CIRATA, borneoreview.co – Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Cirata, menjadi kisah dan sebuah ikhtiar serius dalam mencapai transisi energi terbarukan di Indonesia.
Ketika melakukan kunjungan perdana ke PLTS Terapung Cirata, di Waduk Cirata, Jawa Barat, bisa jadi dapat merampas napas siapa pun.
Terutama bagi mereka yang menasbihkan diri sebagai energy geek atau maniak sektor energi. PLTS Terapung Cirata menjadi contoh serius.
Pemandangan berupa jalinan panel surya yang membentang seluas 250 hektar. Atau, sekitar 5 persen dari luas Waduk Cirata, mampu meluruhkan jenuh perjalanan panjang dari Jakarta, yang memakan waktu tempuh sekitar 2,5 jam.
PLTS Terapung Cirata merupakan PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara, dengan kapasitas terpasang mencapai 192 megawatt peak (MWp) atau menghasilkan sekitar 145 MWac.
Tak heran, PLTS Terapung Cirata menjadi kebanggaan tersendiri bagi Indonesia, sekaligus menjadi simbol keseriusan Negeri Seribu Pulau ini di bidang transisi energi.
Tak merasa cukup dengan capaian tersebut, pemerintah merestui rencana ekspansi PLTS Cirata.
Restu tersebut diberikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada Februari 2025 lalu.
Ketika itu, Erlangga bertemu dengan CEO Masdar (perusahaan energi bersih terkemuka di Uni Emirat Arab), Mohamed Jameel Al Ramahi, untuk membahas penguatan kerja sama investasi energi terbarukan.
Kedua belah pihak membahas peningkatan kerja sama PLN dan Masdar dengan target menambah kapasitas PLTS Cirata pada tahap berikutnya.
Waduk Cirata memiliki luas sekitar 6.200 Ha, potensi pengembangan PLTS Terapung Cirata, bisa mencapai lebih dari 1.000 MWp.
Pada April, pembahasan ekspansi tersebut menuai buahnya. PT PLN (Persero) bersama perusahaan energi baru dan terbarukan (EBT) asal Uni Emirat Arab, Masdar, menandatangani Principles of Agreement untuk menjajaki potensi perluasan kapasitas proyek PLTS Terapung Cirata.
Akan tetapi, melakukan ekspansi PLTS Terapung Cirata ternyata tak sesederhana mendatangkan investor dan memasang panel surya terapung.
Terdapat kompleksitas sosial yang harus dipertimbangkan lebih lanjut oleh para pemangku kepentingan.
Seperti, terusiknya mata pencaharian masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan dan pembudidaya ikan dengan keramba jaring apung (KJA).
Dilema Waduk Cirata
Cuaca terbaik untuk bertandang ke fasilitas PLTS Terapung Cirata adalah, ketika arak-arakan awan menghalau sinar matahari, berikut dengan semilir angin yang meniadakan gerah.
Meski cuaca berawan merupakan kabar buruk bagi performa PLTS Cirata (hanya menghasilkan listrik sekitar 33,06 MWac dari kapasitas maksimal 145 MWac).
Bagi rombongan program WiSER (Women in Sustainability, Environment and Renewable Energy), awan adalah berkah, karena membuat nihil kemungkinan terpanggang di bawah teriknya matahari pukul dua siang.
Seorang perempuan yang pada saat itu berperan sebagai pendamping rombongan program WiSER memperingatkan, air di Waduk Cirata telah tercemar.
Lantas, ia meminta para peserta untuk menahan diri dari keinginan menyentuh air berwarna hijau gelap itu.

Sebab, ada kekhawatiran para pemilik kulit sensitif akan menderita gatal-gatal, dan komplikasi iritasi kulit lainnya.
Berdasarkan berbagai literatur yang terpublikasi sejak satu dekade lalu, baik yang diterbitkan oleh perguruan tinggi negeri maupun instansi pemerintah.
Pencemaran Waduk Cirata terjadi akibat kadar fosfat, amoniak, dan nitrit yang melebihi ambang batas.
Salah satu kontributor limbah yang mencemari Waduk Cirata adalah, pakan ikan dari pembudidaya ikan yang menggunakan keramba jaring apung (KJA).
Lebih dari ribuan ton pakan ikan ditabur oleh para pembudidaya ikan ke Waduk Cirata setiap musim panen, tapi tidak semuanya habis dikonsumsi oleh ikan.
Akumulasi pakan ikan yang berlebih tersebut, lantas mengakibatkan sedimentasi dan menjadi limbah yang mengganggu ekosistem dan memperburuk kualitas air.
Dikutip dari laman resmi “Citarum Harum” yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tercatat jumlah KJA di Waduk Cirata mencapai sekitar 120 ribu petak hingga akhir 2024, meroket dari 98 ribu petak pada 2019.
Jumlah KJA tersebut melebihi kapasitas yang semestinya, yakni sekitar 7–12 ribu petak.
Pemerintah daerah Jawa Barat pun telah mengupayakan penertiban KJA. Akan tetapi, menertibkan KJA bukanlah perkara mudah.
Jurnal yang diterbitkan Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan bertajuk, “Risiko Sosial Penertiban Keramba Jaring Apung di Waduk Jatiluhur” menulis sebuah risalah.
Penertiban KJA bisa menyebabkan perubahan pola kehidupan, hilangnya jaminan sosial, serta kerentanan terhadap konflik horizontal.
Lebih lanjut, penertiban KJA juga bisa menyebabkan permasalahan demografi. Yakni, meningkatnya angka pengangguran, putus sekolah, hingga meningkatnya angka kriminalitas.
Meski penelitian tersebut dilakukan di Waduk Jatiluhur, Jawa Barat, kekhawatiran serupa juga berlaku di Waduk Cirata.
Kompleksitas sosial tersebut yang mendatangkan dilema dalam pengelolaan Waduk Cirata, termasuk ekspansi PLTS Terapung Cirata.
Alternatif Profesi
Presiden Direktur PT Pembangkitan Jawa Bali Masdar Solar Energy (PMSE), Dimas Kaharudin menyatakan, sebuah alternatif profesi.
Apabila kekhawatiran dari ekspansi PLTS terapung adalah meningkatnya angka pengangguran akibat penertiban KJA, maka alternatif bagi para nelayan untuk alih profesi menjadi teknisi.
Belajar dari pembangunan PLTS Terapung Cirata sejak 2021 lalu, PMSE mengidentifikasi kurang lebih sebanyak 60 nelayan yang berlokasi di sekitar proyek PLTS terapung.
Para nelayan tersebut lantas diberdayakan melalui berbagai pelatihan untuk memperoleh sertifikasi kompetensi.
“Kemudian, kami ikutkan mereka (nelayan) di proyek, menjadi tenaga terampil, sehingga nelayan itu memiliki kompetensi baru,” tutur Dimas.
Bahkan ketika proyek PLTS Terapung Cirata rampung, Dimas menyampaikan kesempatan kerja bagi para nelayan yang beralih profesi menjadi teknisi PLTS terapung masih terbuka lebar.
Sebab keberhasilan Indonesia dalam membangun PLTS Terapung Cirata menjadi daya tarik bagi negara-negara lain yang juga ingin melakukan hal serupa, seperti Malaysia dan Thailand.
Keinginan negara-negara tersebut untuk menduplikasi keberhasilan Indonesia membangun PLTS terapung, menyebabkan para pekerja yang berpengalaman dan terlibat dalam pembuatan PLTS Terapung Cirata, menjadi sosok yang paling dicari.
Di sisi lain, pemeliharaan, pengoperasian, hingga perbaikan PLTS terapung pun masih membutuhkan kehadiran teknisi.
Oleh karena itu, langkah alih profesi masih menjadi opsi yang ditawarkan dalam rangka ekspansi PLTS terapung.
Lebih jauh, Dimas mengungkapkan temuan menarik berupa fenomena berkumpulnya ikan di bawah modul panel surya terapung yang terpasang di Waduk Cirata.
Menurut dia, terdapat kemungkinan PLTS terapung menjadi tempat para ikan berlindung di siang hari dari sinar matahari.
Ikan-ikan itu bersembunyi di bawah pelampung yang menjadi alas dari modul panel surya.
Bahan pelampung tersebut merupakan HDPE atau high-density polyethylene; bahan yang sama dengan yang digunakan untuk galon air, sehingga tersertifikasi aman untuk air minum.
Berhubung Waduk Cirata merupakan waduk buatan manusia yang tidak menyediakan tempat berlindung dan bersembunyi bagi ikan di siang hari.
Kehadiran PLTS terapung justru menghadirkan ruang bagi para ikan untuk berlindung, bahkan bertelur.
Dengan ikan-ikan yang berkeliaran bebas dan memakan lumut (alih-alih pakan ikan), Dimas meyakini kualitas air di Waduk Cirata dapat pulih secara perlahan.
Sebab, tidak ada lagi sedimentasi dari pakan ikan yang mengendap di dasar waduk.
Akan tetapi, asumsi tersebut belum dibuktikan secara saintifik.
Guna menguji asumsinya, Dimas menggandeng Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), melakukan penelitian ihwal dampak PLTS terapung terhadap kualitas air Waduk Cirata.
Rencana ekspansi PLTS Terapung Cirata merupakan mimpi indah bagi para pendamba energi hijau dan transisi energi.
Tapi, hal itu jangan sampai menjelma menjadi mimpi buruk bagi para pembudidaya ikan. Yang menggantungkan rezeki pada keramba ikan di Waduk Cirata.
Dimas menargetkan, ekspansi PLTS Terapung Cirata, dapat tuntas sebelum 2031.
Sembari berupaya menekan dampak sosialnya, agar berada di angka yang paling rendah.***