Peternakan Babi di Jepara: Antara Fatwa, Fakta, dan Nilai Kehidupan Warga

Peternakan Babi

JEPARA, borneoreview.co – Sebuah rencana investasi peternakan babi secara besar-besaran senilai Rp10 triliun, sedang disiapkan di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.

Investasi peternakan babi tersebut, memunculkan gelombang penolakan yang semakin luas di berbagai kalangan masyarakat di Jepara.

Penolakan tak hanya berasal dari masyarakat sekitar lokasi peternakan babi itu bakal dibuat. Penolakan juga datang dari institusi keagamaan, organisasi keulamaan, dan jajaran pemerintah daerah di Jepara.

Kendati investasi ini dijanjikan membawa manfaat ekonomi signifikan, seperti penciptaan ribuan lapangan kerja dan potensi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Namun, mayoritas warga dan tokoh agama menilai proyek tersebut bertentangan secara fundamental dengan nilai-nilai keyakinan dan kehidupan masyarakat Jepara.

Bupati Jepara Edy Supriyanta menyampaikan secara terbuka bahwa pihaknya tidak akan serta merta memberikan izin terhadap proyek peternakan babi tersebut.

Ia menekankan bahwa keberadaan kegiatan usaha itu tidak sejalan dengan karakter religius Jepara sebagai kota yang dikenal kental dengan identitas santrinya.

Dalam keterangannya, Edy menjelaskan bahwa seluruh proses perizinan harus mengacu pada masukan dari berbagai pihak, terutama tokoh agama dan organisasi keagamaan.

Pemkab juga mengklarifikasi bahwa belum ada satu pun izin yang dikeluarkan, dan seluruh proses kajian harus mengacu pada regulasi teknis maupun norma sosial yang berlaku di masyarakat.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Jepara dan MUI Provinsi Jawa Tengah bersikap tegas, dengan menerbitkan fatwa resmi mengenai keharaman segala bentuk kegiatan usaha yang berkaitan dengan babi.

Fatwa tersebut dikeluarkan pada 1 Agustus 2025 dengan nomor Kep.FW.01/DP‑P.XIII/SK/VIII/2025.

Fatwa itu tidak hanya menegaskan haramnya mengonsumsi daging babi, tetapi juga menyatakan seluruh bentuk kerja sama, pengelolaan, dan perizinan.

Bahkan, memfasilitasi usaha peternakan babi tergolong haram karena bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.

Hal ini menegaskan bahwa keterlibatan dalam rantai produksi dan distribusi babi, baik langsung maupun tidak langsung, bertentangan dengan nilai-nilai yang diyakini umat Muslim.

Ketua MUI Jepara, KH Hayatun Abdullah menyatakan bahwa penolakan ini adalah bentuk tanggung jawab moral terhadap kemaslahatan umat dan menjaga kesucian lingkungan masyarakat Muslim.

Hal senada juga disampaikan oleh Wakil Katib Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah, KH Abdul Wahab Chudlori yang turut menyampaikan penolakannya secara eksplisit terhadap rencana pembangunan peternakan babi tersebut.

Dalam pernyataannya, dia menyebut bahwa investasi yang menyangkut usaha babi di wilayah yang mayoritas penduduknya Muslim adalah bentuk penistaan terhadap akidah umat.

Yang pasti, harmoni sosial dan keselamatan publik harus menjadi fondasi utama dalam setiap langkah pembangunan ke depan.

Yang pasti, harmoni sosial dan keselamatan publik harus menjadi fondasi utama dalam setiap langkah pembangunan ke depan.

Menurut dia, tidak ada alasan logis untuk tetap memaksakan investasi ini di Jepara, karena selain melukai hati masyarakat Muslim, juga berisiko memicu gesekan sosial yang tidak perlu.

Ia mengingatkan bahwa pembangunan harus berpihak pada kepentingan rakyat, bukan semata-mata pada keuntungan korporasi.

PWNU Jawa Tengah bahkan mengusulkan agar pemerintah pusat dan daerah membentuk tim audit sosial dan keagamaan sebelum proyek-proyek besar dijalankan, khususnya yang berpotensi mengganggu harmoni masyarakat.

Dalam kasus ini penulis ingin menyampaikan pendapat dari perspektif sains biologi dan parasitologi, bahwa keberadaan peternakan babi berskala industri memiliki implikasi kesehatan yang tidak bisa diabaikan.

Temuan Lapangan

Sejumlah penelitian ilmiah di Indonesia mengungkap tingginya prevalensi parasit usus dan patogen zoonotik dalam populasi babi, bahkan pada sistem pemeliharaan yang sudah modern sekalipun.

Prevalensi ialah jumlah total kasus suatu penyakit atau kondisi kesehatan tertentu yang terdapat dalam suatu populasi pada waktu tertentu, baik kasus baru maupun lama.

Patogen zoonotik adalah mikroorganisme penyebab penyakit (patogen) yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia (dan kadang sebaliknya).

Patogen ini bisa berupa virus, bakteri, parasit, atau jamur yang berasal dari hewan dan berpotensi menyebabkan penyakit pada manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Sebuah studi di Provinsi Bali menunjukkan bahwa seluruh sampel feses babi (100%) yang diteliti mengandung satu atau lebih jenis parasit seperti Entamoeba spp, Balantidium coli, Eimeria spp, dan Ascaris suum.

Sebagian besar dari parasit ini dapat menular kepada manusia, terutama dalam kondisi sanitasi yang tidak sempurna atau lingkungan sekitar yang terkontaminasi.

Entamoeba spp subtipe tertentu dapat menginfeksi manusia, terutama pada peternak atau orang yang kontak erat dengan babi.

Sedangkan Balantidium coli dapat menular ke manusia melalui feses babi yang mencemari air atau makanan dan dapat menyebabkan balantidiasis: diare, disentri, bahkan perforasi usus jika parah.

Dan, Ascaris suum bisa menginfeksi manusia dan menyebabkan ascariasis zoonotik, mirip infeksi Ascaris lumbricoides (cacing manusia).

Di Nusa Tenggara Timur ditemukan prevalensi tinggi terhadap parasit Entamoeba suis dan E polecki, yang diketahui dapat menyebabkan gangguan pencernaan pada manusia dan berisiko tinggi menyebar di lingkungan padat penduduk.

Selain itu, keberadaan Taenia solium juga menjadi perhatian serius karena bisa menyebabkan cysticercosis, yakni penyakit akibat larva cacing pita yang bersarang di otot dan otak manusia.

Cysticercosis adalah infeksi jaringan tubuh yang disebabkan oleh larva cacing pita babi (Taenia solium).

Penyakit ini merupakan penyakit zoonotik yang serius dan memiliki dampak neurologis yang dapat fatal, terutama jika menyerang otak (neurocysticercosis).

Infeksi terjadi bukan karena makan daging babi, tapi karena menelan telur Taenia solium yang keluar dari feses orang yang terinfeksi.

Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Parasite Epidemiology and Control (2022) menunjukkan bahwa infeksi T solium pada manusia dapat bersumber dari babi dalam sistem peternakan yang tidak higienis.

Penyakit ini bahkan berpotensi menyebabkan kejang-kejang hingga kerusakan neurologis jika larva bersarang di otak (neurocysticercosis).

Selain risiko biologis langsung terhadap manusia, peternakan babi dalam skala besar juga menyisakan tantangan lingkungan yang serius.

Limbah organik dari babi, terutama feses dan urin, dalam jumlah besar dapat mencemari air tanah dan sungai, memicu eutrofikasi, serta menjadi media tumbuh bakteri dan parasit patogen.

Dalam konteks Jepara yang dikenal sebagai kawasan agraris dan pemukiman padat, dampak dari pencemaran ini bisa sangat merugikan.

Air yang tercemar bisa mempengaruhi pertanian, perikanan, serta kesehatan masyarakat setempat.

Hal ini memperkuat alasan mengapa banyak tokoh masyarakat bersikukuh menolak rencana pembangunan tersebut.

Solusi Masalah

Lalu bagaimana solusi yang bisa dilakukan?

Menanggapi polemik yang semakin berkembang, beberapa tokoh dan pejabat menyarankan agar investor mempertimbangkan relokasi proyek ke wilayah yang lebih sesuai secara sosiokultural.

Seperti, kawasan industri atau daerah non-Muslim dengan potensi konflik sosial yang lebih rendah.

Wakil Gubernur Jawa Tengah Taj Yasin Maimoen mengatakan bahwa pemerintah daerah bersedia membantu mencarikan alternatif lokasi investasi yang tidak menimbulkan resistensi masyarakat.

Menurut dia, pembangunan harus berdampak positif secara menyeluruh, baik secara ekonomi maupun sosial.

Di sisi lain, para ulama dan akademisi menyarankan agar jenis investasi dialihkan ke sektor peternakan halal atau pertanian berkelanjutan yang mendukung ketahanan pangan tanpa menimbulkan kontroversi.

Dalam kasus ini kita dapat belajar bahwa rencana pembangunan peternakan babi di Jepara bukan sekadar soal bisnis atau penciptaan lapangan kerja.

Tapi kasus ini tentu menyentuh ranah yang lebih dalam: keyakinan, identitas, dan ketenangan batin masyarakat.

Perlu dipahami bahwa penolakan yang disampaikan oleh MUI, PCNU, hingga PWNU Jawa Tengah bukan bentuk anti-investasi, melainkan panggilan moral untuk menjaga keutuhan sosial dan kesehatan masyarakat.

Dari sudut pandang ilmiah pun, terdapat cukup banyak bukti, peternakan babi menyimpan risiko zoonosis.

Yaitu, penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung baik oleh virus, bakteri, parasit, dan jamur yang hidup pada hewan tetapi dapat menginfeksi manusia.

Juga resiko pencemaran lingkungan yang tentunya perlu diantisipasi sejak dini.

Jepara sedang dihadapkan pada dilema penting. Keputusan yang diambil akan menjadi cermin apakah pembangunan di Indonesia benar-benar memihak rakyat, atau hanya mengejar angka-angka investasi.

Yang pasti, harmoni sosial dan keselamatan publik harus menjadi fondasi utama dalam setiap langkah pembangunan ke depan.

*) Misbakhul Munir adalah Dosen Biologi FST UIN Sunan Ampel Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *