Pidato Presiden Prabowo Subianto, Deklarasi Ideologis dan Pertaruhan Sistem Fiskal

Presiden Prabowo

JAKARTA, borneoreview.co – Pidato Presiden Prabowo Subianto tanggal 15 Agustus 2025, akan dikenang sebagai hari, ketika sebuah dwilogi politik dipentaskan di panggung kenegaraan.

Yang terjadi pada hari itu bukan sekadar dua pidato yang kebetulan disampaikan pada hari yang sama, terapi sebuah narasi utuh yang disajikan dalam dua babak.

Babak pertama, pidato kenegaraan di pagi hari, adalah deklarasi perang ideologis terhadap sebuah sistem yang mapan.

Babak kedua, pidato pengantar RAPBN 2026 di sore harinya, adalah pengungkapan “mahar fiskal” senilai Rp3.786,5 triliun untuk mendanai perang tersebut.

Inilah cetak biru sebuah pertaruhan raksasa, sebuah proyek restrukturisasi nasional yang paling ambisius dalam sejarah Republik Indonesia.

Babak pertama dibuka dengan diagnosis tajam tentang penyakit kronis bangsa, yaitu sebuah sistem dimana, menurut Presiden, “yang menikmati pertumbuhan ekonomi kita hanya segelintir orang saja”.

Presiden secara terbuka mengkritik praktik “serakahnomics” yang disebutnya dilakukan oleh “para pengusaha yang mengejar keuntungan sebesar-besarnya dengan menipu dan mengorbankan rakyat Indonesia”.

Resep yang ditawarkan adalah kembali ke Pasal 33 UUD 1945, sebuah seruan untuk merebut kembali kedaulatan ekonomi.

Namun, narasi heroik ini menyederhanakan masalah. Apakah problem utamanya hanya keserakahan segelintir pihak?

Atau, justru kegagalan sistemik negara dalam menciptakan regulasi yang adil dan pengawasan yang efektif? Tanpa amunisi, sebuah deklarasi perang hanyalah teriakan hampa.

Amunisi Triliunan Rupiah

Amunisi itu terungkap di babak kedua. Di sinilah visi diterjemahkan menjadi angka-angka yang monumental. Mesin fiskal negara secara terang-terangan diarahkan untuk mendanai revolusi ini.

Tiga alokasi anggaran terbesar menjadi tiang pancangnya: Rp757,8 triliun untuk Pendidikan, Rp402,4 triliun untuk Ketahanan Energi, dan Rp335 triliun untuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Angka-angka ini bukan sekadar belanja rutin, melainkan investasi langsung pada rakyat yang dirancang sebagai antitesis dari sebuah sistem yang dinilai tidak merata.

Namun, besarnya alokasi ini juga membuka pintu bagi potensi inefisiensi dan penyelewengan dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Postur-Rancangan-APBN-2026
Presiden Prabowo Subianto menyampaikan Rancangan Undang Undang (RUU) Anggaran dan Belanja Negara (APBN) 2026, Jumat (15/8). RAPBN 2026 fokus untuk delapan agenda prioritas guna memperkuat ketahanan nasional.

Pertarungan untuk mewujudkan ekonomi berkeadilan dieksekusi dengan presisi anggaran. Instrumen yang dipilih, meskipun menantang, menunjukkan keberanian untuk melakukan intervensi langsung.

Visi memotong rantai distribusi diwujudkan dengan dukungan bagi 80.000 Koperasi Desa Merah Putih. Langkah ini menjadi langkah strategis.

Pengawasan digital dan partisipasi aktif masyarakat, dapat menjadi motor penggerak ekonomi lokal sejati, bukan sekadar menciptakan elite baru.

Misi kedaulatan pangan yang didukung alokasi Rp164,4 triliun untuk memperkuat Badan Urusan Logistik (Bulog) dan menyalurkan subsidi pupuk, kini memiliki momentum untuk berhasil.

Dengan memangkas birokrasi dan menerapkan sistem penyaluran langsung seperti yang telah dirintis, model lama yang rawan penyelewengan dapat diatasi.

Setiap rupiah dalam APBN 2026 memang memiliki tujuan ideologis, dan dengan kemauan politik yang kuat, eksekusinya akan dikawal untuk mengatasi masalah klasik yang selama ini menghambat.

Harga Sebuah Visi

Setiap pertaruhan besar tentu datang dengan risiko. Harga dari ambisi ini adalah defisit anggaran sebesar Rp638,8 triliun.

Bukan sekadar angka, defisit anggaran adalah beban utang konkret yang akan diwariskan kepada generasi mendatang, lengkap dengan bunga yang harus dibayar.

Seluruh arsitektur megah ini berdiri di atas fondasi asumsi makroekonomi yang optimistis yaitu pertumbuhan 5,4 persen dan nilai tukar Rp16.500 per Dolar AS.

Asumsi ini terasa sangat rapuh jika dihadapkan pada realitas volatilitas pasar global dan potensi capital flight sebagai respons atas kebijakan yang dianggap tidak ramah pasar.

Pertanyaannya bukan lagi sekadar apakah asumsi ini akan tercapai, tetapi seberapa besar ruang fiskal yang tersisa untuk manuver jika salah satu asumsi ini meleset?

Di sinilah letak momentum sesungguhnya: menggelontorkan dana triliunan bukan ke dalam sistem birokrasi yang pasif, melainkan sebagai katalisator untuk memaksakan perubahan.

Ini adalah strategi shock therapy yang disengaja. Menyadari bahwa reformasi birokrasi adalah proses panjang.

Pemerintah justru menggunakan alokasi anggaran masif ini sebagai instrumen untuk mendobrak kemapanan dan mempercepat transformasi.

Dengan kemauan politik yang kuat dari pucuk pimpinan, aparatur yang selama ini dianggap bagian dari masalah didorong untuk menjadi bagian dari solusi.

Gelontoran dana ini, jika diiringi pengawasan ketat dan penegakan hukum tanpa kompromi, memiliki potensi besar untuk menjadi energi pendorong reformasi, bukan lagi bahan bakar bagi korupsi.

Pada akhirnya, dwilogi pidato ini adalah momen di mana pemerintah Indonesia secara sadar memilih jalan terjal tapi transformatif.

Ini bukanlah pertaruhan buta, melainkan sebuah kalkulasi strategis ‘high-risk, high-reward’. Kegagalan memang berisiko, tapi potensi keberhasilannya jauh lebih besar: sebuah lompatan kuantum menuju kemakmuran.

Semua kartu –ideologis dan finansial– telah diletakkan di atas meja, bukan sebagai tanda kepasrahan, melainkan sebagai undangan bagi seluruh elemen bangsa untuk bergotong royong.

Pertanyaannya kini bergeser, dari “apakah kita akan berhasil?” menjadi “bagaimana kita bersama-sama memastikan keberhasilan ini?”.

Seluruh bangsa kini dipanggil untuk mengawal agar mahar triliunan ini benar-benar menjadi jembatan emas menuju kemakmuran sejati.

*) Rioberto Sidaruk adalah pemerhati Kebijakan Publik, bertugas sebagai Tenaga Ahli AKD DPR RI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *