Teknologi yang dikembangkan secara mandiri ini, menjadikan museum tersebut sebagai contoh inovasi wisata sejarah pertama di Cirebon, memadukan budaya dengan kecerdasan buatan secara bijak.

Dari sisi pemerintah daerah, Dinas Komunikasi Informatika dan Statistik (DKIS) Kota Cirebon, terus menggencarkan program literasi digital bagi pelajar dan masyarakat, mencegah penyebaran hoaks, serta meningkatkan kemampuan bermedia secara bijak.

Program edukasi digital tersebut merupakan amanah dari Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), yang mendorong generasi muda memiliki pemahaman tentang keamanan informasi dan etika bermedia sosial.

Kepala Bidang Layanan E-Government DKIS Kota Cirebon, Eka Purnama mengatakan, pemerintah daerah berupaya membangun kesadaran masyarakat.

Supaya lebih cerdas dan kritis dalam menggunakan media digital, sekaligus memanfaatkannya untuk hal produktif.

DKIS menggandeng berbagai pihak dalam pelaksanaan program tersebut, termasuk komunitas, lembaga pendidikan, serta media lokal.

Kegiatan sosialisasi diselenggarakan di berbagai tingkatan pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas di wilayah Kota Cirebon.

Tidak hanya menyasar lingkungan sekolah, program ini diperluas ke masyarakat umum, pondok pesantren, dan panti sosial.

Tujuannya agar pemahaman literasi digital dapat menjangkau seluruh lapisan warga tanpa terkecuali.

Pemerintah daerah menilai, rendahnya pemahaman terhadap penggunaan media digital menjadi salah satu penyebab banyak anak dan remaja terpapar informasi palsu di internet.

Oleh karena itu, kegiatan literasi digital ini dirancang sebagai langkah preventif untuk meminimalkan dampak negatif dunia maya, terutama bagi generasi muda.***

Exit mobile version