Pesantren Al Khoziny, Kisah Tim SAR Bekerja Non Stop Delapan Hari Selamatkan Santri

Pesantren Al Khoziny Roboh

SIDOARJO, borneoreview.co – Tak terbayangkan, bagaimana rasanya bekerja di bawah reruntuhan bongkahan beton berbobot belasan ton yang bergelantungan di atas kepala.

Dalam ruang sempit, berteman dengan debu dan dentuman alat berat. Semua itu menjadi latar hari-hari tim SAR gabungan.

Yang bekerja di lokasi robohnya bangunan empat lantai, Pesantren Al Khoziny di Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur.

Setiap langkah menuntut kewaspadaan tinggi. Keselamatan fisik dan ketenangan mental, sama-sama dipertaruhkan.

Sejak Senin sore, 29 September, tim SAR mulai menyisir reruntuhan yang menimbun santri, saat menunaikan salat Ashar.

Reruntuhan padat, puing bertumpuk, dan struktur rapuh membuat setiap proses evakuasi menjadi permainan keseimbangan, antara keberanian dan kehati-hatian.

Apalagi, beton yang bergeser sedikit saja, bisa menjadi ujian bagi mental tim. Sehingga ketika ada hujan deras akan memperburuk risiko. Namun, beruntung itu tidak terjadi.

Tekanan fisik berjalan seiring tekanan psikologis yang tak kalah berat. Setiap anggota tim harus menahan rasa takut, cemas, dan duka. Ketika tim penolong menemukan korban meninggal, atau bagian tubuh yang terpisah.

Tidak semua anggota tim SAR adalah profesional atau militer. Malah relawan sipil dari berbagai organisasi kemasyarakatan turut terlibat.

Oleh karena itu, mereka harus siap, tidak boleh panik, dan mengikuti arahan komando. Setiap langkah harus cepat, tepat, serta terukur.

Tekanan mental bertambah, akibat ekspektasi keluarga korban dan sorotan publik.

Karenanya, tim harus menyeimbangkan pemberian informasi akurat, dengan menjaga ketenangan emosional. Baik bagi diri sendiri, maupun masyarakat yang menunggu kabar.

Dalam fase “golden time” 72 jam, Basarnas bersama 375 personel gabungan, berupaya menyelamatkan korban.

Menghadapi kondisi ini, sudah tentu ketahanan mental menjadi penentu kemampuan tim, bertahan dalam tempo operasi yang padat dan penuh risiko.

Kepala Subdirektorat Pengarahan dan Pengendalian Operasi Basarnas, Emi Freezer menggambarkan kondisi medan runtuhan yang mereka hadapi.

Pondok Pesantren Al Khoziny
Santri menerima layanan kesehatan gratis di posko yang disediakan oleh Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) RI di Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur. ANTARA/HO-Baznas RI.

Saat itu ditemukan beberapa santri tertimbun hidup di bawah beton, yang semakin menekan posisi tubuh mereka. Bahkan, menggerakkan kepala dan berbicara, sulit dilakukan mereka.

Perhitungan di lapangan, mendapati reruntuhan beton sudah semakin turun signifikan hingga 10–12 centimeter per hari. Hal itu, otomatis membuat ruang gerak korban sudah sangat terbatas.

Selain itu, alat berat yang disiagakan tidak bisa digunakan, karena risiko pergeseran konstruksi. Bisa membahayakan korban maupun tim penyelamat.

Dalam koordinasi menegangkan, di bawah sinar lampu redup tenda posko darurat itu, diputuskan bahwa operasi akan berlangsung 24 jam penuh.

Tim dibagi tugas dan jadwal secara bergantian, memeriksa stabilitas reruntuhan. Menilai jalur aman dan mengevakuasi korban.

Semua dilaksanakan dengan bantuan peralatan manual tanpa alat berat.

Tim penolong hanya mengandalkan sejumlah mesin bor, sensor, dan alat pemotong portable.

Tim SAR gabungan berhasil membuat terowongan kecil, demi bisa menjangkau titik-titik keberadaan korban di bawah gelapnya reruntuhan.

Demi memperkecil risiko; aktivitas ini dilakukan di bawah pendampingan langsung ahli konstruksi teknik sipil.

Dari lubang berdiameter 60 centimeter yang terbangun, para petugas berhasil menjangkau korban, dan mengevakuasi mereka secara dramatis.

Santri Korban

Syaifur Rozi, menjadi salah satu santri yang berhasil dievakuasi dalam 72 jam pertama.

Remaja 14 tahun itu dievakuasi dalam kondisi selamat. Tim dokter terpaksa mengamputasi pergelangan kaki sebelah kanannya, yang mengalami luka parah karena tertimpa bongkahan beton.

Apa yang dialami Rozi juga terjadi pada rekannya, Nur Ahmad. Dia ditemukan tim SAR dalam kondisi lemas dengan tangan tertindih balok beton tiang penyangga bangunan.

Untuk menyelamatkan nyawa Ahmad, tim SAR mesti membawa dokter masuk menelusuri jalur ke dalam runtuhan bangunan, dan mengamputasi sebelah tangannya yang sudah mati rasa.

Waktu berjalan dengan cepat, hingga akhirnya masa kritis 72 pun berakhir. Sementara belum semua korban yang masuk dalam daftar pencarian ditemukan.

Hasil rapat koordinasi pimpinan memerintahkan, agar tim lapangan lebih intensif mencari keberadaan korban. Mulai dari menambah lampu penerangan dan membuat bunyi-bunyian. Tapi nyaris 42 jam selanjutnya berlalu, respons yang diharapkan tidak kunjung ditemukan.

Kemudian, kabar yang tidak diinginkan kian memperdalam suasana di posko darurat.

Tim mendapati perangkat pendeteksi suhu panas tubuh yang disebar di celah runtuhan, tidak menemukan lagi tanda-tanda kehidupan.

Keputusasaan sempat menghampiri tim lapangan. Kegalauan tidak terhindarkan. Apalagi beberapa dari petugas saat itu, diserang iritasi kulit.

Rasa gatal menggerayangi tubuh, setelah berhari-hari terpapar panas. Paparan keringat kering di badan, dan pakaian dinas lapangan, melecetkan kulit mereka.

Asupan vitamin ditambah. Pakaian khusus berbahan lebih lembut aset pemerintah daerah, didatangkan dari sejumlah gudang penyimpanan, untuk mengatasi gangguan gatal-gatal tersebut.

Bahkan, dalam kondisi ini, psikolog juga dikerahkan secara khusus ke posko. Psikolog memberikan penanganan singkat, sehingga ketahanan mental petugas tetap terjaga.

Berkat dukungan koordinasi lintas lembaga ini, rasa percaya diri tim SAR gabungan dari Basarnas, TNI, Polri, BPBD, pemadam kebakaran, palang merah, relawan, organisasi swadaya masyarakat itu kembali bangkit.

Mereka mampu menyembunyikan perasaan pribadi, sehingga tetap tegar di hadapan para keluarga korban, dan masyarakat yang setia menanti kabar.

Tenaga dan mental tim SAR diperkuat, berkat kehadiran warga setempat yang bergotong-royong untuk menyiapkan makanan dan minuman hangat.

Mulai dari dapur umum, tenda darurat maupun lorong-lorong pesantren, menjadi tempat di mana obrolan di antara mereka tercipta. Optimisme yang sempat nyaris hilang itu, tumbuh kembali.

Pendekatan psikologis yang ditopang kesabaran dan empati, menjadi bagian integral operasi. Bukan hanya untuk para korban dan keluarga, juga tim petugas gabungan.

Perubahan Strategi

Mempertimbangkan kondisi lapangan dan waktu yang terus berlalu, akhirnya strategi operasi pencarian dan pertolongan pun berubah.

Petugas mulai menggunakan bantuan alat berat, untuk mengurai runtuhan bangunan dan mengeluarkan para korban tersisa.

Hal ini diputuskan dari diskusi yang panjang antara SAR koordinator, ahli konstruksi dan pihak keluarga korban hingga pengurus pondok pesantren.

Bermodalkan hasil analisis teknis sebelumnya yang menyatakan, sudah tidak ada lagi harapan hidup.

Membersihkan bangunan menggunakan alat berat, menjadi jalan terakhir mempercepat evakuasi. Sejak saat itu, dalam sehari belasan jenazah ditemukan.

Alhasil selama delapan hari, tim berhasil mengevakuasi 171 korban. Sebanyak 104 santri selamat dengan luka-luka, dan 67 santri meninggal.

Santri yang selamat dilarikan ke sejumlah rumah sakit untuk mendapat penanganan medis. Korban meninggal ditangani tim Disaster Victim Identification (DVI) Polda Jawa Timur di Rumah Sakit Bhayangkara Surabaya.

Tim DVI Polri saat ini masih terus bekerja dengan penuh tanggungjawab, mempelajari sampel yang ada demi memastikan identifikasi sebanyak 60 jenazah korban.

Dari jumlah tersebut, sebanyak 17 jenazah yang sudah diserahkan kepada keluarga dan dimakamkan secara layak di kampung halaman masing-masing.

Setelah seluruh korban ditemukan dan kondisi lingkungan pondok pesantren sudah bersih dari reruntuhan, Kepala Basarnas Mohammad Syafii mengumumkan penutupan operasi pada 7 Oktober 2025.

Selanjutnya, ada proses pemulihan – rehabilitasi di bawah supervisi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Delapan hari di Pesantren Al Khoziny, meninggalkan bekas mendalam bagi setiap anggota tim SAR gabungan.

Mereka tidak sekadar menghadapi reruntuhan dan risiko fisik. Juga menanggung tekanan emosional yang berat, menghadapi dinamika di lapangan.

Syafii mengungkapkan, operasi tersebut merupakan operasi yang sangat berat, dengan jumlah korban terbanyak sepanjang tahun ini.

Meski tidak menjadi tujuan utama mereka, tetapi tim SAR gabungan, berhak mendapatkan penghargaan tertinggi.

Perjuangan mereka bukan hanya akan dikenang selamanya, bagi keluarga korban dan masyarakat di Sidoarjo.

Juga meninggalkan pelajaran yang luas, bagaimana risiko bila mendirikan bangunan, tanpa perhitungan teknis memadai.

Hal ini sekaligus menjadi pelajaran yang telak, bagi pemerintah untuk lebih tegas mengawasi, setiap pembangunan fasilitas oleh lembaga pendidikan tradisional, seperti pesantren.

Pemerintah dituntut untuk memberikan pendampingan teknis secara melekat, apalagi kepada pesantren di daerah.

Sehingga santri dapat belajar ilmu keagamaan berkualitas dengan tenang, dan jauh lebih layak.(Ant)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *