Site icon Borneo Review

Pesantren Al Khoziny, Menyikapi Masalah Supaya Tak Ada Trauma ke Pendidikan Asrama

Pondok Pesantren Al Khoziny

Santri menerima layanan kesehatan gratis di posko yang disediakan oleh Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) RI di Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur. ANTARA/HO-Baznas RI.

SIDORJO, borneoreview.co – Kasus bangunan ambruk di Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, mengguncang psikis banyak orang.

Khususnya, mereka yang hatinya tertambat pada pendidikan model asrama, berbasis agama Islam tersebut.

Kasus bangunan ambruk di Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, harus menjadi bahan evaluasi, bagi semua penyelenggara pendidikan tradisional Islam khas Indonesia itu.

Peristiwa di salah satu pondok pesantren tua di Indonesia itu, menjadi pelajaran bahwa sarana fisik untuk proses pendidikan maupun tempat beribadah.

Para santri harus betul-betul memerhatikan aspek keselamatan banyak pihak di dalam pondok pesantren, khususnya santri yang merupakan titipan tersayang dari para orang tua.

Seiring makin tingginya kesadaran masyarakat untuk membekali anak-anaknya dengan ilmu agama.

Kini, pondok pesantren menjadi serbuan masyarakat, untuk menitipkan anak-anak mereka.

Dengan semakin tingginya animo masyarakat untuk mengirim anak-anaknya ke pondok pesantren.

Pengasuh atau pengelola lembaga itu tergerak untuk menyediakan sarana dan prasarana fisik yang memadai, sekaligus megah.

Karena terbatasnya lahan untuk membuat bangunan horizontal, maka pilihan untuk mengembangkan fasilitas pondok pesantren adalah bangunan vertikal atau bertingkat.

Sarana bangunan itu tidak lagi sederhana, seperti pondok pesantren kuno yang untuk tempat tinggal dan tempat belajar santri lebih banyak menggunakan bahan dari bambu atau kayu.

Kini, pilihannya adalah bangunan modern dan bertingkat.

Karena itu, mulai dari perencanaan, pembangunan gedung itu harus melibatkan ahli bangunan atau teknik sipil, baik dari kalangan profesional maupun dari perguruan tinggi.

Pelibatan ahli dalam rancang bangun gedung bertingkat itu, semata-mata untuk menjaga amanah orang tua.

Yang dengan harapan besar anak-anaknya mendapat ilmu agama, kemudian pulang kembali ke pangkuan orang tua dalam keadaan selamat.

Trauma

Kata trauma dalam kasus ambruknya bangunan di Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo.

Mungkin lebih pas disandangkan kepala para santri yang selamat atau orang tua yang anak-anaknya menjadi korban.

Meskipun demikian, kasus yang menyita perhatian dan keprihatinan banyak pihak itu, secara tidak langsung.

Juga membekaskan trauma untuk mereka yang telah merancang pendidikan masa depannya di satu pondok pesantren.

Untuk menghapus trauma itu, kita memandang kasus di Pondok Pesantren Al Khoziny tersebut, sebagai kejadian luar biasa.

Yang tidak semua pondok pesantren memiliki gedung berkualitas seperti itu.

Memandang bahwa semua bangunan di pondok pesantren memiliki kualitas rendah dan membahayakan santri di dalamnya adalah pola pikir yang tidak pada tempatnya.

Pondok-pondok pesantren, yang umumnya sangat terbuka dengan pihak luar, termasuk dengan kalangan ahli dari perguruan tinggi.

Keluarga korban bangunan mushalla ambruk menunggu informasi terbaru dan perkembangannya di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Kecamatan Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, Sabtu (4/10/2025). ANTARA FOTO/Umarul Faruq/tom

Tentu memiliki tingkat keamanan yang tinggi, untuk menjamin keselamatan fisik semua warga di dalam lembaga tersebut.

Mungkin kita tidak bisa memaksa para orang dan anak-anak untuk menghilangkan rasa trauma pada pondok pesantren akibat ambruknya bangunan di Buduran, Sidoarjo, itu.

Secara alamiah, Pondok Pesantren Al Khoziny akan menghadapi kenyataan “pahit” akibat trauma masyarakat tersebut.

Hanya saja, dengan semakin terbuktinya bahwa pendidikan di pondok pesantren itu mampu menanamkan keilmuan yang komprehensif.

Termasuk penanaman mental spiritual kepada santri, maka konsekuensi itu pada akhirnya akan dengan mudah terlampaui.

Tanpa diingatkan oleh siapapun, pengelola Pondok Pesantren Al Khoziny tentu akan mengambil banyak pelajaran, dari kasus ambruknya bangunan.

Yang menyebabkan sejumlah santri meninggal dan mengalami luka itu.

Pondok pesantren itu akan berbenah dalam banyak hal agar kasus tersebut tidak terulang, termasuk di pondok pesantren lain di Indonesia untuk mengambil pelajaran.

Bagi masyarakat dari keluarga Muslim, peristiwa di Al Khoziny bukan menjadi dasar untuk mengurungkan niatnya mengirim anak-anaknya ke pondok pesantren.

Pelajaran dari ambruknya bangunan di Pondok Pesantren Al Khoziny ini, orang tua perlu selektif memilih pondok pesantren yang akan dituju.

Caranya, mengumpulkan banyak informasi yang lengkap tentang lokasi maupun sistem pengasuhan di lembaga yang akan dituju.

Sebagai lembaga pendidikan berbasis agama, tentu pemahaman spiritual bahwa semua kejadian adalah kehendak Allah.

Yang di dalamnya Allah memberikan pesan-pesan sebagai sarana pembelajaran, akan mampu meminimalkan rasa trauma ini bagi para orang tua dan calon santri.

Hal ini sebagaimana tercantum dalam Surat Al An’am Ayat 59, “Dan kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya; tidak ada yang mengetahui, selain Dia.

Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya.

Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).

Dengan pandangan bahwa semua yang terjadi di hamparan Bumi, bahkan di alam semesta ini tidak lepas dari skenario Allah.

Maka, trauma berkepanjangan dengan kejadian di Pondok Pesantren Al Khoziny, lambat laun pasti akan terlewati.

Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan tua dan tradisional yang ada sejak zaman sebelum penjajahan atau zaman kerajaan.

Hingga kini, pesantren terbukti masih bertahan karena manfaatnya yang besar dirasakan oleh masyarakat.

Peristiwa-peristiwa menyedihkan banyak dialami para kiai dan santri, seperti di zaman penjajahan.

Pondok pesantren adalah dunia yang tak bisa ditundukkan oleh penjajah, sehingga keberadaannya selalu dianggap sebagai musuh.

Karena itu, peristiwa yang terjadi di Pondok Pesantren Al Khoziny ini , bukan menjadi “kiamat” bagi pondok pesantren.

Pondok pesantren tetap memiliki masa depan dan menjadi tambatan hati para orang tua untuk mendidik anak-anaknya menjadi manusia berkualitas, baik fisik, otak, sekaligus hatinya.***

Exit mobile version