Site icon Borneo Review

Perubahan Iklim, Dampak, dan Ancaman Nyata pada Kehidupan Masyarakat Adat Kubu Raya

Bupati dan Wakil Bupati Kubu Raya

Bupati Kubu Raya Sujiwo didampingi Wabup Sukiryanto, Sekda Yusran Anizam dan sejumlah kepala OPD meninjau lokasi banjir dengan menggunakan perahu karet di Kecamatan Sungai Ambawang (ANTARA/Rendra Oxtora)

PONTIANAK, borneoreview.co – Banjir besar yang melanda kawasan Binua Sunge Samak Kampokng Pancaroba, Kabupaten Kubu Raya, Kalbar, Januari 2025, menjadi pukulan berat bagi warga.

Air yang naik hingga lebih dari 1,5 meter tinggia membuat hampir seluruh aktivitas masyarakat lumpuh total.

Rumah-rumah yang terendam memaksa orang meninggalkan barang berharga mereka.

Jalan utama yang terhubung dengan jalur trans Kalimantan terputus, karena kendaraan tidak mampu melewati genangan.

Akibatnya, akses transportasi dan distribusi kebutuhan pokok terhenti.

Selama hampir sebulan, warga hidup dalam kondisi serba terbatas.

Anak-anak tidak bisa bersekolah karena sekolah ikut terendam. Sementara para orang tua kehilangan kesempatan bekerja, maupun mengelola lahan pertanian yang terendam air.

Persediaan pangan mulai menipis, dan banyak keluarga mengalami kerugian besar akibat peralatan rumah tangga dan hasil panen rusak.

Di tengah situasi itu, masyarakat hanya bisa mengandalkan gotong royong.

Pemuda kampung bergantian membantu evakuasi barang, menjaga keamanan lingkungan, dan mendirikan tempat tinggal sementara.

Namun, tanpa dukungan infrastruktur dan penanganan memadai, banjir besar itu meninggalkan trauma mendalam serta rasa khawatir.

Bahwa, bencana serupa akan kembali datang dengan intensitas lebih parah.

Komunitas Dayak Kanayatn Binua Sunge Samak Kampokng Pancaroba itu kini hidup dalam ancaman nyata perubahan iklim.

Yang ditandai dengan semakin seringnya banjir besar, melanda kawasan mereka.

Banjir yang dulunya dianggap musibah sesekali, kini berubah menjadi peristiwa tahunan yang kian parah, melumpuhkan aktivitas warga.

Juga mengancam keberlangsungan hidup masyarakat adat.

Bupati Kubu Raya Sujiwo saat meninjau langsung lokasi banjir di Kecamatan Sungai Ambawang, dan memastikan proses distribusi bantuan tersalurkan secara merata, Sabtu (15/3/2025). ANTARA/HO-Prokopim Kubu Raya

Wilayah Binua Sunge Samak Kampokng Pancaroba terletak di dataran rendah tanpa perbukitan.

Letak geografis yang rentan itu membuat banjir sulit dihindari, terutama ketika curah hujan ekstrem akibat perubahan iklim terus meningkat.

Dibandingkan 15 hingga 20 tahun lalu, banjir kini lebih sering dan lebih parah.

Tetua adat Gulwadi (54) masih mengingat jelas banjir terakhir pada Januari 2025 yang ketinggiannya melewati kepala orang dewasa.

“Kami kesulitan beraktivitas karena air begitu tinggi,” katanya.

Ketua adat Amiang (56) menambahkan, posisi kampung yang berada di jalur trans Kalimantan memperburuk keadaan.

“Banjir besar membuat kendaraan mogok dan akses jalan terputus. Warga sulit keluar masuk kampung, sementara bantuan pun tak mudah menjangkau,” ujarnya.

Dampak banjir tidak hanya merendam rumah, tetapi juga menghantam sumber penghidupan.

Florensius Loren (38), pegawai Kesatuan Pengelola Hutan (KPH), menyebutkan lahan pertanian yang menjadi tumpuan masyarakat ikut terendam.

“Berkurangnya tutupan hutan dan kondisi tanah gambut yang terdegradasi semakin memperburuk situasi. Air meluap lebih cepat dan lama surut,” katanya.

Bagi keluarga kecil, dampak banjir terasa amat berat. Sri Wikensi (42), seorang ibu rumah tangga, menuturkan banjir berlangsung hampir satu bulan penuh.

“Kami kesulitan bekerja, anak-anak tidak bisa sekolah, dan banyak rumah tangga mengalami kerugian besar. Tidak sedikit barang rusak, hasil panen pun gagal,” ungkapnya.

Di tengah kesulitan, pemuda adat berusaha menjadi garda terdepan dalam solidaritas sosial.

Franseda (22), salah seorang pemuda, menceritakan bagaimana kelompoknya turun langsung membantu evakuasi barang hingga menjaga keamanan lingkungan.

“Gotong royong menjadi cara kami menghadapi banjir bersama. Meski sulit, kami tetap berusaha saling mendukung,” katanya.

Komunitas adat menilai penanganan banjir masih jauh dari maksimal. Mereka berharap pemerintah daerah lebih memperhatikan kondisi masyarakat adat yang kerap berada di garis depan bencana iklim.

Selain bantuan darurat, mereka menekankan pentingnya kebijakan perlindungan hutan dan gambut. Yang selama ini menjadi benteng alami penahan banjir.

Sebagian laporan masyarakat adat tersebut telah dipublikasikan melalui Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Organisasi ini menyoroti keterkaitan erat antara perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan kehidupan komunitas adat di Kalimantan Barat.

Ruas jalan Kecamatan Sungai Ambawang yang masih terendam banjir mengakibatkan beberapa lubang pada jalan tersebut. ANTARA/HO-Prokopim Kalbar

Selain itu juga mendorong adanya langkah nyata, untuk mengurangi risiko bencana di wilayah adat.

Bagi Komunitas Dayak Kanayatn Binua Sunge Samak Kampokng Pancaroba, banjir bukan lagi sekadar bencana alam, melainkan peringatan keras tentang rapuhnya keseimbangan lingkungan.

Mereka berharap suara masyarakat adat bisa menjadi perhatian utama dalam kebijakan penanggulangan bencana dan perlindungan ekosistem Kalimantan.

Normalisasi Sungai

Kepala Desa Pancaroba, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya, Marulian, mengungkapkan bahwa wilayahnya kerap kebanjiran.

Banjir akibat pendangkalan sungai, serta semakin luasnya lahan perkebunan sawit di sekitar desa.

Kondisi itu menyebabkan muka air sungai terus meningkat hingga masuk ke rumah warga saat musim hujan.

Informasi awal dari warga, banyak lahan yang terbuka karena pembukaan perkebunan. Hal ini berdampak pada penyempitan aliran air.

“Saat hujan deras, ketinggian air bisa mencapai kepala orang dewasa,” kata Marulian di Kubu Raya, saat ditemui ANTARA awal Oktober.

Ia menyebut, banjir terparah pernah terjadi pada Januari 2025, dengan genangan yang berlangsung lebih dari sebulan. Setidaknya 84 rumah \terdampak akibat luapan air sungai yang tak mampu menampung debit air.

Marulian menambahkan, pemerintah desa bersama warga berupaya melakukan gotong royong membersihkan aliran sungai dan parit.

Namun, keterbatasan anggaran membuat penanganan hanya bisa dilakukan sebatas perawatan ringan.

“Memang tahun 2024 sempat ada pengerukan sungai yang dibiayai APBD Kabupaten Kubu Raya, tapi belum menyeluruh,” ujarnya.

Baru sebulan lalu, pengerukan itu selesai dilaksanakan dan semoga saja setelah ini banjir tidak separah Januari kemarin.

Menurut Marulian, kehadiran perusahaan perkebunan sawit juga memberi dampak terhadap kondisi hidrologi di kawasan tersebut.

Pembukaan lahan menyebabkan aliran air semakin tinggi dan memperburuk risiko banjir.

“Kami tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pihak tertentu, tapi jelas pembukaan lahan besar-besaran berkontribusi pada pendangkalan sungai,” katanya.

Ia menegaskan bahwa desa akan terus berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Kubu Raya agar ada langkah konkret mengatasi banjir tahunan, terutama melalui program normalisasi sungai dan perbaikan drainase.

“Harapan kami, pemerintah kabupaten bisa lebih memprioritaskan normalisasi sungai di wilayah Sungai Ambawang, khususnya Desa Pancaroba,” kata Marulian.

Sebab, ini menyangkut keselamatan dan mata pencaharian masyarakat

Bergerak Cepat

Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat memastikan pengerukan Sungai Ambawang di Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya, menjadi langkah strategis untuk mengurangi risiko banjir yang kerap melanda kawasan tersebut.

Pengerjaan proyek yang digarap Balai Wilayah Sungai Kalimantan itu menargetkan pengerukan sepanjang 38 kilometer, mencakup wilayah Desa Pancaroba dan sekitarnya, dengan jadwal penyelesaian pada Januari 2025.

Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Barat, Harisson mengatakan ada dampak banjir yang melanda sejumlah desa di Kecamatan Sungai Ambawang dalam beberapa waktu terakhir.

Banjir telah membawa dampak serius, mulai dari terganggunya arus lalu lintas hingga lumpuhnya aktivitas ekonomi masyarakat.

“Saat itu, baik warga dari hulu yang hendak menuju Pontianak maupun sebaliknya menghadapi kendala. Banjir juga melumpuhkan aktivitas ekonomi masyarakat setempat,” kata Harisson.

Ia menjelaskan, pengerukan dilakukan untuk meningkatkan kapasitas tampung sungai, sehingga air dapat mengalir lebih lancar ke hilir, terutama saat curah hujan tinggi.

Petugas kesehatan saat melakukan pengecekan kepada korban banjir di Desa Teluk Bakung, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya. ANTARA/HO-Dinas Kesehatan Kubu Raya

Langkah ini diharapkan bisa mengurangi genangan pada jalur utama, yang menjadi akses distribusi logistik.

Selain pengerukan, Harisson menyebut Kementerian Dalam Negeri melalui Inspektur Jenderal (Irjen) juga menyarankan penerapan rekayasa cuaca, untuk mengurangi risiko banjir di daerah rawan.

Upaya ini, memungkinkan hujan dialihkan ke kawasan lain sehingga tidak terkonsentrasi di satu wilayah.

“Pemerintah provinsi juga terus melakukan perbaikan saluran air atau drainase, untuk meminimalkan risiko banjir yang kerap terjadi di kawasan padat penduduk,” tambahnya.

Libatkan Pusat

Menanggapi banjir yang semakin tinggi di sejumlah daerah di wilayahnya, Pemerintah Kabupaten Kubu Raya melibatkan pemerintah pusat.

Kerja sama melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), dalam upaya mengatasi banjir yang melanda Kecamatan Sungai Ambawang, khususnya di Desa Lingga, Teluk Bakung, dan Pancaroba.

Bupati Kubu Raya Sujiwo menegaskan, keterlibatan kementerian sangat penting untuk mempercepat penanganan darurat, sekaligus solusi jangka panjang.

Ia berharap dengan pengerukan sungai Ambawang sepanjang 38 kilometer bisa mengantisipasi banjir serupa pada masa mendatang.

“Kalau tidak segera ditangani, kita khawatir akan terjadi kemacetan panjang dan aktivitas ekonomi masyarakat terganggu,” ujarnya.

Makanya, pemerintah pusat dalam hal ini kementerian terkait, harus terlibat langsung.

Sujiwo menegaskan, pelibatan pemerintah pusat melalui Kementerian PUPR, diharapkan menjadi solusi konkret agar banjir tidak terus berulang setiap tahun.

“Kita ingin ada langkah struktural, bukan hanya penanganan sementara. Karena banjir Sungai Ambawang ini berdampak besar terhadap mobilitas dan ekonomi masyarakat,” katanya.

Perwakilan Balai Pelaksanaan Jalan Nasional Kalimantan, Sofyan, menyampaikan pihaknya telah melakukan sejumlah langkah awal di lapangan.

Antara lain, penutupan lubang jalan, perbaikan bahu jalan dengan penimbunan pasir menggunakan geomet, serta pelapisan sirtu untuk mempercepat pengeringan jalur yang tergenang.

“Langkah-langkah ini kami lakukan agar lalu lintas tetap berjalan dan dampak banjir bisa dikurangi,” jelas Sofyan.

Selain itu, Balai juga sudah melakukan pengerukan di beberapa titik sungai untuk menurunkan debit air.

Pada Januari 2025 lalu, pihaknya bahkan telah meninggikan badan jalan sepanjang 280 meter di lokasi rawan banjir sehingga mampu mengurangi kemacetan.(Ant)

Exit mobile version