Site icon Borneo Review

Pernikahan Usia Dini, Rampas Cita dan Kehidupan Remaja

Pernikahan Gratis

Pasangan calon pengantin melaksanakan akad nikah secara gratis di depan Mal Pelayanan Publik Kota Bandung, Bandung, Jawa Barat, Jumat (26/9/2025). Pemerintah Kota Bandung menggelar nikah gratis bagi 10 pasangan dengan sekaligus menyediakan buku nikah, rias pengantin, mahar hingga kartu keluarga secara langsung sebagai bentuk pelayanan terpadu bagi masyarakat. ANTARA FOTO/Novrian Arbi/foc.

MATARAM, borneoreview.co – Bagi sebagian anak, masa remaja adalah waktu untuk tumbuh, bermain, belajar, dan bermimpi.

Tapi di banyak sudut negeri ini, anak-anak justru mengakhiri masa remajanya terlalu cepat, dengan duduk di pelaminan.

Mimpi dan angan mereka dihentikan oleh keputusan yang bukan miliknya. Kondisi ekonomi, tuntutan adat istiadat, hingga tekanan sosial budaya.

Semua itu menjadi alasan yang selalu menjelma, sebagai bayang-bayang.

Tak hanya merenggut masa depan, pernikahan anak usia dini juga menimbulkan luka menganga dan trauma yang mendalam.

Seperti yang dialami A-H, salah seorang penyintas pernikahan bocah asal Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.

Ia harus mengakhiri masa lajangnya, saat baru beranjak dari usia 16 tahun atau di kelas 2 SMA.

Hilangnya peran orang tua, diperparah dengan buruknya perlakuan orang-orang sekitar yang kerap menghujaninya dengan makian.

Semua itu kian menguatkan niat A-H untuk mengarungi bahtera rumah tangga dengan pasangan laki-lakinya yang juga masih belia.

Di dalam benaknya, menikah adalah satu-satunya cara untuk menuju jalur kebahagiaan yang selama ini hanya sedikit ia rasakan di kehidupan sebelumnya.

“Sebelum saya memutuskan menikah, kondisi saya saat itu memprihatinkan, saya frustrasi banget dengan kehidupan,” kata A-H.

Demi memuluskan niatnya, ia dan sang pujaan hati menempuh jalan adat. Dengan restu yang belum sepenuhnya didapat dari orang tua mempelai pria, mereka menjalani tradisi Merariq.

Merariq adalah salah satu adat-istiadat yang berasal dari masyarakat Suku Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Tradisi ini berkaitan dengan proses perkawinan dan sering dikenal juga dengan istilah “kawin lari” atau “melarikan calon pengantin wanita” meskipun maknanya tidak sesederhana itu.

“Saya diculiknya sekitar dua hari ke rumahnya dia,” kata A-H.

Khayalan kebahagiaan yang dulu menjadi lamunan ternyata hanya fatamorgana, berganti dengan derita dan rasa trauma yang berkepanjangan.

Usia pernikahan yang masih seumur jagung pun harus kandas di tengah jalan sebelum ia mengecap manisnya biduk rumah tangga.

Kini, laki-laki yang dulu ia idam-idamkan untuk menjadi teman hidup, pergi tanpa pamit dan tidak diketahui keberadaannya.

Setali tiga uang, cerita senada juga dialami oleh pasangan muda-mudi I-W dan R-N asal Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Mereka menjalani kehidupan dengan tertatih setelah nekat “nikah kecil” (bahasa lokal Lombok).

Narasi cerita tidak jauh berbeda dengan yang diungkap penyintas A-H, mereka menikah di usia belia yaitu 15 dan 18 tahun.

Berawal dari trauma masa lalu yang dibumbui dengan rasa saling tidak mau kehilangan satu sama lain.

Hal itu menguatkan pasangan ini, untuk sesegera mungkin membentangkan bahtera rumah tangga dengan perbekalan seadanya.

Lagi-lagi, tradisi Merariq mereka gunakan sebagai “by pass” menuju janji suci pernikahan di kala usia belum sampai untuk memenuhi aturan dan ketentuan negara.

Tahun silih berganti, hari-hari pasangan yang telah dikaruniai seorang anak perempuan ini pun dijalani dengan berat.

Bekal ekonomi yang tidak dipersiapkan sebelum pernikahan, diperparah dengan emosi keduanya yang belum stabil, kerap menjadi penyebab munculnya perselisihan yang tak kunjung usai.

Cerita-cerita manis saat berpacaran tidak nampak saat mereka satu atap. Suara token listrik bersahutan dengan nyaring suara anak merengek meminta susu formula, menjadi ujian harian yang kerap dihadapi pasangan ini.

“Kalau dirasakan, ya, banyak penyesalan. Tapi mau gimana dijalani, kan, rumah tangga gak mungkinlah kita baru nikah terus pengen cerai. Dia sering minta cerai tapi saya tahan, banyak cobaannya,” kata I-W.

Tradisi Merariq

Keindahan alam “Bumi Gora” dengan gugusan tiga Gili nan mempesona, menjadikan Nusa Tenggara Barat masyhur hingga ke seantero negeri.

Namun, di balik tanah yang subur oleh adat dan budaya ini, tersembunyi kenyataan getir tentang masa depan anak-anak yang hilang sebelum sempat bermimpi.

Di sini, hukum negara yang mengatur mengenai batas usia pernikahan anak dilanggar atas nama adat istiadat hingga mengakibatkan praktik pernikahan bocah kian merajalela.

Data BPS tahun 2024 mengungkap bahwa prevalensi angka pernikahan anak usia dini di NTB menempati posisi teratas dengan 14,9 persen melampaui rata-rata nasional yang berada di angka 5,9 persen.

Fakta tersebut sekaligus menobatkan NTB sebagai daerah dengan status darurat pernikahan anak usia dini.

Tingginya angka pernikahan anak usia dini di Nusa Tenggara Barat yang acap kali dikait-kaitkan dengan adat Merariq masyarakat Suku Sasak, dianggap merupakan sebuah kekeliruan.

Istilah “menculik” yang erat dengan fenomena pernikahan anak, dinilai telah melenceng dan memiliki konotasi negatif yang tidak mencerminkan realitas tradisi tersebut, sehingga sudah sepatutnya untuk dilarang.

Pemucuk Dewan Bini Masyarakat Adat Sasak Ratnaningdiah menegaskan adat Sasak tidak melegalisasi perkawinan anak usia dini yang berlindung di balik tradisi Merariq.

Menurut dia ada irisan adat yang dimaknai secara serampangan dan ugal-ugalan oleh sebagian masyarakat untuk memuluskan berlangsungnya pernikahan bocah yang seharusnya dilarang.

Tradisi Merariq juga memiliki syarat dan ketentuan khusus, di antaranya; persetujuan kedua calon mempelai yang merupakan syarat mutlak.

Calon perempuan telah cukup umur dan telah siap menikah, serta pemberian belis atau aji krama sebagai simbol tanggung jawab seorang pria.

Dengan demikian Merariq yang sebenarnya tidak sesederhana penculikan atau pemaksaan, melainkan proses adat yang menjunjung tinggi kehormatan, persetujuan, dan kesopanan.

Efek Jera

Ketua Lembaga Perlindungan Anak Kota Mataram Joko Jumadi secara tegas mengatakan melaporkan kasus pernikahan bocah ke aparat penegak hukum merupakan salah satu cara memberikan efek kejut bagi masyarakat.

Menurut dia, negara memiliki instrumen hukum yang jelas untuk menjerat orang-orang yang terlibat dalam proses pernikahan anak usia dini.

Instrumen tersebut berupa Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yang telah diamandemen menjadi Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang Perkawinan serta Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Tindakan hukum dinilainya merupakan ultimum remedium atau upaya terakhir jika pendekatan yang bersifat preventif berupa edukasi dan sosialisasi tidak diindahkan oleh masyarakat.

Penerapan sanksi hukum kepada para pelaku pernikahan anak usia dini ini pun telah diterapkan terhadap salah satu kasus pernikahan dini di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, sekaligus menjadi pertama yang ditangani pengadilan di Indonesia.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kota Mataram menjatuhkan vonis berupa pidana kurungan selama 4 bulan kepada orang tua yang terbukti menikahkan anak di bawah usia 18 tahun.

Upaya Pemerintah

Bahaya laten yang mengintai anak-anak akibat pernikahan usia dini sudah selayaknya mendapat perhatian serius dari pemerintah.

Melalui kebijakan terpadu, program perlindungan, dan kolaborasi lintas sektor, pemerintah berupaya mencegah praktik ini dan memastikan hak-hak setiap anak dapat terpenuhi.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) mengungkapkan pihaknya telah melakukan langkah-langkah untuk menekan laju kasus melalui 5 Strategi Nasional Perlindungan Perempuan dan Anak (Stranas PPA).

Strategi itu meliputi; optimalisasi kapasitas anak, lingkungan yang mendukung, aksesibilitas layanan, penguatan regulasi dan kelembagaan, serta penguatan pemangku kepentingan tingkat nasional dan daerah.

Penguatan program tersebut telah dikoordinasikan dengan kementerian dan lembaga terkait di bawah Kemenko PMK yang memiliki instrumen hingga ke pelosok daerah.

Upaya lain yang lebih spesifik dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dengan mendirikan Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) di seluruh wilayah tanah air.

PUSPAGA adalah sebuah insiatif dari pemerintah yang bertujuan untuk mendukung keluarga dalam mengatasi berbagai permasalahan yang mereka hadapi.

Program tersebut melibatkan para konselor dan penyuluh untuk melakukan edukasi dan sosialisasi secara langsung ke rumah-rumah warga.

Program lain yang juga krusial adalah mendirikan rumah aman. Yang merupakan tempat penampungan sementara dan perlindungan bagi para korban perempuan dan anak, termasuk penyintas pernikahan anak usia dini.

Di rumah aman, klien akan mendapatkan pendampingan baik secara fisik, psikis, maupun klinis oleh para ahli profesional.(Ant)***

Exit mobile version